Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6. Perjodohan Yang Menyiksa

Di dalam apartemen Herman, suasana terasa tegang. Dia baru saja menerima kabar bahwa pertemuan antara kedua keluarga telah berlangsung dan perjodohan dengan Dea sudah ditetapkan. Rasa marah dan frustrasi berkecamuk dalam dirinya. Dia tidak bisa percaya bahwa orangtuanya mengambil keputusan sepihak tanpa melibatkan dirinya.

Ketika dia melihat kedua orang tuanya, Pak Danu dan Bu Lina, yang masuk ke dalam apartemen, Herman tidak bisa menahan emosinya. “Apa yang kalian lakukan? Kenapa kalian tidak memberi tahu aku tentang pertemuan ini?” Herman membentak, suaranya penuh kemarahan.

“Dea, tenangkan dirimu. Kami hanya ingin yang terbaik untukmu,” Bu Lina menjawab, mencoba menenangkan putrinya.

“Yang terbaik? Ini bukan yang terbaik! Ini adalah keputusan yang diambil tanpa melibatkan aku! Aku tidak ingin menikah dengan Herman!” Herman berteriak, wajahnya merah karena kemarahan.

“Herman, kamu harus mengerti bahwa ini adalah langkah penting untuk masa depan kita semua. Kami telah mempertimbangkan ini dengan matang,” Pak Danu mencoba menjelaskan, tetapi Dea tidak ingin mendengarkan.

“Masa depan? Apa kalian hanya memikirkan bisnis dan reputasi keluarga? Aku tidak mau hidup dalam pernikahan yang tidak aku inginkan!”

“Ini bukan hanya tentang kamu, Herman! Ini tentang hubungan antara dua keluarga dan masa depan bisnis kita!” Bu Lina menjelaskan, suaranya mulai meninggi. “Kami tidak akan mengubah keputusan ini!”

Herman merasa hatinya hancur. “Jadi, kalian tidak peduli tentang perasaanku? Aku sudah bilang bahwa aku tidak mau menikah! Aku mencintai Alina dan ingin bersamanya!” Dia menatap ibu dan ayahnya dengan penuh tantangan.

“Alina? Kami tidak setuju dengan hubungan itu. Dia bukan calon yang tepat untukmu,” Pak Danu menjawab tegas. “Kami hanya ingin yang terbaik untukmu, dan itu adalah menikah dengan Herman.”

“Dan siapa yang memutuskan bahwa Dea adalah yang terbaik? Kalian tidak tahu apa-apa tentang perasaanku!” Herman merespons, suaranya bergetar.

“Her, kami adalah orang tua yang ingin melindungimu. Kami tahu apa yang terbaik untukmu,” Bu Lina berkata, mencoba menenangkan suasana.

“Melindungiku? Dengan mengatur hidupku seperti ini? Kalian tidak mengerti apa yang aku inginkan!” Herman merasa putus asa. “Aku berhak untuk memilih pasangan hidupku sendiri!”

“Dan kami berhak untuk memastikan bahwa kamu tidak membuat kesalahan yang bisa merugikan masa depanmu!” Pak Danu menjawab, kesabaran mulai menipis.

“Kalian tidak mengerti. Pernikahan bukan sekadar formalitas. Ini adalah tentang cinta, komitmen, dan kebahagiaan. Aku tidak bisa menikahi seseorang yang tidak aku cintai!”

“Cinta bisa tumbuh seiring waktu. Kamu tidak perlu mengenal Herman lebih baik sebelum menikah,” Bu Lina mencoba meyakinkan putrinya. “Kamu akan melihat bahwa ini adalah keputusan yang baik.”

“Tidak! Aku menolak pernikahan ini!” Herman bersikeras, merasa semakin marah. “Kalian tidak bisa memaksaku untuk melakukan sesuatu yang aku tidak inginkan!”

“Her, kami tidak akan membiarkanmu menolak. Keputusan ini sudah diambil dan sangat penting bagi keluarga kita,” Pak Danu berkata tegas, suaranya semakin keras.

“Jadi, kalian lebih memilih bisnis dan reputasi daripada kebahagiaanku? Ini sangat egois!” Dea merasa sakit hati. “Aku tidak ingin hidup dalam penyesalan hanya karena keputusan sepihak kalian!”

“Kami tidak ingin melihatmu menderita, tetapi kami juga tidak ingin kehilangan kesempatan ini. Kamu harus memahami posisi kami,” Bu Lina menjelaskan, tetapi Dea merasa semakin frustrasi.

“Aku tidak mau lagi mendengarkan semua ini! Keputusan ini bukan milik kalian untuk diambil!” Herman berteriak, air mata mulai mengalir di pipinya. “Aku benci semua ini!”

“Herman...! jangan bertindak seperti anak kecil. Kamu harus bersikap dewasa dan mempertimbangkan semua aspek,” Pak Danu menjawab, tetapi Dea merasa semakin tertekan.

“Dewasa? Apakah menurut kalian ini adalah tindakan dewasa? Mengambil keputusan untuk hidupku tanpa melibatkan aku?” Dia merasa putus asa. “Aku tidak akan tinggal diam. Aku akan berjuang untuk kebahagiaanku!”

“Berjuang? Dengan cara apa? Kami tidak akan membiarkanmu merusak rencana ini,” Bu Lina berkata, suaranya mulai terdengar lelah.

“Jika kalian terus bersikukuh, aku akan pergi! Aku tidak ingin tinggal di sini dan mendengarkan semua ini!” Herman mengancam, merasa semakin marah.

“Her, jangan berlebihan! Ini adalah keputusan yang sudah matang,” Pak Danu mencoba menahan putrinya.

“Matang? Jika ini keputusan yang matang, kenapa aku merasa seperti hidupku dirampas? Aku pergi!” Herman berbalik dan pergi ke kamarnya, menutup pintu dengan keras.

Herman langsung masuk kamar, dia duduk di tepi tempat tidur, menahan air mata. Dia tidak bisa mempercayai bahwa orangtuanya akan memaksanya untuk menikah dengan seseorang yang tidak dia cintai. Dia merasa terjebak dalam situasi yang tidak dia inginkan, dan hatinya terasa berat.

“Kenapa semua ini harus terjadi?” Herman bergumam pada dirinya sendiri. “Aku hanya ingin hidupku sendiri, bukan hidup yang ditentukan oleh orang lain.”

Meskipun dia merasa putus asa, ia bertekad untuk melawan. Dia tahu bahwa dia harus memperjuangkan apa yang dia inginkan, bahkan jika itu berarti harus menghadapi orangtuanya. “Aku tidak akan menyerah. Aku akan menemukan cara untuk mengubah semua ini,” Herman berjanji pada dirinya sendiri, dengan tekad yang menggebu-gebu.

Di luar pintu, Pak Danu dan Bu Lina saling memandang, merasa berat hati. Mereka tahu bahwa keputusan ini tidak mudah bagi putranya, tetapi mereka juga percaya bahwa pernikahan ini adalah jalan terbaik untuk masa depan mereka semua. Namun, di dalam hati mereka, ada rasa khawatir tentang bagaimana semua ini akan berakhir.

------

* Konsekuensi Yang Menekan *

Di dalam ruang kerja Pak Danu, suasana tampak tegang. Herman duduk di hadapan ayahnya, wajahnya menunjukkan kebingungan dan rasa frustrasi. Pak Danu, dengan ekspresi tegas, memulai percakapan.

“Herman, kami sudah membahas ini dengan matang. Kamu harus menikahi Dea. Ini adalah keputusan yang terbaik untuk keluarga kita,” Pak Danu berkata, suaranya tidak memberi ruang untuk bantahan.

“Tapi, Ayah, aku sudah bilang bahwa aku tidak ingin menikah dengan Dea! Aku mencintai Alina!” Herman menjawab, suara penuh emosi. “Ini semua terasa sangat tidak adil bagiku.”

“Cinta tidak selalu bisa dijadikan alasan untuk mengabaikan tanggung jawab. Ini tentang masa depan keluarga dan bisnis kita,” Pak Danu menjelaskan, berusaha menegaskan posisinya. “Jika kamu menolak untuk menikahi Dea, kami tidak punya pilihan lain. Kamu akan dicoret dari daftar ahli waris.”

Herman terdiam, hatinya bergetar mendengar ancaman tersebut. Dia tahu betapa pentingnya posisi dalam keluarga dan bisnisnya. “Ayah, apakah kamu benar-benar akan melakukan itu? Mengorbankan hubungan kita hanya karena perjodohan ini?” Herman bertanya, merasa terpukul.

“Ini bukan sekadar perjodohan, Herman. Ini adalah langkah strategis untuk mengamankan masa depan kita. Kami tidak bisa membiarkanmu mengambil keputusan yang merugikan keluarga,” Pak Danu menjawab, nada suaranya semakin tegas.

“Jadi, semua ini hanya tentang bisnis? Tidak ada tempat untuk perasaan di dalamnya?” Herman merasa marah. “Aku tidak mau hidup dalam pernikahan yang tidak aku inginkan!”

“Bukan hanya tentang bisnis. Kami juga memikirkan kebahagiaanmu. Tapi kamu harus memahami bahwa pernikahan ini bisa membawa banyak manfaat bagi kita semua,” Pak Danu menjelaskan.

Herman menggelengkan kepala, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. “Ayah, aku tidak bisa berpura-pura mencintai Dea. Aku sudah berjanji pada Alina untuk bersamanya. Mengapa kalian tidak bisa mengerti?”

“Karena Alina bukan pilihan yang tepat untukmu. Dia tidak berasal dari keluarga yang sama, dan dia tidak memiliki koneksi yang kuat. Kami ingin yang terbaik untukmu, dan itu termasuk memilih pasangan yang tepat,” Pak Danu menekankan.

Herman merasa tertekan. “Jadi, jika aku menolak, aku akan kehilangan segalanya? Apa ini yang kamu sebut cinta, Ayah?”

“Ini adalah cinta yang sejati, Herman. Cinta yang membawa stabilitas dan keamanan. Cinta yang akan membuat kita semua bahagia,” Pak Danu menjawab, tetapi Herman merasa hatinya semakin berat.

“Jika ini keputusan akhir, aku tidak punya pilihan lain. Aku akan menikahi Dea,” Herman akhirnya berkata, suaranya penuh kesedihan. Dia merasa seolah hidupnya telah dirampas.

“Bagus! Kami senang kamu akhirnya mengerti,” Pak Danu menjawab, merasa lega dan puas. “Kami akan segera mengatur pertemuan antara kedua keluarga untuk membahas rencana pernikahan.”

Herman mengangguk, tetapi di dalam hatinya, dia merasakan kepedihan yang mendalam. Dia tidak bisa membayangkan hidupnya bersama Dea, sementara hatinya masih mencintai Alina. “Aku tidak bisa mengkhianati perasaanku,” dia bergumam pada dirinya sendiri.

Setelah pertemuan itu, Herman pergi ke apartemennya dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia merasa tertekan karena harus memenuhi tuntutan orang tuanya, tetapi di sisi lain, dia merasa tidak berdaya untuk melawan. Dia merasa seolah terjebak dalam jaring yang dirancang oleh keluarganya sendiri.

Setibanya di apartemen, dia langsung menghubungi Alina. “Alina, kita perlu berbicara. Ada sesuatu yang serius yang harus aku katakan,” katanya, suaranya bergetar.

“Baiklah, Herman. Apa yang terjadi?” Alina menjawab, nada suaranya penuh kekhawatiran.

“Aku… aku akan menikahi Dea. Orang tuaku memaksaku untuk melakukannya, dan aku tidak punya pilihan lain,” Herman mengungkapkan, suara penuh kesedihan.

Alina terdiam sejenak, merasakan hatinya hancur. “Apa? Kamu tidak bisa melakukannya, Herman! Kamu tidak mencintainya!”

“Aku tahu, Alina. Tapi aku tidak bisa kehilangan segalanya. Jika aku menolak, aku akan dicoret dari daftar ahli waris, dan aku tidak ingin membuat situasi menjadi lebih buruk,” Herman menjelaskan, air mata mengalir di pipinya.

“Jadi, kamu akan mengorbankan kebahagiaan kita hanya untuk menyenangkan orang tua? Ini tidak adil!” Alina merasa marah dan merasa dikhianati.

“Aku tidak ingin ini terjadi. Aku mencintaimu, tapi aku terjebak dalam situasi yang tidak bisa kulawan,” Herman menjawab, merasa putus asa.

“Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang? Apa kamu akan melupakan semua yang telah kita bangun?” Alina bertanya, suaranya terdengar patah.

“Aku tidak akan pernah melupakanmu, tetapi aku tidak bisa melawan orang tuaku. Mereka tidak akan mendengarkan aku,” Herman mengakui, hatinya berat. “Aku tidak tahu bagaimana cara keluar dari semua ini.”

“Jadi, kita hanya akan menyerah? Tidak ada cara untuk memperjuangkan cinta kita?” Alina bertanya, merasa frustasi.

“Aku berharap ada jalan keluar, tetapi saat ini, sepertinya tidak ada. Aku hanya bisa berharap kamu mengerti,” Herman menjelaskan, merasa putus asa.

“Baiklah, jika ini keputusanmu, aku tidak bisa memaksamu. Tapi ingat, aku akan selalu mencintaimu, ada bayi anakmu dalam rahim, Herman,” Alina berkata, suaranya penuh kesedihan.

Herman menutup telepon, merasa hancur. Dia tidak tahu bagaimana mengatasi perasaannya, tetapi satu hal yang pasti: meskipun dia harus menikahi Dea, hatinya akan selalu bersama Alina. Dia bertekad untuk mencari cara agar cinta mereka tidak hilang, meskipun jalan di depan tampak gelap.

*****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel