Bab 13 Mimpi
Bab 13 Mimpi
"Pada saat tertentu, aku berharap bisa menghilang dari dunia ini. Seluruh dunia terlihat gelap dan aku menangis setiap malam."-To My Youth - Bolbbalgan4
"Bunda, ini nasi gorengnya." Lana kecil memberikan keresek berisi sebungkus nasi goreng pada Bundanya.
Sang Bunda tersenyum lalu mengusap kepala Lana sayang. "Wahh benar nasi goreng. Kamu sudah ingat jalannya sekarang?"
Lana menganggukan kepala kuat-kuat hingga terlihat hampir putus. "Iya, tadi Bapak nasi gorengnya tahu terus bantu Lana nunjukin jalan pulang."
"Benarkah?"
Lana kembali menganggukan kepala. "Iya, Bapak penjual nasi gorengnya baik sekali. Katanya kalau Lana ke sana lagi, Lana akan dapat diskon." Kepala Lana meneleng. "Bunda, diskon itu apa?"
Kening sang Bunda berkerut samar. "Diskon itu potongan harga. Nanti kalau Lana beli nasi goreng lagi sama Pak Asep, harganya akan berkurang."
Lana menganggukan kepala, dengan riang dia berjalan mengikuti sang Bunda ke dapur. "Bunda, besok Lana ada ulangan matematika."
"Oh ya? Berarti kamu harus belajar biar bisa dapat nilai bagus."
"Benar. Bunda, kalau Lana dapat nilai seratus, nanti kita pergi ke taman terus beli es krim!" seru Lana semangat. "Kita perginya sama Papa, teman-teman Lana bilang kalau Lana tidak punya Papa buat diajak ke taman. Tapi Lana punya Papa, kan?"
Ketika itu, sang Bunda terdiam cukup lama. Matanya memerah ketika memandang wajah polos Lana. Dia mengusap rambut Lana dengan lembut seraya tersenyum lebar.
"Tentu saja."
Lana menyuap sesendok nasi goreng sambil menatap sang Bunda. "Tapi, kapan Papa pulangnya? Kok, sampai sekarang Papa tidak pulang-pulang. Apa kerjaan Papa banyak sekali?" tanya Lana polos.
Sang Bunda hanya bisa mengangguk dengan mata berkaca-kaca. "Iya, kerjaan Papa banyak sekali jadi tidak bisa pulang."
Lana merengut sesaat lalu tersenyum, mengerti perkataan sang Bunda. Dia kembali menyuap sesendok penuh nasi goreng tanpa memperhatikan raut wajah sang Bunda yang merah menahan tangis.
Hingga hari itu, ketika Lana pulang sekolah sambil membawa kertas nilai ulangannya yang lagi-lagi mendapat nilai sempurna. Ketika Lana berpikir akan menagih janji sang Bunda agar pergi lagi ke taman dan makan es krim, kali ini dia tidak akan menanyakan tentang Papanya yang akan ikut. Bagaimana pun juga, terkadang sang Bunda akan marah jika Lana bertanya tentang Papanya. Ketika Kelana membuka pintu dan berniat mengejutkan sang Bunda. Ketika Lana ingin memperlihatkan nilai hasil ulangannya, Lana malah mendapati tangan sang Bunda bersimbah darah.
"Bunda ..." panggil Lana, terlalu terkejut melihat sang Bunda.
Tubuhnya berlumuran darah, ruang dapur kotor oleh darah, di samping sang Bunda ada pisau, ia terlihat begitu kesakitan hingga Lana tidak tahu harus berbuat apa.
Kenapa ruangan ini penuh dengan darah? Kenapa Bundanya terlihat begitu kesakitan.
"BUNDA!!"
Mata Kelana terbuka secara tiba-tiba, napasnya terengah dengan keringat hampir seluruh tubuh. Sesaat Kelana kembali memejamkan mata, berusaha untuk menenangkan dirinya kembali. Dia melihat ke sekitar dengan nyalang, tidak ada darah, tidak ada pisau, tidak ada pergelangan tangan yang disayat hingga mengeluarkan banyak darah. Ini bukan dapur rumah tempat dahulu dia tinggal.
Kelana menghela napas, mengusap wajah dengan tangan. Bayangan tubuh Bundanya yang bersimbah darah sampai sekarang selalu membuatnya ketakutan, dia ingin membuang ingatan itu, tapi ingatan itu malah terus muncul dalam kepalanya.
Perempuan itu menoleh ke arah jam digital di meja nakas. Matanya membelalak kaget. Dia segera bangun.
"Sial. Kenapa aku bisa terlambat?!"
Kelana mandi dengan cepat lalu pergi keluar kamar. Dia melambaikan tangan pada Dara yang sedang menyiapkan sarapan pagi.
"Tunggu! Tunggu, sarapan dulu sini."
Kelana terpaksa berbelok ke arah dapur lalu meminum susu yang diberikan Dara. "Aku terlambat."
Dara mengerjap, sekilas melirik ke arah jam dinding. "Tapi ini masih jam enam pagi, Lan."
Kelana tidak tahan untuk memutar bola mata, pukul enam itu sudah kesiangan, bagaimana pun juga Kenan mengharuskan dirinya tiba di apartemen laki-laki itu tepat pukul tujuh, dan biasanya jika lebih dari pukul enam jalanan pasti macet.
"Iya, aku 'kan masuknya jam tujuh."
Dara hanya mengangguk kebingungan. "Habiskan dulu susunya, ini makan juga sandwichnya."
Kelana tidak menyahut namun menghabiskan susu dan mengambil sandwich dari tangan Dara. Akan dia makan saat di perjalanan nanti.
"Biar Abang saja yang antar, ya?" tawar Dara terlihat kasihan pada Kelana.
Kelana menggelengkan kepala. "Tidak perlu, Ma. Aku sudah pesan taksi. Aku berangkat dulu ya, Ma."
Tanpa menunggu sahutan dari Dara, Kelana segera pergi keluar. Bersyukur karena dia tidak perlu menunggu datangnya taksi. Sekilas, sebelum taksi melaju sesaat Kelana melihat Azra berlari dengan pakaian acak-acakan. Tidak lama kemudian ponselnya bergetar.
Azra: Lana, semalam 'kan Abang bilang berangkatnya bareng. Kenapa malah pergi tidak nunggu Abang?!
Kening Kelana berkerut sembari mengingat-ngingat. Dia langsung menepuk jidat, semalam Azra memang bilang akan mengantar jemput dirinya mulai hari ini. Bagaimana pun juga katanya Azra harus memastikan Kelana baik-baik saja saat jadi tunangan Kenan, dan yang terpenting Azra bisa tahu Kelana CLBK-an lagi dengan Raga atau tidak.
"Bang Azra tidak adil, nih. Masa sama Lana diantar jemput tapi aku tidak?!" Adalah pertanyaan sekaligus protesan dari Adel.
"Bukan begitu. Kamu juga tahu situasinya seperti apa? Kamu 'kan sudah mau resmi sama Gema. Kan, waktu kamu jadian sama Gema juga Abang selalu antar jemput kamu sampai Abang percaya sama Gema." Adalah alasan yang dilayangkan Azra dan membuat Adel bungkam tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Kelana tersenyum sendiri, meski Adel dan Azra bukan saudara kandungnya. Namun entah mengapa Kelana sangat nyaman bersama mereka hingga rasanya seperti bersama keluarga sendiri.
Kelana: Maaf aku lupa. Besok saja deh, ya?
Azra: Nanti sore. Jangan ke mana-mana.
Kelana mendengus, mana mungkin dia pulang sore-sore mengingat betapa sibuknya perusahaan sekarang--Kelana tahu dari Calvin mengenai hal itu--mungkin dia akan pulang seperti biasa.
Kelana: tidak perlu, aku pulang sendiri saja.
Azra: tidak ada penolakan. Abang akan tetap jemput kamu. Titik.
Kelana hanya memutar bola mata, untung Azra berada jauh darinya sekarang. Karena kalau tidak, Kelana ragu penampilan Azra akan baik-baik saja.
Kelana langsung menyapa satpam ketika dia sampai di gedung apartemen Kenan. Pak Deni yang memang sudah mengenal Kelana sebagai asisten Kenan, langsung balas menyapa dan menanyakan kabar. Buru-buru perempuan itu masuk ke dalam lift setelah melihat jam tangan. Waktunya tidak banyak.
"2020200." Kelana bergumam seraya memencet serangkaian nomor pasword apartemen Kenan. "Kenapa paswordnya mudah sekali? Apa dia tidak takut apartemennya kemalingan."
Sebelum masuk ke dalam, Kelana menarik napas sepanjang mungkin hingga dadanya terasa sakit sedikit hingga terbatuk kecil kemudian masuk ke dalam apartemen. Bersih seperti biasa. Meski bosnya itu malasnya minta ampun, namun untuk kebersihan Kenan patut diacungi jempol.
"Pagi, Pak Kenan!" Kelana menyapa sekaligus berseru, biasanya jam segini Kenan masih di kamar mandi. Maka dari itu dia buru-buru hendak pergi ke kamar Kenan namun langkahnya seketika terhenti saat melihat keberadaan Kenan di dapur dengan celemek gambar minion.
Seketika Kelana menganga, dia bahkan melangkah mundur seraya mencubit tangan, hanya untuk meyakinkan dirinya bahwa ini bukan mimpi. Memang bukan mimpi.
"Pak Ken?" Kelana berjalan mendekati Kenan, dia melihat ke arah sandwich yang sedang dibuat Kenan. "Itu, Bapak yang buat?"
Kenan mengikuti pandangan Kelana lalu mengangguk, setelah selesai membuat cokelat panas, laki-laki itu segera melepas celemek minionnya.
"Kenapa?"
Kelana mengerjap, rasanya tidak terlalu percaya. Kenan itu tipe laki-laki yang sangat malas melakukan apa pun, bahkan sekedar menggerakan seluruh anggota tubuh, jika saja Eric dan Rima tidak mengomeli Kenan, mungkin bosnya itu tidak akan mau bekerja. Intinya untuk bekerja pun, Kenan sangat terpaksa melakukannya.
"Hanya saja, tumben sekali Bapak membuat sarapan. Biasanya juga sarapannya bubur, tapi ini sandwich?"
Sebelah alis Kenan terangkat. "Kamu suka sandwich, kan?"
Kelana hanya mengangguk karena bingung.
Kenan duduk di kursi bar, sedangkan Kelana berdiri dengan tampang bodoh. "Kenapa berdiri terus? Duduk, kita sarapan bersama."
Kelana tersedak oleh ludahnya sendiri. "Tapi, saya sudah sarapan?"
Raut wajah Kenan seketika berubah, dia terlihat sedikit merengut dan kesal. "Padahal saya bangun pagi-pagi untuk membuat sarapan dan sarapan pagi bersama tunangan saya."
Kelana tersedak lagi, kali ini lebih hebat. "A-apa? Jadi Bapak sengaja buat semua itu?"
Kenan mengangguk. "Tentu saja. Meski kamu sudah sarapan, kamu tetap harus sarapan lagi di sini."
Kelana memutar bola mata. "Tapi ..." Dia sudah kenyang, bagaimana pun juga sandwich yang tadi diberikan Dara cukup besar.
Kenan menatap Kelana. "Kalau kamu tidak makan, nanti makanannya sayang kebuang begitu saja. Sebagai manusia kamu harus menghargai pemberian orang lain, saya sudah capek-capek buat, lho. Makan." Melihat Kelana diam saja, Kenan kembali menyuruh Kelana. "Duduk terus makan."
Dengan sangat terpaksa Kelana duduk di samping Kenan, dasar bosnya itu benar-benar egois. Dia mengambil sandwich tersebut dan menelitinya, siapa tahu rasanya tidak terlalu enak, tetapi melihat Kenan yang berwajah datar namun terlihat jelas kalau bosnya terlihat terganggu karena harus mengunyah cukup lama.
"Kenapa?" Kenan menoleh pada Kelana. "Kenapa belum di makan? Enak, kok."
Kelana ragu, memangnya Kenan bisa memasak dengan baik padahal laki-laki itu biasanya hanya tidur kerja, tidur kerja, tidak lebih dari itu. Namun rasanya tidak sopan jika Kelana tidak memakan sandwich buatan Kenan.
"Kejunya banyak, lho," kata Kenan tiba-tiba. "Saya pakai keju mozarela."
Kelana memandang Kenan dan sandwich bergantian, lalu tanpa aba-aba dia langsung melahap sandwich tersebut dengan riang. Rasanya sama sekali tidak buruk, malah sangat enak.
"Enak, kan?" tanya Kenan tersenyum. "Nanti saya buatin makanan yang lain buat kamu. Bagaimana kalau spaghetti? Atau steak?"
Kelana meminum cokelat yang mulai mendingin sambil berpikir, mungkin di hari pertunangan waktu itu Kenan meminum obat atau entahlah hingga sikapnya berubah drastis.
Kenan memandang Kelana seraya tersenyum lebar. "Sudah saya bilang, dalam tiga bulan ini saya akan membuatmu jatuh pada saya."
"Apa?"
Kenan duduk tegak. "Mulai sekarang kamu harus membiasakan diri dengan sikap saya. Bagaimana pun juga saya tidak boleh buang-buang waktu." Dia mencondongkan tubuh ke arah Kelana. "Dan saya suka saat kamu memanggil saya dengan nama saja kemarin. Kamu harus sering-sering melakukannya di depan saya."
Kenapa tiba-tiba Kenan jadi terlihat keren sekarang? Tampaknya Kelana sudah gila.