Bab 15 Peka
Bab 15 Peka
"Berapa banyak lagi aku harus menangis agar air mataku kering? Berapa banyak lagi yang harus aku lakukan agar kegelapan ini menghilang." Close Your Eyes - Sohyang
"Kuberi tahu kamu satu hal," bisik Calvin seraya mendekati Kelana. "Kenan itu sejak dibawa oleh kakeknya, dia selalu masak sendiri karena dia tidak percaya pada masakan para pelayan di rumah kakeknya. Tapi, meski Kenan suka masak sendiri dia tidak pernah masakin untuk orang lain. Cuma buat dirinya sendiri. Dari dulu sampai sekarang."
Kening Kelana berkerut, sedikit tidak percaya pada perkataan Calvin. Namun tadi sandwich Kenan memang enak.
"Bahkan dia tidak pernah masakin Tante Rima." Calvin menjauh dan kembali ke posisi semula. "Makanya aku heran pas kamu bilang Kenan buatin kamu sandwich." Laki-laki itu tersenyum kecil. "Ahh, dia benar-benar tidak mau kehilangan dia."
Pandangan Kenan tertuju ke ruangan Kenan, apa benar bosnya seperti itu? Kenapa dia tidak menyadarinya?
Sedari tadi Kelana tidak berhenti untuk mengerutkan kening atau mendesah, kemudian menelengkan kepala sembari menatap layar komputer dengan penuh perhatian, takut melewatkan sesuatu. Namun perhitungannya benar, tidak ada yang salah.
"Tapi, kenapa pengeluarannya besar sekali untuk bulan ini?" Kelana bertanya-tanya, untuk terakhir kali mengecek dan hasilnya tetap sama. Dia langsung menggersah. "Apa dia pergi ke kelab malam terus cari perempuan?" Kelana langsung memandang ke arah ruangan Kenan. Bosnya itu sedang pergi rapat bersama Calvin, dia tidak ikut karena Kenan tidak membutuhkan bantuannya.
Kenan bukan tipe laki-laki yang suka pergi ke kelab malam dan bermain dengan para wanita, daripada melakukan hal itu Kenan lebih memilih menenggelamkan dirinya pada pekerjaan atau tidur. Lalu, jika bukan seperti itu kenapa pengeluaran bulan ini berbeda dengan bulan-bulan kemarin? Bahkan melebihinya saja sampai 25 juta.
"Apa dia membeli setelan?" Sebelah alis Kelana tertarik ke atas. "Tapi kalau beli baju pasti ada catatan transaksinya. Masa uangnya bisa hilang gitu saja? Aishh, ini membuatku pusing. Mana transaksinya disembunyikan. Nanti kutanyakan saja pada Ken Arok."
Lewat pukul dua belas ketika Kelana berhasil menyelesaikan pekerjaannya. Dia merenggangkan badan yang terasa kaku lalu mendesah panjang. Membereskan semua barang-barang. Melihat Kenan dan Calvin yang belum kembali membuat Kelana yakin kalau rapat kali ini lebih ribet dari biasanya, maka dari itu sembari menunggu Kenan datang dia mengambil ponsel. Senyum yang semula tersungging di wajahnya mendadak hilang saat melihat pesan masuk.
Bu Vera: Datang ke rumah sakit nanti jam satu, atau saya akan mengadukanmu pada Reno.
"Lan, makan siang bareng?" Audi bertanya dari balik kubikel.
Kelana ragu untuk menjawab. "Nunggu Pak Ken dulu, nih."
"Pak Ken pasti masih lama, tuh. Mending makan siang sama-sama, ayo. Uni bawa makanan yang banyak dari rumahnya."
Mata Kelana membulat senang, tidak ada siapa pun yang bisa meragukan kemampuan masakan Uni yang lezatnya mengalahkan koki terkenal. Tanpa menunggu waktu lama, Kelana segera bergabung bersama Audi, Uni dan Roy. Sebenarnya tim yang dibentuk Kenan sedikit aneh, mereka bertiga bukan dari divisi yang sama. Audi seorang audit yang jelinya minta ampun, Uni seorang anilis riset pasar, sedangkan Roy seorang IT. Meski demikian, di mata para karyawan AR Corp, mereka bertiga memiliki derajat yang berbeda.
Meski pun mereka tahu bahwa Kenan terbilang bos yang cukup malas, namun mereka sama sekali tidak meragukan kinerja Kenan yang luar biasa.
"Apa nih menunya?" Kelana duduk di samping Uni di meja berbentuk bundar yang sengaja dipasang untuk sekedar berkumpul jika lembur atau makan siang.
Uni membuka tutup tuperware. "Udang asam manis, cah brokoli, dan nasi." Perempuan itu tersenyum sangat lebar, begitu bangga pada makanan yang dibuat.
Sebelah alis Roy terangkat. "Padahal aku berharap bisa makan pasta."
Uni berdecak, "Kalau mau pasta, sana pergi dari sini."
Roy terkekeh," Wehh, Ngambekan nih. Bercanda kok bercanda. Jangan marah nanti cepat keriput, kalau keriput nanti Fero selingkuh."
Uni berdecak kesal, memukul kepala Roy dengan sendok. Audi dan Kelana tidak ikut-ikutan berantem seperti Roy dan Uni. Mereka asik makan udang asam manis sambil sesekali saling melirik lalu tertawa.
"Berhenti berantem, mending makan makanannya sebelum kita habisin," kata Kelana sembari tertawa senang.
Roy dan Uni segera berhenti berdebat lalu mengomel karena Kelana dan Audi makan tanpa mengajak mereka.
"Kita seneng lho pas dengar kamu sama Pak Ken tunangan." Uni berkata menatap Kelana jahil.
Kelana hampir saja tersedak. "Apa? Kenapa kamu bisa seyakin itu?"
Roy menggelengkan kepala, dia minum air dalam botol hingga tandas. "Kamu itu emang tidak peka, ya?"
Kelana semakin tidak mengerti. "Aku jadi curiga, jangan-jangan kalian sengaja ya mengajak aku makan siang sama kalian supaya kalian bisa interogasi aku?"
Ketiga karyawan itu cengengesan.
"Sebenarnya aku tidak peduli." Roy menyahut. "Tapi karena Uni akan bawa bekal makan siang, aku bisa apalagi?"
Audi memukul kepala Roy dengan botol akua yang masih penuh. Sontak saja laki-laki itu mengerang kesakitan sambil mengumpat. "Kalau bicara tuh jangan ceplas-ceplos."
Roy mengusap kepala yang dipukul. "Bisa gegar otak lama-lama aku kalau dipukul terus."
"Rasain!" Pandangan Audi tertuju pada Kelana. "Tapi, gimana sama ciuman Pak Ken? Aku dengar kalian ciuman pas di pesta pertunangan Pak Ken. Kurang gila apa coba itu bos?"
Kelana memutar bola mata, malas menjawab apalagi Uni dan Roy menatapnya dengan penasaran. "Sejujurnya belum sempat aku rasa-rasa. Lagi pula waktu itu aku panik." Sepertinya Kelana harus jujur saja dan sedikit berbohong. Jika mereka bertiga curiga tentang pertunangan itu bisa kacau. Kelana tidak mau bertahan dengan Kenan lebih lama.
"Yahh, padahal aku penasaran sekali." Bibir Uni mengerucut. "Tapi Pak Ken itu laki-laki yang baik, kan? Dia kelihatan ideal fiancee sekali."
Kelana mendengus, ideal apanya? Yang ada dia dibuat kesal mulu oleh Kenan. Ketika perempuan itu hendak menyahut tiba-tiba ponselnya berbunyi. Senyum di wajah Kelana langsung menghilang saat melihat nama yang terpampang di layar ponsel. Dia tersenyum pada mereka bertiga dan permisi untuk mengangkat telepon.
"Ke sini sekarang juga. Di tempat yang biasa." Suara Reno terdengar datar dan dingin di seberang telepon.
"Tidak bisa. Saya sedang bekerja sekarang." Kelana membalas seraya melihat ke belakang, tidak ada siapa pun yang bisa mendengarnya.
"Kelana, ke sini sekarang juga sebelum saya memerintahkan Herdi untuk membawamu ke sini?"
Tiba-tiba Kelana marah, dia berusaha untuk memendam emosi. "Yang memiliki golongan darah AB bukan saya saja. Anda bisa cari orang lain."
"Membantah saya? Datang ke sini sebelum Herdi menyeretmu datang ke sini. Jika kamu tidak mau melukakannya, saya akan menjual rumah milik Mawar dan mengusir anak-anak dari sana.
Kelana memejamkan mata saking marahnya. "Harus saya ingatkan, ini adalah bulan terakhir. Jadi saya harap Anda tidak mengganggu saya untuk hal seperti ini."
Tanpa permisi, Kelana menutup telepon lalu segera pergi setelah sebelumnya mengirim pesan pada Kenan.
Kelana: Maaf, maaf sekali. Saya harus pergi ke suatu tempat. Saya janji, nanti sore akan langsung datang.
Kelana: Ini urgent sekali, saya harap Bapak mengerti. Terima kasih.
***
Kelana berhenti berlari setelah berhasil sampai di ruangan yang dia tuju. Napasnya terengah, dari kejauhan dia melihat keberadaan Vera sedang bicara dengan dokter. Sambil menenangkan diri, perempuan itu berjalan menghampiri Vera.
"Kenapa kamu datang lama sekali?"
Kelana membalas tatapan Vera dengan datar. "Saya bukan Anda yang memiliki banyak waktu luang."
Sekilas Vera mengamati Kelana dari atas hingga bawah lalu tersenyum meremehkan. "Memang kamu sendiri bagaimana? Apa kamu memang bekerja murni sebagai asisten pribadi direktur?"
Kelana berusaha kuat untuk tidak terpancing. "Lalu bagaimana dengan Anda sendiri? Setahu saya Anda bekerja hanya untuk menggoda laki-laki yang sudah memiliki istri."
Vera marah, dia mencengkram pipi Kelana tapi langsung dihempaskan oleh Kelana dengan wajah datar. Perempuan itu mundur selangkah.
"Saya bukan bunda yang diam saja ketika Anda sakiti." Sekilas Kelana melirik ke arah dokter. "Dan, sebaiknya jangan mempermalukan diri sendiri di depan orang lain. Memalukan."
Vera ingin menampar Kelana namun perempuan itu malah bicara dengan dokter agar mereka segera melakukan tranfusi darah seperti biasa.
Sebelum Kelana masuk ke dalam ruangan khusus, dia melihat Raga sedang menemani Putih. Perempuan itu hanya mendesah panjang.
Kelana memejamkan mata, berusaha untuk terlihat biasa-biasa saja saat tangannya dimasukan jarum sedangkan darahnya tersedot keluar. Dia hanya memandang ke atas langit-langit karena dia tidak sanggup melihat darah.
"Tenang, sebentar lagi selesai," kata seorang suster yang sepertinya mengerti keadaan Kelana. "Kondisi Mbak Putih sepertinya mulai membaik, mungkin setelah ini dia tidak perlu melakukan tranfusi setiap bulan."
Kelana hanya mengangguk, kepalanya terasa begitu pening. "Hem, asal dia baik-baik saja."
Ketika Kelana keluar setelah darahnya diambil, dia melihat Reno dan Raga sedang bicara sesuatu. Tanpa memedulikan mereka berdua, Kelana berjalan melewati mereka lagi-lagi tanpa ekspresi.
"Mau pergi ke mana?" tanya Reno.
Kelana menoleh. "Saya sudah melakukan tugas saya. Berhenti memerintah ini itu pada saya."
Kemudian Kelana melanjutkan langkah, kepalanya benar-benar terasa pusing dia bahkan hampir terjatuh andaikan tidak berpegangan pada kursi. Perempuan itu menghela napas panjang, ketika dia melanjutkan langkah, tiba-tiba para suster dan petugas ambulan berlari melewatinya sambil mendorong blankar.
Mata Kelana membulat seketika saat blankar tersebut berhenti hingga memperlihatkan seseorang berlumuran darah. Seluruh tubuh Kelana berubah kaku, meski dia tidak ingin melihat orang itu namun matanya malah menulusuri setiap luka di tubuh orang itu. Hingga akhirnya, tatapannya terhenti tepat di pergelangan tangan yang juga terluka dan berlumuran darah.
Melihat hal tersebut Kelana teringat saat melihat sang bunda yang kesakitan setelah menyayat pergelangan tangan, sorot mata yang menatapnya penuh luka, darah yang keluar hingga membasahi kakinya. Tiba-tiba kepalanya terasa begitu pening, hampir saja terjatuh andaikan seseorang tidak menahannya lalu menariknya ke dalam pelukan sehingga Kelana tidak bisa melihat orang itu yang kini sedang ditangani oleh dokter dan dibawa pergi.
"Kamu ini bandel, ya? Jangan dilihat kalau takut." Suara itu terdengar tidak asing, aromanya pun sangat Kelana kenali.
Untuk kedua kali, Kenan kembali datang di saat Kelana membutuhkan seseorang