Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Tetangga Baru yang Menggairahkan

Suara pintu rumah terbuka dengan gemuruh, mengumumkan kedatangan mas Deni, suami Septi, yang pulang dari tugas berlayarnya. Septi, yang tengah berada di dapur, terkejut melihat suaminya tiba lebih cepat dari yang dijadwalkan. Ia bergegas mendekati Deni dan memeluknya erat.

"Deni! Kamu pulang lebih cepat?" tanya Septi dengan senyuman bahagia.

Deni mengangguk sambil mencium kening Septi. "Iya, sayang. Aku merindukanmu."

Mereka berdua berbagi kebahagiaan, menyadari bahwa mereka akan memiliki waktu bersama untuk beberapa hari. Deni mencoba melepaskan rindunya dengan memberikan perhatian ekstra pada Septi. Meskipun Septi merasa berdebar, kebahagiaan yang ia rasakan atas kehadiran suaminya memang tidak terbendung.

Selama tiga hari itu, Septi berusaha memberikan layanan terbaik untuk Deni. Meskipun begitu, ada sesuatu yang berbeda. Deni merasa Septi tidak sebergairah seperti dulu, dan itu membuatnya penasaran. Pada suatu malam, saat mereka berdua duduk di teras rumah, Deni mengajukan pertanyaan yang sebenarnya sudah terpendam.

"Septi, apakah ada sesuatu yang mengganggumu? Aku merasa kita tidak seintim seperti dulu," ucap Deni dengan penuh perhatian.

Septi tersenyum penuh tipu daya, "Tidak ada, sayang. Aku hanya merasa lelah setelah melakukan pekerjaan rumah tangga."

Deni tetap merasa curiga, tapi ia memilih untuk tidak mengejar pertanyaannya lebih jauh. Ia ingin menikmati waktu bersama istrinya tanpa harus merusak kebahagiaan mereka.

Di sisi lain, Delon yang mengetahui bahwa Deni pulang selama tiga hari menjadi sangat cemburu. Rasa cemburu dan hasratnya terhadap Septi semakin melonjak. Setiap melihat rumah Septi, hatinya berdebar-debar, dan pikirannya penuh dengan bayangan yang menggoda. Delon tahu ia harus berhati-hati agar rasa cemburunya tidak memunculkan masalah yang lebih besar.

Suatu sore, ketika Deni sedang pergi keluar rumah, Delon melihat kesempatan untuk mendekati Septi. Ia mengetuk pintu rumah Septi dengan hati yang berdebar-debar. Septi membukakan pintu dengan senyuman yang menggoda.

"Delon, ada apa?" tanya Septi dengan senyuman manis.

Delon tersenyum penuh hasrat, "Hanya ingin melihat keadaan sekitar. Bagaimana kabarmu?"

Septi mengundang Delon masuk, dan mereka berdua duduk di ruang tamu. Percakapan mereka berjalan santai, tetapi suasana di antara mereka terasa penuh ketegangan dan hasrat terpendam. Delon merasa berani dan bertanya dengan penuh gairah, "Septi, kapan kita lanjutin yang kemarin ini belum kita tuntaskan?"

Septi tersenyum, tahu persis apa yang dimaksud oleh Delon. "Sabar Delon, tunggu suamiku pergi berlayar kembali dulu yah!"

Delon mencoba untuk tidak menunjukkan kekecewaannya, tapi hasratnya semakin sulit untuk dikendalikan. Sementara itu, Septi merasa tertantang dan merasakan sensasi kekuasaan yang lebih besar atas kedua pria di hadapannya.

Malam itu, ketika Septi dan Deni bersiap untuk tidur, Septi merasakan keinginan yang tumbuh dalam dirinya. Ia merindukan keintiman dengan suaminya, sementara pada saat yang sama, pikirannya juga terarah pada Delon. Keputusan sulit menanti Septi, di antara kewajibannya sebagai istri dan hasratnya yang terpendam.

***

Malam terus bergulir di rumah Deni, dan suasana rumah itu dipenuhi dengan keintiman yang seharusnya meredakan kerinduan antara suami dan istri. Namun, bagi Septi, malam-malam itu adalah pertarungan internal yang tak kunjung usai. Ia mencoba memberikan kepuasan kepada suaminya, tetapi pikirannya selalu melayang pada sosok Delon.

Setiap sentuhan Deni, setiap desahan Septi, seolah-olah menjadi panggung bagi sebuah drama yang tidak pernah terungkap. Septi berhasil menyembunyikan duNitanya yang gelap dengan sempurna, wajahnya selalu menciptakan senyuman penuh arti meski hatinya terbagi. Septi tahu ini adalah permainan berbahaya, namun ia tetap terjebak dalam lingkaran hasrat dan rasa bersalah.

"Malam ini benar-benar indah, sayang," ucap Deni, sambil merangkul Septi erat ketika tubuh mereka sama-sama polos di ranjang kamar mereka.

Septi hanya bisa tersenyum dan mengangguk setuju. Dalam keheningan malam, hatinya berbisik, "Maafkan aku, Deni. Maafkan aku, Delon."

Namun, di balik rasa puas Deni, tetap ada keraguan yang mengusiknya. Ia merasa ada sesuatu yang tak beres, sesuatu yang disembunyikan oleh Septi. Meskipun rasa cemburunya belum sampai pada titik yang mencurigakan, tetapi instingnya sebagai suami membuatnya ingin mengungkapkan misteri yang menyelubungi istrinya.

Pada suatu malam, setelah momen keintiman mereka, Deni mendekatkan diri pada Septi, "Septi, apa yang sedang terjadi? Kenapa aku merasa ada yang disembunyikan dariku?"

Septi tergagap, tetapi cepat menutupi kebingungannya dengan ciuman lembut di bibir Deni. "Tidak ada yang disembunyikan, sayang. Aku hanya ingin memberikan yang terbaik untukmu."

Deni merasa ada yang tidak beres, tetapi ia memilih untuk menutup mata terhadap keraguannya. Ia mencoba fokus pada kebahagiaan yang dihadirkan oleh kehadiran Septi di rumah.

Sementara itu, di sisi lain kota, Delon merasa tergila-gila oleh permainan yang mereka mainkan. Ia tidak tahan melihat Septi bersama Deni, dan rasa cemburunya semakin menjadi api yang membara. Tiap kali melihat rumah Deni, bayangan Septi tak terhindarkan di benaknya. Delon merindukan setiap sentuhan, setiap momen keintiman yang ia bagikan bersama Septi.

Suatu malam, ketika bulan purnama menerangi langit, Delon mengirim pesan rahasia kepada Septi, meminta pertemuan di tempat tersembunyi. Septi yang tidak bisa menolak keinginan Delon, merasa hatinya semakin terbelah. Ia menyusup keluar dari rumah, memastikan bahwa Deni masih terlelap di tidurnya.

"Kenapa kita harus berpura-pura seperti ini, Septi?" tanya Delon ketika mereka berdua bertemu di tempat yang sepi.

Septi menundukkan pandangannya, merasa takut bahwa kebohongan mereka akan segera terbongkar. "Aku tak tahu, Delon. Ini salah, tapi kita terjebak."

Delon tersenyum pahit, "Aku ingin kita bebas, Septi. Aku ingin kita bisa bersama tanpa harus menyembunyikan apapun."

Septi terdiam, merenungkan kata-kata Delon. Ia tahu bahwa permainan yang mereka mainkan telah mencapai batasnya. Keputusan sulit harus diambil, dan itu akan merubah takdir mereka semua.

Delon, di sisi lain, merasa semakin terpikat oleh pesona Septi. Ia tahu bahwa keputusan yang diambil Septi dapat mengubah segalanya. Dan dalam kegelapan malam, keinginan dan rasa cemburu Delon semakin membara.

***

Matahari perlahan tenggelam, menyisakan warna oranye di langit senja. Delon duduk di teras rumah, merenung dalam. Nita, istrinya, melihat gelagat gelisah yang tidak biasa pada Delon selama beberapa hari terakhir. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya, sesuatu yang tidak dapat dijelaskan oleh kata-kata.

Nita duduk di sampingnya, mencoba membaca ekspresi wajah suaminya. "Kau terlihat cemas, Delon. Apa yang terjadi?"

Delon menggeleng, mencoba menyembunyikan perasaannya. "Ah, tidak ada, sayang. Hanya pekerjaan dan sebagainya. Kau tidak perlu khawatir."

Nita merasa ada yang disembunyikan oleh Delon, tetapi ia memilih untuk tidak mengejar pertanyaan lebih lanjut. Hati Nita bergetar, merasa ada sesuatu yang tidak beres dalam pernikahannya. Meskipun demikian, ia berusaha untuk memberikan kebahagiaan pada Delon, tanpa tahu bahwa Delon tengah memikirkan hal lain.

Beberapa malam kemudian, Nita mencoba menghidupkan kembali gairah di dalam hubungan mereka. Ia menyusun rencana kecil untuk malam romantis bersama Delon. Sambil mengenakan gaun yang ia ketahui paling disukai oleh suaminya, Nita mencoba menciptakan suasana yang intim di kamar tidur mereka.

Delon memasuki kamar dengan senyum tipis di bibirnya. Namun, Nita merasa ada ketidakberesan. Saat Delon menolak pelukan mesra Nita, kekecewaan langsung menyelimuti hati Nita.

"Ada apa, Delon? Kita kan jarang memiliki waktu untuk berduaan seperti ini," kata Nita dengan nada kecewa.

Delon hanya menggeleng, "Bukan apa-apa, Nita. Aku hanya lelah."

Nita merasa sesuatu tidak beres. Biasanya, Delon akan sangat menantikan momen intim seperti ini. Ia merasa terpukul dan terabaikan. Meskipun Delon berusaha menyakinkannya bahwa semuanya baik-baik saja, Nita merasa adanya jurang yang tumbuh di antara mereka.

Keesokan harinya, ketidakpuasan Nita semakin menggelayut dalam hatinya. Ia memutuskan untuk membicarakannya dengan Delon, mencari jawaban atas perubahan sikap suaminya.

"Delon, aku merasa kita jauh dari apa yang dulu kita miliki. Ada apa sebenarnya?" tanya Nita, ekspresi wajahnya mencerminkan kebingungan.

Delon, yang tidak ingin membuka kartu terlalu jauh, menjawab dengan cuek, "Mungkin hanya lelah, Nita. Aku bekerja keras setiap hari."

Nita mencoba untuk tidak merendahkan perasaannya, namun kekecewaan dan rasa penasaran terus mengganjal di hatinya. "Delon, aku mencoba memberikan yang terbaik untukmu. Tapi aku merasa kau jauh dariku. Kau bahkan tidak lagi memperhatikan aku."

Delon menghela nafas, "Nita, aku hanya sedang lelah. Jangan terlalu membesar-besarkan masalah kecil."

Namun, Nita merasa ini bukan hanya masalah kecil. Ia merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh kata-kata. Perasaan tidak dihargai semakin membekas dalam dirinya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel