Bab 10 Pertemuan Dadakan
Bab 10 Pertemuan Dadakan
"Lebih baik mencintai seseorang dalam diam, ketimbang kau menyatakan perasaanmu tapi orang itu malah menjauh."-Crazy Little Things Called Love
"Kamu benar-benar mau pindah lagi, Lan?" tanya Adel penasaran. "Emangnya kamu mau pindah ke mana lagi? lebih baik tinggal di sini, rumah jadi makin ramai. Apalagi akhir-akhir Bang Azra lembur terus, katanya biar cepet dipromosiin."
Kelana tersenyum kecil, saat siang hari rumah Adel memang terasa sedikit sepi. Galang dan Azra pergi bekerja, begitu juga dengan Dara. Dia seorang Chef di salah satu restauran terkenal di daerah Kemang. Sedangkan Adel yang seorang desainer, meminta izin tidak masuk karena suatu keperluan.
"Bentar lagi juga ramai. Bukannya empat bulan lagi kamu mau nikah sama Gema?"
Adel langsung tersenyum. "Nah, itu masalahnya. Gema bilang, setelah kita nikah, dia mau aku ikut dia ke Bali. Kasihan Mama ditinggal sama Bang Azra dan Papa."
Kelana memutar bola mata. "Makanya jangan nikah sama Gema. Sudah tahu laki-laki itu kerjanya suka pindah-pindah tempat."
Adel merengut kesal. "Kalau sudah cinta mau gimana lagi? Aku juga sudah bosan kalau harus LDR-an terus."
Kelana menatap sahabatnya dengan serius. "Kalau kamu ikut Gema pergi ke Bali, bukannya itu artinya kamu juga akan ngundurin diri pekerjaan, terus bukannya kamu itu orangnya tidak suka duduk diam saja? Nanti kamu kebosanan nungguin Gema pulang kerja."
"Ahh, kenapa sih kamu mikirnya berat sekali? Itu mah urusan nanti saja." Adel tersenyum sangat lebar lalu menarik tangan Kelana. "Hari ini kamu libur, tidak ada rencana ketemuan sama mantan rekan-rekan kamu di studio?"
Kelana mengerjap lalu mengedikan bahu. "Aku ketemu sama mereka dua minggu yang lalu di restaurant waktu aku nemenin Ken Arok meeting."
"Tidak mau ketemu sama mereka lagi?" Adel menatap Kelana jenaka, tahu bahwa Kelana mengerti maksudnya.
Kelana memutar bola mata sambil berdecak kesal. "Kalau aku ketemu mereka sekarang, yang ada aku dijadiin bahan gosip mereka. Sori, ya. Aku sudah capek jawab soal apa yang dilakuin Ken Arok."
Adel terkekeh pelan, "Sebenarnya Ken Arok itu tampan, lho. Dia juga bukan playboy, uangnya banyak sekali, mandiri, kamu beruntung sekali kalau benar-benar jadian sama Ken Arok. Sepenglihatan aku, Ken Arok itu tipe laki-laki yang setia. Cuma dia itu malasnya minta ampun. Tukang tidur lagi. Sudah dewasa juga."
"Kenapa tidak kamu saja yang jadi tunangannya Ken Arok?"
Adel mendesan panjang seolah menyesali seauatu. "Andaikan aku lebih duluan ketemu sama Kenan, sudah aku kejar."
Kelana hanya berdecak, dia ingin kembali ke kamar tapi Adel malah menyeretnya pergi keluar rumah dan masuk ke dalam taksi yang dipesan oleh Adel sebelumnya.
"Aku masih trauma." Kelana bergumam saat tahu mereka akan pergi ke mall lagi. "Gimana kalau aku ketemu sama Raga terus cium laki-laki lain lagi?"
Adel memutar bola mata. "Yaelah, Lan. kamu mah mengkhayal terus. tidak akan ada Raga, bukannya dia lagi pergi ke Padang?"
Kelana mendelik. "Mana aku tahu kalau Raga lagi pergi ke Padang. Ngomong saja jarang sekali."
"Ya sudah, doain saja moga Raga belum kembali dan kalau pun dia sudah pulang moga kita tidak ketemu sama Raga." Adel menatap Kelana serius. "Lagi pula 'kan kamu sudah punya tunangan entah itu benar-benar atau bohongan. Masa kamu mau cium laki-laki lain. Entar Kenan marah terus kamu dihabisin deh sama camer kamu."
Kelana hanya mendengus, enggan bicara lagi dengan Adel karena ujung-ujungnya pasti selalu mengesalkan.
Tidak lama kemudian Kelana dan Adel sampai di tempat tujuan. Mereka segera turun dari dalam mobil. Sembari menunggu Adel membayar ongkos taksi, Kelana bediri agak jauh dari Adel, keningnya berkerut saat menatap gedung megah di hadapannya. Entah mengapa dia merasa tidak enak.
"Kenapa malah berdiri di sini? Ayo masuk!"
"Kokas? Untuk apakamu ngajak aku ke Kokas?"
"Lha, baru nyadar, Non? Ke mana saja tadi?!"
Kelana menggaruk kepala, dia memang tidak memperhatikan jalanan saking kesalnya pada Adel. Dia berbalik menatap Adel. "Kita pergi ke mall lain saja, ya?"
Adel menatap Kelana tidak mengerti. "Hah, kenapa? Jauh lagi kalau ke mall lain. Aku juga sudah laper sekali, lagi mau makan omurice cheese. Ayo!"
"Tapi, Del ..."
Kelana mengeluh kesal saat Adel menarik tangannya dan masuk ke dalam mall. Perempuan itu melihat ke sekeliling saat sadar bahwa ini adalah hari rabu. Biasanya di hari rabu Kevin disuruh Eric untuk membantu pekerjaan di salah satu cabang restaurant yang kebetulan berada di mall ini. Meski kecil kemungkinan mereka untuk bertemu namun tetap saja Kelana merasa waspada. Bagaimana pun juga saat ini dia sedang tidak ingin bertemu dengan siapa pun dari keluarga Kenan dan keluarganya sendiri.
"kamu kenapa sih? Ngelihatin apaan?" Adel bertanya saat melihat tingkah Kelana.
Kelana menoleh pada Adel lalu melihat ke sekitar. "Bukan apa-apa. Letaknya di mana, sih? Masih jauh tidak?"
Adel berdecak pelan. "Tidak. Deket, kok. Belok ke sana, ayo!"
Takoyaki and Friends
Kening Kelana berkerut saat melihat papan nama restaurant yang ditulis besar-besar di dinding kaca. Nama yang cukup aneh dan tidak asing, seolah dia pernah mendengarnya di suatu tempat padahal sudah sangat jelas dia tidak pernah datang ke restaurant Jepang.
"Itu tempatnya kosong. Cepet ke sana sebelum ada yang ambil." Adel kembali menarik tangan Kelana menuju sebuah meja kosong di antara meja yang terisi penuh.
"Mau pesen sekarang? Samain sama aku?"
"Asal makannya tidak pake sumpit."
Adel hanya menganggukan kepala, baru ingat kalau Kelana sangat payah jika makan pakai sumpit. Setelah memesan makanan, perhatian Adel benar-benar terfokus pada Kelana. Dengan riang dia mengatakan sesuatu sambil berbisik.
"Tahu tidak, tiap hari selasa, rabu, dan sabtu suka ada pelayan yang tampannya ngalahin ketampanan Brad Pit. Dia masih muda, masih kuliah." Adel tersenyum lebar. "Aku dikasih tahu sama Susi. Katanya ada pelayan laki-laki tampan sekali, masih kuliah. Katanya juga dia anak pemilik restaurant ini."
Kepala Kelana meneleng, tiba-tiba merasa tidak enak setelah mendengar perkataan Adel. Entah mengapa dia jadi memikirkan Kevin, bukankah Kevin juga masih kuliah meski tahun ini laki-laki itu akan lulus, wajah Kevin juga lumayan tampan.
"Aku jadi ngerasa tidak enak."
"Tidak enak kenapa?"
Kelana mengedikan bahu, dia menganggukan kepala pada pelayan yang mengantar pesanan. Dengan gugup dia melihat ke sekitar, moga saja Kevin tidak sedang bertugas.
"Tidak kenapa-napa." Kelana menyahut, untuk kali terakhir melihat ke sekitar memastikan bahwa Kevin tidak ada di sini. Jika ada di sini, bisa kacau semua harinya. Bagaimana pun juga kelakuan anak itu tidak jauh beda dengan Kenan yang selalu membuat Kelana pusing setengah mati.
Ketika Adel asik membicarakan rencana pernikahannya dengan Gema dan rencana masa depannya jika sudah menikah dengan Gema, tiba-tiba ponsel Adel berbunyi. Wajah perempuan itu terlihat shock. Tanpa permisi pada Kelana, Adel mengangkat telepon.
"Apa?! Tapi--oke, saya ke sana sekarang. Lima belas menit palingan." Adel mendengus lalu menatap Kelana meminta maaf. "Maaf, aku harus pergi dulu. Ratna melakukan kesalahan, jadi aku yang harus tanggung jawab."
Kelana hanya mengangguk, biasanya dia yang selalu ditelepon oleh Kenan ketika bersama Adel. Namun sekarang rasanya sedikit berbeda. Kelana baru sadar sejak kemarin Kenan tidak mengiriminya pesan atau menelepon. Kelana mengedikan bahu tak acuh, mungkin Kenan sudah bosan dengannya.
"kamu mau terus di sini atau balik bareng aku?"
"kamu duluan saja. Aku mau pergi ke tempat lain dulu."
"Oke, aku pergi duluan. Byee!" Kemudian Adel berlari keluar sambil menggerutu kesal.
Kelana tersenyum kecil, dia mengambil iPod dari dalam tas lalu memutar musik setelah kedua telinganya disumpal oleh headseth. Ketika Kelana hendak pergi, seseorang memegang tangannya.
"Kamu makan siang di sini?"
Kelana menoleh, matanya terbelalak kaget saat melihat sosok laki-laki yang dia takuti tengah berdiri di hadapannya sembari tersenyum lebar.
"Ka-kamu untuk apa di sini?"
Raga terkekeh pelan seolah pertanyaan Kelana tidak memerlukan jawaban. "Kamu lupa, ya. Aku 'kan biasa makan siang di sini."
Sejak awal itulah yang ditakuti Kelana, Raga memang biasa makan siang di mall ini, yang kedua, Kevin juga kerja di sini, di restaurant ini. Tetapi yang membuat Kelana kesal, di antara semua kafe dan restaurant di Kokas kenapa Raga datang ke restaurant ini?
"Tidak tuh." Kelana menyahut asal, dia melangkah mundur ingin segera pergi tapi lagi-lagi ditahan oleh Raga sehingga perempuan itu terpaksa duduk kembali di hadapan Raga.
Raga tersenyum memandang Kelana. "Apa kabar? Kamu kelihatan lebih bahagia. Apa karena kamu sudah bertunangan dengan eksekutif muda itu?"
Kelana memandang Raga tajam. "Kalau kamu cuma mau ngomong tidak jelas, lebih baik aku pergi saja."
"Jangan. Kamu masih suka ngambek, ya." Raga terus tersenyum, kedua matanya menatap Kelana hangat. "Aku tidak akan nanya tentang pertunangan, atau kenapa kamu menghindari aku terus. Tapi aku akan bilang: aku seneng sekali bisa bicara sama kamu lagi."
Kelana langsung terdiam, rasanya aneh menjadi canggung dengan Raga mengingat betapa dekat mereka dahulu.
"Gimana kerjaan kamu?" Raga kembali bertanya. "Kamu melepaskanmimpi kamu dan malah jadi seorang asisten. Apa menyenangkan?" Raga tersenyum kecil. "Harusnya kamu jadi asistenku saja."
Kelana mendengus. "Kerja sama kamu itu gajinya kecil."
Senyum Raga tidak hilang, laki-laki itu masih terlihat manis seperti dahulu. "Nanti aku gedein."
"Sebenarnya apa yang mau kamu bicarakan? Aku harus pergi."
"Ada banyak hal yang ingin aku bicarakan. Coba kalau kita ketemu di hari weekend."
"Bukannya tiap weekend kamu jalan sama Putih?" Kelana mengejek, sangat hafal kebiasaan Putih di hari weekend.
Raga mengangguk. "Benar juga. Ahh, tapi sekarang aku merasa senang." Raga menatap Kelana misterius. "Aku bisa bebas sekarang."
Kening Kelana berkerut tidak mengerti.
"Kelana!" teriak seseorang terdengar marah.
Sontak Kelana dan Raga menoleh ke depan pintu kaca, mata Kelana membelalak kaget saat melihat Azra bersama Calvin dan Kenan. Kenapa mereka bisa bersama?
"Apa kamu mau kembali pada Raga padahal kamu sudah punya tunangan!" seru Azra lagi hingga menarik perhatian banyak orang.
***