Bab 6. Hancur
"Hari ini Liana terima raport, Bik. Dan akan ada penyerahan piagam juga karena dia berhasil meraih peringkat kedua di kelasnya. Saya ingin sekali datang untuk melihatnya menerima piagam."
"Ya udah, ibu ke sana aja. Ibu, kan, orang tuanya Non Liana, pasti diundang."
"Iya, Bik. Tapi dia nggak ngomong apa-apa ke saya."
"Hmm, kok aneh? Seharusnya, kan, Non Liana bilang ke ibu," ujar Bik Sumi lagi.
"Itulah, Bik. Saya tau karena gak sengaja menemukan surat undangannya waktu kemarin lagi membersihkan kamarnya. Saya ingin sekali datang ke sana, tapi takut Mas Daffi marah seperti tempo hari."
"Gini aja, menurut Bibik, Ibu datang saja ke sana tapi harus hati-hati biar Bapak dan Non Liana tidak tahu. Setelah itu ibu langsung pulang."
"Ide bagus, Bik."
***
Seperti usulan Bik Sumi, akhirnya aku putuskan datang diam-diam ke sekolah Liana untuk melihatnya menerima piagam. Setelah tiba di sana dengan menggunakan transportasi online, aku bergegas masuk ke dalam gedung dan mencari letak kelas 1.2, kelas tempat Liana berada. Dari jendela tempatku berada kini, tampak Mas Daffi yang sedang duduk berdampingan dengan Friska di deret terdepan, dengan Liana, putriku, berada di tengah. Ternyata ia benar-benar meminta perempuan itu datang.
Tanganku terkepal erat hingga membuat ruas jariku memutih, seharusnya akulah yang duduk di samping Mas Daffi, bukan wanita itu!
Beberapa orang yang melewatiku sempat memperhatikan karena mungkin mereka merasa aneh melihatku hanya mengintip dari jendela, apalagi dengan wajah yang ditutupi selendang, tapi aku berusaha cuek. Tadi pun aku sempat ditanyai satpam ketika hendak masuk, namun setelah kujelaskan bahwa aku adalah ibu kandung Liana, satpam itu mengizinkanku masuk.
Sudah sekitar setengah jam, aku masih berdiri di sisi jendela menanti hingga Liana menerima piagam penghargaannya. Tak lama kemudian, seorang guru mulai membacakan nama-nama anak yang berhasil meraih peringkat tiga besar di kelas itu. Nama Liana Syafira Daffi pun akhirnya disebut, lalu gadis kecil itu berdiri dan maju ke depan kelas bersama dengan kedua orang temannya yang lain. Rasa bangga seketika menjalari seluruh tubuhku, tanpa sadar air mata sudah memenuhi pelupuk mata saat melihat putri kecilku menerima piagam penghargaan.
Masih di posisi semula, segera kukeluarkan ponsel untuk merekam Liana, mata ini sama sekali tidak memalingkan pandangan dari gadis yang telah kulahirkan enam tahun lalu itu, bibirku terus melengkung ke atas. Rasa lelah karena sudah berdiri di sini selama kurang lebih tiga puluh menit, tak kurasakan lagi.
Aku juga dapat melihat Mas Daffi dan Friska berdiri sambil bertepuk tangan. Friska juga terlihat sangat bangga, senyumnya tak pernah lepas dari wajah cantiknya, seakan-akan Liana adalah anaknya sendiri.
Setelah selesai mengambil gambar, bergegas kutinggalkan tempat itu. Sebelumnya kusempatkan untuk memesan transportasi online seraya berjalan menuju gerbang.
Saking fokusnya melihat ponsel, aku tidak menyadari kalau ada beberapa orang anak yang sedang berlari ke arahku. Akhirnya aku tertabrak dan ponselku terjatuh hingga terlempar entah ke mana.
"Aduh, maaf, Bu. Nggak sengaja," ucap salah satu anak kecil yang telah menabrak tadi.
"Iya, nggak pa-pa." Mataku masih melihat sekitar untuk mencari keberadaan ponsel.
"Ih, mukanya, kok, gitu, takut." Anak laki-laki di depanku ini berkata lagi setelah selendangku sedikit tersingkap akibat tertabrak tadi.
"Tidak baik, Nak bicara seperti itu pada yang lebih tua."
"Ma-Maaf, Bu." Kali ini ia berlari menjauh bersama teman-temannya yang lain.
Walau sedikit sedih dengan perkataan anak itu, tapi memang itulah kenyatannya, aku sudah mulai terbiasa menerima perlakuan macam tadi.
Ponselku tadi jatuh ke mana ya? Duh.
"Ini ponsel siapa?" seru seseorang yang berada tak jauh dari tempatku berdiri.
"Ada gambar Liana di lockscreen-nya!"
pekiknya lagi.
Tanpa berpikir lama, langsung kuhampiri pemilik suara tersebut, bermaksud untuk mengambil ponselku dan pergi dari sana.
"Maaf, itu punya saya," ucapku pada seorang anak laki-laki yang berpostur besar seraya meminta kembali ponselku. Sepertinya dia juga siswa di sekolah ini, mungkin kakak kelasnya Liana.
"Oh, ini, Bu, tadi jatuh di dekat kaki saya," ujarnya sopan sambil menatapku dengan raut wajah aneh.
"Baik, Nak, Terima kasih, ya."
"Tapi, Bu, itu di ponsel ada gambar Liana, apa ibu kenal sama dia? Kayaknya saya belum pernah lihat ibu di sini. Memangnya Liana siapanya ibu?"
"Iya, dia itu, putri saya. Dia anak saya, Nak," jawabku hingga membuat anak itu sedikit terkejut.
"Ibuuu!" teriak Liana yang tiba-tiba sudah berada di belakangku. Ia menggandeng mesra tangan Friska dan Mas Daffi. Kulihat anak yang tadi bicara denganku sudah bergerak menjauh.
"Ibu ngapain kesini? SIAPA YANG SURUH DATANG?" ujar Liana dengan suara yang cukup keras.
"Ibu cuma pengen lihat Liana menerima piagam aja, kok, Sayang," jawabku lalu mencoba untuk tersenyum. "Dan, sepertinya suaramu tadi terlalu tinggi. Nggak enak dilihat banyak orang, Sayang."
"Berhenti manggil aku sayang!"
"Liana!"
"Riana, ngapain kamu di sini?" Mas Daffi memotong kalimatku seraya menatapku dengan pandangan setajam keris.
Mas Kahfi langsung menarik tanganku dan menjauh dari sana menuju tempat yang lebih sepi. Friska berjalan mengikuti sambil menggandeng tangan Liana.
Setibanya di tempat parkir, Mas Daffi langsung meneriakiku lagi.
"Siapa yang izinkan kamu datang kemari, hah?"
Aku diam dan tidak menjawab. Rasa segan hingga membuat tubuhku sedikit gemetar tak kuhiraukan. Tatapanku masih tertuju pada Liana yang memeluk pinggang Friska sambil menangis.
"Liana, Liana kenapa nangis, Nak?"
Gadis kecil itu hanya menggeleng kencang sambil membenamkan wajah pada tubuh Friska. "Pergi, Bu. Pergi!"
"Tapi, kenapa? Apa salah ibu pada Liana?" tanyaku tetap bersikap lembut pada anak itu.
"Kenapa? Ibu masih tanya kenapa? Lihat muka ibu itu! Liana malu, Bu!" pekiknya lalu menangis tersedu.
"Liana dengar ibu! Ibu nggak bermaksud bikin Liana malu. Ibu cuma pengen lihat Liana menerima piagam, itu aja!" ucapku berusaha tegas sambil mencoba berdiri kembali dari posisi saat ini.
"Tapi Liana nggak mau! Kenapa sih ibu nggak seperti Tante Friska? Liana nggak suka ibu deket-deket sama Liana! Liana nggak suka ibu itu jadi ibunya Liana!"
Aku hanya bisa terdiam mendengar pernyataan putriku barusan. Jika saja waktu bisa diputar ulang, aku tidak akan mengikuti keinginan pribadi untuk datang ke sini, dibandingkan jika harus mendengar kalimat menyakitkan itu keluar dari mulut kecilnya. Anakku sendiri lebih senang mengakui perempuan lain sebagai ibunya itu serasa seperti hati ini diiris sembilu. Semalu itukah dia punya ibu sepertiku?
"Aku mau ibu pergi! Pergi yang jauh dariku!" Liana lalu berlari pergi dari sana. Kulihat ia masuk ke dalam mobil ayahnya.
Baru saja aku hendak mengejarnya tapi Mas Daffi menghalangiku. "Cukup, Riana! Kamu pulang sekarang! Jangan coba-coba lagi membuat sedih putriku!" hardiknya lalu berlari menyusul Liana.
"Tunggu, Mas!"