Bab 5
Sang resepsionis menelan air liurnya, lalu memutar nomor telepon bosnya, Hilman Natawijaya.
“Bos, ada orang yang datang mencarimu.” Sang resepsionis menatap Arsyad Bramasta sekilas dengan ketakutan.
Dia tidak tahu kepalan Arsyad Bramasta terbuat dari apa, tetapi dia tahu, meja resepsionis terbuat dari batu marmer itu tidak perlu diragukan.
“Siapa?” Hilman Natawijaya langsung mendengar ada yang aneh dari Sang resepsionis.
“Suami Shania Twain.” Kata Arsyad Bramasta.
“Dia, dia adalah suami Shania Twain.”
Di dalam kantor, Hilman Natawijaya bangkit dari tubuh seksi sekretaris, lalu mengerutkan keningnya, "Suami Shania Twain? Sejak kapan Shania Twain memiliki suami?"
“Biarkan dia masuk.” Meskipun dia ragu, tetapi bagaimanapun, Hilman Natawijaya adalah orang yang membunuh lalu menjilati darah diatas pisau alias sangat mengerikan, jadi dia tidak takut akan hal itu.
“Kantor Bos Hilman Natawijaya berada di lantai paling atas.” Sang resepsionis berkata dengan ketakutan.
“Lantai paling atas?" Arsyad Bramasta tersenyum.
"Jika kamu berani macam-macam, bersiaplah dengan ajalmu!" Arsyad Bramasta tersenyum, tatapannya terlintas sebuah cahaya.
Di dalam kantor Hilman Natawijaya, sekretaris seksi sedang mengenakan roknya, raut wajahnya memerah, didalam ruangan masih tersisa aroma percintaan yang panas.
“Pergi, suruh mereka datang kemari.” Hilman Natawijaya menepuk bokong sekretaris lalu berkata.
“Baik.” Sekretaris menundukkan kepala dan menjawab, begitu membuka pintu, dihadapannya muncul sebuah wajah tangguh.
Itu adalah Arsyad Bramasta, ia memasuki pintu, Hilman Natawijaya adalah pria paruh baya yang lumayan kokoh, wajah kanannya ada bekas luka. Dia mengenakan kemeja kotak-kotak, kancing di dadanya tidak dikancing, otot-otot dada yang padat langsung terlihat.
Hilman Natawijaya mengamati Arsyad Bramasta sekilas, lalu bertanya, “Bagaimana caraku memanggilmu?”
“Arsyad Bramasta.” Arsyad Bramasta mengerutkan kening, aroma anyir yang tersisa diruangan membuatnya sedikit tidak nyaman.
“Datang menagih hutang?” Hilman Natawijaya menyalakan sebatang rokok, menyesapnya dengan kuat, lalu bertanya dengan datar.
“Ya.” Arsyad Bramasta menganggukan kepala.
“Apakah kamu tahu dimana sekarang orang yang terakhir kali datang menagih hutang kepadaku?” Tanya Hilman Natawijaya.
“Tidak tahu.” Hilman Natawijaya menggelengkan kepala, lalu mengamati perabot di dalam kantor Hilman Natawijaya.
“Sekarang dia berada dirumah sakit, enam tulang rusuknya patah, dan juga sebuah kaki, diperkirakan setengah hidupnya hanya dapat dilewati di atas kursi roda. Menurutmu, apakah dia sangat menyedihkan?” Tatapan Hilman Natawijaya melihat ke Arsyad Bramasta terbawa sedikit lelucon, seolah-olah seperti melihat seekor monyet saja.
“Menyedihkan, sudah terlalu menyedihkan.” Arsyad Bramasta berkata dengan penuh arti lalu menghela nafas.
“Kalau begitu, apakah kamu masih akan menagih hutang?” Hilman Natawijaya mengeluarkan asap dari mulutnya lalu bertanya.
“Mau!”
Hilman Natawijaya dibuat tertegun oleh perkataan ini, "Orang ini adalah seorang idiot, kah? Dia sudah seperti ini, dan masih berani menagih hutang."
“Saudaraku, apakah otakmu sudah dilindas oleh mobil?” Hilman Natawijaya memadamkan rokok, bangkit lalu bertanya dengan kejam.
“Tidak” Arsyad Bramasta menggelengkan kepala, lalu berkata dengan tenang, “Bos Hilman Natawijaya, mengembalikan hutang adalah hal yang wajar, dan apa yang kamu lakukan sebelumnya aku tidak mempermasalahkannya. Tetapi sekarang aku sudah datang, uang itu, aku sarankan lebih baik kamu memberikannya beserta bunganya.”
Sudut mulut Hilman Natawijaya terdapat lengkungan kejam, dia tertawa dingin dan berkata, “Bagaimana jika aku tidak bersedia?”
Arsyad Bramasta tiba-tiba menyeringai, lalu berkata, “Kalau begitu, aku akan memukulmu sampai kamu bersedia.”
“Semua, masuklah!” Hilman Natawijaya memukul meja dengan kuat, sampai asbak rokok diatas meja bersuara.
Pintu dibuka, lalu masuk sekitar 8 pemuda yang kekar.
Hilman Natawijaya menunjuk Arsyad Bramasta lalu berkata dengan datar, “Patahkan kakinya.”
Dia masih belum pernah berjumpa dengan orang konyol yang begitu tidak tahu kedudukannya. Di Kota Cadia, selalu dia yang menagih hutang kepada orang lain, bagaimana mungkin ada orang yang berani menagihnya?
8 pemuda mendengar ini, wajah mereka mengeluarkan ekspresi kejam, lalu berjalan ke arah Arsyad Bramasta dari kiri dan kanan. Sejak awal, mereka sudah mengikuti Hilman Natawijaya berbisnis di Kota Cadia. Beberapa tahun ini, membunuh orang lalu menjilati darah diatas pisau, dengan kekuatan yang kejam, membuat reputasi yang keji di Kota Cadia. Berkelahi adalah hal yang biasa.
Arsyad Bramasta melihat beberapa orang yang mengelilinya, bahkan tidak bergerak sama sekali.
Senyum di sudut mulut Hilman Natawijaya lebih buruk lagi, "Orang bodoh ini, apakah sudah dikejutkan sampai terdiam seperti itu?"
Tetapi pada saat berikutnya, senyum disudut mulutnya terhenti. Hanya melihat Arsyad Bramasta lompat tinggi, sebuah kaki melayang, menyapu terbang 4 orang. 4 orang yang tersisa masih belum bereaksi, lalu disapu terbang lagi oleh kaki Arsyad Bramasta, lalu terhantam di dinding, tidak sampai 3 detik.
"Apakah dia monster?" Hilman Natawijaya tertegun, bahkan ketika rokok di tangannya menyentuh jarinya, dia juga tidak tersadarkan.
Melihat Arsyad Bramasta berjalan ke arahnya, Hilman Natawijaya akhirnya baru tersadarkan.
“Saudara, kesalahpahaman, mari kita berbicara tentang hutang itu perlahan-lahan.” Hilman Natawijaya terburu-buru berkata dengan menurunkan suaranya, kekuatan bertarung pemuda dihadapannya, benar-benar bukanlah manusia.
Arsyad Bramasta tersenyum menghina, lalu berkata, “Bagaimana membicarakannya?”
Bola mata Hilman Natawijaya berputar, lalu terburu-buru berkata, “Kak Arsyad Bramasta, bukan karena aku tidak mau membayar kembali uang kakak ipar, tetapi keuangan perusahaan beberapa minggu ini sudah terlalu menegangkan. Anda jangan khawatir, tunggu setelah beberapa minggu ketika perusahaan beroperasi secara normal, aku pasti akan mengembalikan uang itu kepada Kakak ipar.”
“Tuan, apakah kamu melihatku seperti anak berusia 5 tahun?” Arsyad Bramasta bertanya dengan datar.
Hilman Natawijaya tersenyum pahit, lalu berkata, “Kak Arsyad Bramasta, Anda jangan bercanda lagi.”
“Begini saja, aku akan memberimu waktu 3 menit, dalam 3 menit, jika kamu mentransfer uang beserta bunganya kepada Shania Twain, aku akan melepaskanmu. Jika kamu melewati 3 menit, dan Shania Twain masih belum menerima uang itu, maka setiap lewat satu menit, aku akan mematahkan sebuah jarimu. Menurutmu bagaimana dengan usul ini, Tuan?” Arsyad Bramasta berkata sambil tersenyum.
Melihat senyum iblis Arsyad Bramasta, Hilman Natawijaya gemetaran, raut wajahnya bahkan sangat suram. Memintanya mengeluarkan dua ratus miliar, itu sama dengan meminta nyawanya. Tetapi, jika tidak mengeluarkan uangnya, dia juga tidak bisa yakin terhadap sifat Arsyad Bramasta.
“Kak Arsyad Bramasta, Anda lebih baik memberiku toleransi lagi, aku benar-benar tidak ada uang sekarang.” Hilman Natawijaya berkata dengan wajah kesusahan.
“2 menit.” Arsyad Bramasta berkata dengan datar.
Melihat Arsyad Bramasta tetap menginginkan uang, mata Hilman Natawijaya terlintas sebuah aura membunuh, mengulurkan tangan ke arah laci di mejanya.
Gerakan Hilman Natawijaya tentu saja terlihat oleh Arsyad Bramasta, dia tersenyum bercanda lalu berkata, “Bajingan, kamu pikirlah dengan baik. Jika mengeluarkan barang itu, uang yang perlu dikembalikan bukan hanya dua ratus miliar.”
Hati Hilman Natawijaya terkejut, "Apakah iblis ini tahu bahwa aku akan mengambil pistol?"