Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Pijatan Erotis Pemuas Birahi

Detik-detik berlalu dengan cepat, dan suasana kamar berubah menjadi arena hasrat yang sulit dihindari. Nana, yang awalnya mencoba mempertahankan profesionalisme, mendapati dirinya terjebak dalam pusaran keinginan. Pijatan yang seharusnya bersifat terapeutik berubah menjadi permainan berbahaya.

Saat bibir Supono menyentuh pundak dan leher Nana, sentuhan itu seperti kilatan api yang menyala dalam kegelapan. Nana, yang semula hanya mengikuti aliran kejadian, merasakan kegoncangan batin yang semakin tak terkendali. Kedua tangan Supono yang semakin tak terkendali meraba-raba dan mencumbu setiap bagian tubuh setengah telanjang Nana.

"Pak Supono, ahh..eshhh..ahhh," desahan Nana membuat semakin meningkatkan cumbuan dan gerak tangan nakal Supono pada tubuh Nana .

Kalimat yang keluar dari bibir Nana tenggelam dalam dengusan kasar dan kecupan Supono yang semakin mendalam. Nana, dalam keadaan setengah sadar, mencoba untuk menahan diri, tetapi hasrat untuk mengejar kepuasan pribadi mulai mempengaruhi rasionalitasnya.

Tangan Supono yang makin bergerak liar terus menggoda dan mengundang hasrat birahi membuat Nana semakin terjebak dalam pusaran godaan. Dia merasa kehilangan kendali dan tak mampu menentang dorongan hasrat yang semakin kuat.

"Pak Supono, aku..ahhh...eeuhhh..ahhhh," ucap Nana dengan napas yang terengah-engah, mencoba membebaskan diri dari dekapan Supono.

Namun, Supono tidak menghiraukan permintaannya. Dia semakin intens dan mendesak, membiarkan hasratnya memimpin langkah. Nana, dalam keadaan yang tidak dapat mengelak, merasa terperangkap dalam momen yang menantang segala batasan.

Saat itu, suasana di kamar Supono dan Yanti semakin terasa panas dan bergairah.

Tiba-tiba, ketukan pintu dari luar membuat hati mereka berhenti sejenak. Suara familiar Bu Yanti terdengar, menyapu ruangan dengan ketidakpastian.

"Pak Supono, Nana, saya sudah pulang!" seru Bu Yanti dari luar pintu.

Sementara itu, di dalam kamar, Supono dan Yanti saling pandang, takut akan apa yang baru saja terjadi. Mereka buru-buru mengumpulkan pakaian yang berserakan di lantai, mencoba menyembunyikan keberadaan mereka yang nyaris terbongkar.

Supono dan Nana saling pandang, mencoba menyembunyikan kepanikan dalam hati mereka. Dengan cepat, mereka mengenakan pakaian mereka kembali, berusaha merapikan penampilan mereka sebaik mungkin.

Tanpa menunggu lama, Bu Yanti membuka pintu kamar. Pandangannya mengarah pada Supono suaminya dan Nana sang juru pijat.

"Kenapa kalian kelihatan tegang begitu?" tanya Bu Yanti, mencoba memahami situasi.

Supono dan Nana saling pandang, kemudian Supono menjawab dengan suara bergetar, "Maaf, Bu. Tadi saya merasa sangat pegal, jadi Nana memberikan pijatan yang cukup keras. Saya merasa jauh lebih baik sekarang."

Bu Yanti mengangguk, meskipun masih ada keraguan di matanya. "Baguslah kalo begitu, semoga mas Supono merasa lebih baik sekarang."

Nana, dengan senyuman yang terpaksa, menyatakan, "Iya, Bu. Itu tugas saya sebagai pemijat."

Bu Yanti tampak menerima penjelasan mereka, meskipun ada keraguan yang masih terbayang di wajahnya. Supono pun buru-buru untuk memberikan sejumlah uang kepada Nana sebagai pembayaran jasa pijat yang telah dilakukan Nana.

"Ini sebagai ucapan terima kasih, Nana," ujar Supono sambil memberikan uang itu dan diam-diam ia mengedipkan satu matanya pada Nana sebagai kode tertentu untuk bisa menjaga rahasia gelap mereka.

Nana menerima dengan terima kasih, meski dalam hatinya masih bergolak oleh peristiwa yang baru saja terjadi. Setelah memberikan uang, Supono memberi isyarat pada Nana untuk segera pamit.

"Saya benar-benar minta maaf, Bu Yanti, kalau saya memakan waktu yang lama di sini. Terima kasih atas kesempatannya," kata Nana sambil berdiri.

Bu Yanti hanya mengangguk, tetapi matanya masih penuh tanda tanya. Setelah Nana pergi, suasana di ruang kamar tetap tegang, namun Bu Yanti memutuskan untuk tidak mengejar lebih jauh.

"Saya pikir saya akan istirahat sebentar, mas Supono. Ini adalah malam yang melelahkan," ucap Bu Yanti sambil beranjak ke kasur di kamar itu.

Supono mengikuti istrinya, tetapi hatinya masih terpikirkan oleh hasratnya terhadap Nana. Malam itu, meskipun terpisah, Supono dan Nana memutuskan untuk melanjutkan obrolan terlarang mereka melalui pesan singkat.

"Pertemukan kita nanti lagi ya , Nana. Kita harus tuntaskan hasrat yang tadi kita terpaksa tahan-tahan!" bunyi pesan dari Supono yang mengundang gairah baru di antara mereka.

“Iya pakkk..tapii..saya cukup takut tadi, hampir aja kita ketahuan!” balas Nana di pesan ponselnya.

***

Malam demi malam, ponsel Supono dan Nana menjadi ajang rahasia bagi dua jiwa yang terikat oleh kenekatan hasrat terlarang. Chat mesum mereka menjadi semacam katarsis yang membebaskan keinginan yang terpendam. Setiap kata, setiap kalimat, membakar api keinginan di dalam diri mereka.

"Pak Supono, aku pengen banget deh memijatmu lagi," tulis Nana dengan nada yang merayu.

Supono, yang terbungkam dalam ketegangan hasrat, menjawab, "Aku juga pengen banget, Nana. Kapan kita ya bisa bertemu lagi?"

Pertanyaan itu menggantung di udara, menantang realitas dan etika yang seharusnya dipegang oleh Supono. Kesulitan menemukan kesempatan untuk berpiknik rahasia dengan Nana semakin membebani hatinya. Ia tak bisa sembarangan meninggalkan rumah tanpa kecurigaan dari Yanti, istrinya.

Minggu demi minggu berlalu, namun Supono masih kesulitan menemukan celah untuk meminta izin kepada Yanti. Setiap kali ia mencoba mengutarakan keinginannya untuk berpergian, alasan-alasan tak terduga dari Yanti membuat rencananya pupus.

***

Suatu pagi, Supono terbangun dengan senyuman yang sulit dia sembunyikan. Yanti, istrinya, tiba-tiba harus pergi ke kampung halaman untuk membantu persiapan pernikahan kerabatnya. Dengan janjian untuk Supono menyusul dua hari kemudian, Supono merasa kesempatan telah datang untuk mewujudkan pertemuan rahasia dengan Nana.

Tanpa ragu, Supono segera menghubungi Nana untuk mereka ketemuan di sebuah kamar penginapan yang sudah dipesan oleh Supono.

Supono pun segera mempersiapkan diri. Kebahagiaan dan kegirangan melingkupi hatinya sepanjang perjalanan menuju penginapan yang telah dipilihnya. Dia berharap pertemuan ini akan memberikan kepuasan dan pelarian bagi hasrat yang telah terpendam beberap hari belakangan.

Ketika Supono tiba di kamar penginapan, detik-detik menegangkan memenuhi ruangan. Supono menunggu Nana tiba. Setelah beberapa saat, pintu kamar terbuka dan Nana memasuki ruangan dengan senyuman nakal.

"Pak Supono, sepertinya kita memiliki waktu yang berharga sekarang," bisik Nana dengan suara lembut.

Supono mengangguk, sulit menutupi senyuman gembira di wajahnya. "Benar, Nana. Ini kesempatan kita."

Dengan langkah gemulai, Nana mendekati Supono. Mereka saling bertatapan, membiarkan keinginan yang tertahan mengalir begitu saja. Tanpa kata-kata, ciuman mereka menjadi katalisator gairah yang meledak.

Waktu terasa berlalu begitu cepat. Mereka menikmati setiap momen, merangkul kebebasan yang tercipta dari keheningan dan kegelapan kamar penginapan. Pada saat yang tepat, Supono mencoba mengungkapkan perasaannya.

"Nana, aku tak ingin ini hanya menjadi pertemuan sesaat. Aku ingin lebih banyak waktu bersamamu, lebih banyak momen yang hanya kita berdua," ucap Supono dengan mata yang penuh rasa.

Nana menatap Supono dengan intensitas, memahami makna di balik kata-kata itu. "Supono, kita tahu ini rumit. Kita sudah menginjak ranjang yang tidak semestinya. Tapi aku juga tidak bisa menolak rasa ini. Apakah kita bisa melanjutkan, walaupun dengan risiko yang harus kita tanggung?"

Supono tersenyum, "Aku siap menghadapi risiko itu, Nana. Kita bisa mencari cara agar semuanya tetap rahasia. Aku tidak ingin kehilanganmu setelah ini."

Setelah mempertukarkan sumpah dan janji dalam detik-detik rahasia itu, mereka kembali terjerumus dalam gairah yang menggebu-gebu. Meskipun sadar bahwa keputusan ini membawa risiko besar, Supono dan Nana memilih untuk merangkul kenikmatan yang ada di hadapan mereka, mengejar kebahagiaan dalam keterlarangan yang mereka pilih bersama.

Tak lama kemudian semua pakaian yang membungkus tubuh mereka telah terlepas dari raga dan tergeletak di lantai kamar penginapan itu dengan kini tubuh Supono dan Nana telah sama-sama polos tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuh mereka.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel