Bab 5. Rencanaku
Kata-katanya sedikit menggores perasaanku lagi, tapi tetap saja diam-diam kuperhatikan salah satu berkas yang berada tepat di depanku. Di sana tertulis hal mengenai cara menangani sengketa antara pimpinan dengan buruh. Oh, Mas Daffi ternyata sedang mengalami masalah di kantornya.
"Mas, Mas udah baca undang-undang no. 2 tahun 2004? Di sana ada, lho, jawaban atas masalah ini."
Mas Daffi kembali melihat ke arah berkasnya.
"Belum, tentang apa itu?" ucapnya heran.
"Sebentar aku ambilkan dulu." Bergegas kutuju kamar dan segera kembali ke ruang kerja Mas Daffi.
"Ini, Mas bisa baca di halaman 30-35."
Mas Daffi segera mengambil buku di tanganku, kemudian membukanya. Tak lama kemudian kedua sudut bibirnya terangkat ke atas.
"Ini dia yang aku cari sejak tadi. Maka .... " Ia mencoba melihat ke arahku, namun segera memalingkan wajahnya lagi. Sedikit senyum tampak di wajahnya yang tampan.
" ... si."
Tumben.
Dadaku mulai berdegup kencang lagi. Sikap Mas Daffi yang tak biasanya barusan, mampu mengikis sedikit rasa sedihku beberapa jam ke belakang. Kuberanikan diri untuk lebih mendekatinya, sangat dekat, hingga ia bisa menghirup wangi parfum vanila yang baru saja kupakai. Aroma yang menjadi favoritnya. Wajahku pun sudah dibaluri dengan foundation dan bedak tipis tadi. Tidak lupa warna peach ikut serta menghiasi bibirku. Namun, belum sempat aku meraih tubuhnya, dia sudah mengangkat wajahnya.
"Mau ngapain? Udah sana keluar!"
***
Pagi itu, sebelum Liana membuka matanya, aku sudah berada di dalam kamarnya. Ketidakhadiran Mas Daffi di kamar kami membuatku terjaga semalaman. Mas Daffi lebih memilih tidur di ruang kerjanya. Walaupun kami berbeda ranjang, tapi tetap saja dengan hadirnya Mas Daffi di dalam kamar yang sama, mampu memberikan kebahagiaan tersendiri untukku.
Akhirnya kuputuskan untuk menemui Liana di kamarnya. Kusempatkan juga untuk mengelapinya dengan air hangat dan mengganti bajunya. Setelah selesai, lalu kumanfaatkan waktu untuk memeluk dan menciuminya sepuasku. Hanya saat ia sedang terlelap seperti ini sajalah aku bisa sesuka hati menyentuh dan menciuminya.
"Maafin Ibu ya, Sayang. Kemarin ibu bukan bermaksud mau membuat Liana malu, ibu hanya ingin menjemput Liana pulang bersama ibu. Itu aja," ucapku di tengah deraian air mata sambil mengusap lembut kepala putriku yang masih terlelap.
"Ibu itu sayang banget sama Liana. Lianalah yang udah bikin ibu kuat bertahan sampai sekarang. Makanya ibu sedih banget kalau Liana juga ikut-ikutan membenci ibu seperti papa dan nenekmu," ucapku pilu.
"Ibu cuma mau Liana memperlakukan ibu seperti anak lain yang begitu dekat dengan ibunya. Ibu nggak suka lihat Liana malah dekat dengan orang lain."
Tanpa sadar air mataku menetes di atas pipi putihnya hingga membuatnya terbangun.
"Eh, Ibu ngapain di sini? Papa, papaa!" ucap gadis kecil itu seakan baru saja melihat sosok yang sangat menyeramkan. Dia masih terus memekik sampai hampir menangis. Ya Allah, Liana.
***
Siang itu saat sedang membersihkan kamar Liana, tanpa sengaja aku menemukan undangan untuk orang tua dalam rangka penyerahan piagam bagi peraih tiga besar terbaik di kelas.
"Lianaku ternyata menjadi peringkat kedua di kelasnya." Dengan mata yang mulai berkabut, kubaca lagi selembar kertas putih yang tertoreh nama putriku di atasnya secara perlahan. Acara penyerahan piagam akan dilaksanakan Sabtu besok. Bersamaan dengan pengambilan raport semester pertama.
Ah, tapi, mana mungkin Liana dan Mas Daffi mau mengajakku. Sampai sekarang saja mereka tidak membahas mengenai ini, padahal acaranya tinggal besok. Mereka lupa atau memang sengaja tidak memberitahuku?
Selama ini aku memang tidak pernah mengetahui apapun tentang kegiatan sekolah Liana, karena semua ditangani oleh Mas Daffi. Ia tidak mengizinkanku untuk mengetahui sedikit pun tentang pendidikan Liana. Gadis kecil itu juga tidak pernah bercerita tentang kegiatannya di sekolah padaku.
Sebagai ibu tentu saja diri ini ingin turut menyaksikan Liana di saat-saat pentingnya esok, tapi rasanya tidak mungkin Mas Daffi akan mengizinkanku datang. Lalu bagaimana cara agar aku bisa melihatnya?
Suara mobil Mas Daffi terdengar memasuki halaman. Bergegas aku berjalan ke depan untuk menyambut suami dan putriku yang baru saja tiba. Sebelum pintu mobil terbuka dan mereka turun, sayup suara Liana merasuk masuk ke telinga.
"Besok kita ajak Tante Friska, ya, Pa. Liana mau Tante Friska lihat waktu nanti Liana menerima piagam."
Dadaku bergemuruh lagi. Ternyata benar dugaanku kalau mereka tidak ingin aku datang di acara itu. Hati ini terasa nyeri atas penolakan putriku sendiri.
Kuhirup napas dalam untuk meredam rasa sesak yang mulai menyelimuti dada, lalu menyeka air mata agar tidak sampai menetes.
"Boleh juga. Biar nanti Papa tanyain Tante Friskanya dulu, ya, dia bisa atau enggak. Takutnya dia lagi sibuk," sahut Mas Daffi lembut. "Yuk, kita turun."
Saat sedang menonton televisi di sore harinya, aku coba mendekati Liana lagi dengan memberikan susu cokelat kesukaannya.
"Sayang, ada yang mau diceritain nggak sama ibu? Gimana nilai ulangan semesternya kemarin? Liana dapat juara berapa? Ambil raportnya kapan?" tanyaku lembut sambil bermaksud mencari tahu tentang acara besok.
"Enggak ada, Bu. Liana nggak tau kapan ambil raportnya. Nilainya juga belum keluar. Kalau mau tau, Ibu tanya aja sama Bu Guru," ucapnya ketus sambil matanya tetap fokus ke arah televisi.
Aku berusaha tersenyum meski dalam hati sebenarnya kecewa karena ia tengah berbohong.
"Cerita dong sama ibu kalau ada kegiatan di sekolah. Ibu, kan, mau tau juga apa saja kegiatan Liana di sekolah," ujarku penuh harap.
"Udah, deh, Bu, Liana lagi nonton! Sana pergi!"
ujarnya yang membuatku merasa tersentak.
Ya Tuhan, kenapa sikapnya seperti itu terhadap ibu kandungnya sendiri?
Hari itu adalah hari pengambilan raport sekolah Liana sekaligus penyerahan piagam penghargaan. Pagi-pagi sekali ia sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah bersama Mas Daffi.
"Kok hari Sabtu gini mau ke sekolah, Sayang? Memangnya ada acara apa?" kataku pura-pura tidak tau.
"Gak-gak a-da acara apa-apa, cuma mau ikut ekskul aja! Iya, kan, Pa?" Liana melirik ke arah papanya seraya meminta dukungan, lalu dijawab Mas Daffi dengan anggukan.
"Udah kamu nggak usah tanya-tanya. Liana biar jadi urusanku," ucap Mas Daffi di tengah aktifitas sarapan paginya.
Walaupun sedih dan kecewa karena mereka tidak mengajakku ke acara penting putriku sendiri, aku usahakan untuk tetap bersikap biasa. Dengan wajah dibuat seceria mungkin, aku mengantar mereka hingga ke pintu depan dan masuk ke dalam mobil.
***
Saat sedang membantu Bik Sumi mencuci piring di dapur, tanpa sengaja kujatuhkan piring hingga hancur berantakan. Suara pecahannya sedikit membuatku tersadar akan lamunan.
"Ya Allah, Ibu nggak papa? Udah sini biar saya aja yang nerusin, Bu."
"Enggak papa, Bik. Biar saya lanjutin aja, tanggung tinggal dikit lagi, kok."
"Ibu kenapa? Kok kayak lagi ada yang dipikirin gitu?" ucap Bik Sumi. Sepertinya ia memperhatikan kegusaranku sedari tadi.