Bab 12 Janji
Bab 12 Janji
"It's hard to believe in coincidence, but it's even to believe in anything else."-John Green
"Bukan janji apa-apa." Kenan tersenyum lebar bak model iklan pasta gigi.
Bukannya percaya, Kelana malah semakin curiga. Dia mendekat ke arah wajah Kenan. "Bapak itu tidak pintar bohong, mana ada orang yang tiba-tiba memberi peringatan kalau tidak buat janji."
Kenan membalas pandangan curiga Kelana dengan datar. "Sususan kalimatmu sungguh buruk."
Kelana berdecak pelan. "Bukan begitu maksudnya. Hanya saja, 'kan mana mungkin Bapak tidak buat janji tapi Bang Azra seperti nyuruh Bapak buat nepatin janji."
"Lana, aku baru sadar ternyata kamu itu kepo sekali, ya?" Calvin tersenyum lebar seolah sedang mengejek Kelana.
Kelana mendelik kesal. "Kamu juga sama. Tadi tanya-tanya tentang aku dan Raga. Di depan orangnya lagi, kurang malu apalagi coba."
Calvin terkekeh, "Wajar dong kalau aku kepo. Soalnya itu tuh menyangkut hubungan kalian. Siapa tahu saja Azra benar, kalian ingin balikan sama Raga."
Tahu dia hanya akan dibully terus, Kelana memilih pergi saja. "Lebih baik aku pergi saja."
"Kamu marah?" Kenan bertanya pelan. "Jangan pedulikan omongannya Calvin, sini duduk lagi." Kenan menarik tangan Kelana lalu kembali mendudukan perempuan itu di sampingnya, bahkan Kenan tetap memegang tangan Kelana dengan kuat agar perempuan itu tidak pergi.
Kelana menatap Kenan bingung, sejak kemarin dia dibuat bingung oleh Kenan. Laki-laki itu tiba-tiba berubah jadi sangat manis, sikap malas yang terkadang selalu diperlihatkan mendadak hilang hingga membuat Kelana berpikir jika bosnya itu mempunyai kepribadian lain.
Bagaimana pun juga Kelana belum terbiasa dengan sikap Kenan yang seperti ini.
"Iya, jangan ngambekan nanti wajah kamu cepat tua. Kalau Kenan cari perempuan lain nanti gimana?" Calvin malah semakin menggoda Kelana, tidak memedulikan tatapan tajam Kenan.
Ingin rasanya Kelana memukul kepala Calvin hingga penyok. "Ingin kuberkata kasar." Dia memejamkan mata lalu tersenyum lebar. "Aku malah sangat berharap Pak Ken cari perempuan lain."
"Perkataanmu membuat saya ingin menciummu," kata Kenan tiba-tiba, suaranya datar namun mengandung banyak arti.
Kelana menelan ludah gugup, tiba-tiba ingatan ketika Kenan menciumnya malam itu terbayang di kepalanya. Harus Kelana akui kalau ciuman Kenan lebih baik dari ciuman Raga. Atau mungkin karena waktu itu dirinya dan Raga sama-sama lugu jadi tidak tahu apa-apa mengenai ciuman.
Kelana berdecak dalam hati, kenapa juga dia malah berpikir kotor seperti ini.
"Jangan coba-coba!" Kelana memperingati, dia bahkan segera menjauhi Kenan, takut laki-laki itu membuktikan perkataannya.
Bukannya menurut, Kenan malah sengaja mendekati Kelana dengan ekspresi datar. "Kenapa kamu malah menjauh? Sini mau saya cium dulu."
Kelana semakin ketakutan, dia heboh sendiri padahal ekpresi Kenan begitu datar. "Ihh, Kenan ... awas saja! Sana sana, jauh-jauh dikit."
Calvin yang melihat hal tersebut langsung berdehem lalu bersiul pelan. "Cie ciee, aku tahu kalian sedang jatuh cinta. Tapi kalian juga harus tahu kalau tempat ini bukan milik kalian berdua, dan terutama ... ada banyak pasang mata yang sedang menatap kalian dengan berbagai asumsi di kepala mereka."
Kelana mendelik pada Calvin. "Ini semua gara-gara kamu!"
Kening Calvin langsung berkerut. "Kok, aku? Aku salah apa?" Dia mendesah panjang. "Emang ya aku ini serba salah."
"Mati saja mau?"
"Yahh, jangan dong. Kamu sadis, ih ..." Calvin menatap Kenan. "Kenapa sih kamu malah suka sama perempuan seperti dia? Lana itu bar-bar, jauh dari kata anggun."
Kenan menghela napas, terlihat lelah melihat pertengkaran Kelana dan Calvin yang tidak akan pernah berhenti. "Sudahlah, jangan ganggu Kelana apalagi menggodanya."
Calvin terlihat terkejut, sembari memegang dadanya dia menatap Kenan. "Astaga, aku tidak percaya kalau ternyata kamu sudah takhluk sama Lana. Betapa cinta itu menyeramkan."
Kelana tidak tahan untuk melempar tisu yang sudah digulung ke mulut Calvin. "Kamu itu laki-laki, kok cerewet sekali? Pantes saja sampai sekarang belum punya pacar. Mana ada perempuan yang tahan pacaran apalagi menikah sama laki-laki seperti kamu."
Calvin mendelik kesal. "Hei, omonganmu sungguh tidak sopan. Bagaimana pun juga aku ini atasanmu, beraninya mengumpatiku."
Kelana membalas pandangan Calvin menantang, dia benar-benar kesal pada laki-laki satu itu. "Kenapa? Kamu mau memecatku? Silakan saja, lagi pula Kenan pasti tidak akan membiarkan hal itu terjadi."
"Ck, pecundang. Bisanya sembunyi di punggung orang lain."
Kelana sudah tidak bisa menahan emosinya, dia sudah berdiri hendak melakukan sesuatu pada Calvin tapi lagi-lagi ditahan oleh Kenan. Kelana menatap Kenan kesal.
"Lepas, aku harus memberi dia pelajaran."
Kenan menghela napas, terlihat begitu lelah. "Biarkan saja, Calvin sengaja memancingmu. Jangan terbawa suasana."
Kelana duduk kembali setelah mengembuskan napas panjang, matanya menyipit memandang Calvin. Baru nyadar kalau ternyata sedari tadi Calvin sedang mengalihkan perhatiannya pada perjanjian antara Azra dan Kenan.
"Kamu sengaja mengalihkan perhatianku, ya?" Kelana menuduh seraya menunjuk Calvin.
Tatapan Calvin langsung tertuju pada Kenan. "Jiahh, dasar pengkhianat. Sia-sia deh berantem sama Lana."
"Daripada kamu habis sama Kelana," balaa Kenan datar.
"Jadi, janji apa yang kalian buat?"
Calvin memutar bola mata. "Ya menurut kamu? Memangnya janji apa yang bisa dibuat sama laki-laki yang cinta mati sama adik dari kakaknya?!" seru Calvin kesal, tidak bisa lagi menahan kesal apalagi menyembunyikan rahasia.
Sayangnya kali ini Kelana begitu lemot mencerna perkataan Calvin. Ketika dia bertanya lagi pada Calvin, laki-laki itu malah melengos, sama sekali tidak mau menjawab.
"Pokoknya gitu, pikirin saja sendiri. Nanti kamu juga tahu." Sekilas dia menatap Kenan. "Terus, sejak kapan kamu dekat sama Raga? Apa kamu pernah pacaran sama laki-laki lain selain Raga?"
Kelana berdecak pelan, kenapa obrolan mereka malah kembali mengenai dirinya lagi? "Kan, tadi sudah dijelasin."
"Kurang jelas tadi. Azra marah-marah jadinya kita tidak ngerti."
"Kamu atau Pak Ken yang tidak ngerti?" Kelana mencemooh.
Calvin menggeleng kecil, kembali melirik Kenan yang masih saja diam bukannya bertindak sesuatu. "Sialan. Pokoknya, apa kalian benar-benar terlihat sangat dekat? Gimana ceritanya kalian bisa pacaran?"
Kelana memutar bola mata, sesungguhnya dia enggan bicara tentang Raga pada Calvin mau pun Kenan. Menurutnya, itu adalah hal pribadi yang tidak bisa Kelana katakan pada siapa pun untuk sekarang. Bukan karena Kelana memiliki kenangan yang begitu manis dengan Raga. Hanya saja, menceritakan tentang dirinya dan Raga sama saja dengan membuka semua luka yang selama ini sudah Kelana coba untuk dihilangkan.
"Kami kenal saat ospek kuliah. Karena kita sefakultas, ya kita jadi deket terus jadian terus putus, deh," jelas Kelana, singkat, padat dan jelas.
Calvin mengernyit. "Duh, masa cerita selama lima tahun bisa sependek itu."
"Ya memang begitu ceritanya, gimana sih? Kamu juga sudah dengar ceritanya dari Bang Azra."
"Kalau Raga itu selingkuh sama Putih?"
Kelana terlihat cukup kesal saat Calvin mengatai Raga. "Kamu tidak tahu apa-apa tentang dia. Jangan asal tuduh saja!"
Calvin tersenyum kecil. "Ah, jangan-jangan kamu masih punya perasaan sama Raga, ya?"
Kelana memutar bola mata. "Jangan ngaco, deh!" Dia menatap Kenan yang sedari tadi hanya diam memperhatikan. "Bapak mau terus di sini? Jam makan siang sudah habis, lho?"
Kenan tersenyum kecil. "Saya belum makan siang, lagi pula tidak perlu kembali ke kantor soalnya mau lanjut meeting di sini."
Kelana mengangguk mengerti, pantas saja Kenan mau beranjak dari singgasananya dan jauh-jauh datang ke sini. "Bapak mau pesan sekarang? Saya mau langsung pergi, nih."
"Jangan, kamu harus di sini sampai saya pergi meeting." Melihat raut kesal Kelana, buru-buru Kenan kembali berkata, "kamu boleh pesan apa pun. Saya yang bayar."
Senyum Kelana merekah, meski sering kali Kenan meneraktirnya entah itu makan siang atau makan malam bahkan sarapan pagi, namun tetap saja Kelana merasa senang. Bagaimana pun juga, gajinya jadi terselamatkan karena tidak perlu mengeluarkan uang untuk makan sehari-hari. Dan yang paling utama, Kelana bisa makan enak terus. Meski Kenan itu petakilan, tapi untuk urusan teraktir-teraktiran bosnya itu jagonya.
"Dih, rakus sekali, sih. Heran juga kenapa badannya masih saja kecil padahal makannya sudah ngalahin porsi sapi."
Kelana tidak terpengaruh dengan ejekan Calvin. "Daripada kamu, makanya sudah seperti kuda nil."
Calvin merengut kesal dan Kelana terkekeh senang tapi langsung tersedak oleh pasta yang sedang dia kunyah. Dia segera menerima air yang diberikan Kenan. Giliran Calvin yang tertawa senang.
Perut Kelana kenyang setelah menghabiskan porsi besar es krim rasa vanila. Dia tersenyum sangat lebar, tidak memedulikan tatapan takjub dan ejekan Calvin. Dia menoleh pada Kenan. Seperti biasa, laki-laki itu makan dengan sangat lambat. Kenan bahkan belum menghabiskan pastanya padahal Kelana dan Calvin sudah menghabiskan semua makanan yang dipesan.
"Jam berapa sih mulai meetingnya?" tanya Kelana pada Calvin.
Calvin menatap jam tangan. "Dua puluh menit lagi."
Mendengar hal tersebut, entah mengapa sedikit membuat Kelana kesal. Dia melirik pasta di piring Kenan yang tersisa banyak. Tanpa aba-aba dia mengambil garpu dari tangan Kenan dan menyuap segulung pasta pada Kenan.
"Cepat makan, waktunya tidak banyak lagi. Kalau Bapak makannya seperti itu pasti akan ngabisin waktu sejam. Sini, buka mulutnya." Kelana segera memasukan segulung pasta ke dalam mulut Kenan. "Nah, gitu dong. Sini buka lagi mulutnya."
Calvin yang melihat hal tersebut melongo terkejut, Kelana memang sangat perhatian pada Kenan, namun dia tidak memenyangka Kenan si pemalas bisa menurut seperti itu pada Kelana.
"Nah, kan enak lihatnya kalau sudah habis." Karena terbiasa mengurusi keseharian Kenan yang malasnya minta ampun di siang hari, hal tersebut tetap Kelana lakukan meski sedang libur kerja sekali pun. "Karena Bapak juga sudah siap, saya juga harus pulang sekarang."
"Jangan ke mana-mana setelah dari sini." Kali ini ada nada di suara Kenan, meski Kelana tidak tahu apa arti nada tersebut. "Langsung pulang ke rumah Azra. Jangan lupa hubungi saya kalau sudah sampai."
Calvin kembali mengolok-olok sambil mengedipkan sebelah mata. "Apalagi ketemuan sama Raga. Nanti ada yang marah."
Kelana bersikap seolah ingin menendang Calvin.
Tanpa diduga, Kenan memeluk Kelana dan mencium puncak kepala perempuan itu. "Hati-hati di jalan."
Kelana tertegun.
\