Bab 4. Keinginanku
"Mas mau melarangku menunggui Liana dan malah menyuruh Friska? Enak saja."
Di tengah teriknya mentari hari ini, mataku memandang tepat ke arah pagar pembatas ruko tempat Liana kursus piano, memperhatikan kawanan anak-anak seumuran Liana keluar dari pagar. Kunantikan buah hatiku keluar dari sana. Akhirnya penantianku selama kurang lebih dua jam usai sudah.
"Ah, itu, dia!" Kakiku melangkah cepat menghampiri Liana.
"Liana! Sini, Sayang!" pekikku seraya melambaikan tangan dan berjalan mendekatinya.
Liana seketika terdiam, raut wajahnya yang semula ceria berubah pias.
"Liana, itu siapa? Ibumu, ya?" tanya seorang gadis kecil di sebelahnya.
"Itu, itu, bukan-bukan siapa-siapaku, kok. Aku, gak, kenal," ucap Liana dengan mulut mungilnya yang sukses membuat perasaan senangku seketika memudar.
"Ibuku itu cantik, bukan seperti ibu itu."
What?
"Liana, Hai!" Tiba-tiba saja Friska sudah berada di sebelahku.
Liana langsung berlari menghampiri Friska yang baru saja tiba. Ia menarik tangan wanita cantik itu, lalu mengajak masuk ke dalam mobilnya dan kembali meninggalkanku sendiri di sini.
"Friska lepasin Liana! Liana, kamu pulang bareng ibu!" seruku pada Friska saat ia baru akan masuk mobil.
"Nggak mau, Bu! Liana mau sama Tante Friska aja."
"Riana! Kamu nggak liat tu semua orang pada ngeliatin? Nggak kasian kamu sama Liana?"
Mataku memandang sekitar. Friska benar, kami bertiga sudah jadi pusat perhatian. Beberapa detik kemudian, Friska langsung masuk mobil dan mengajak Liana.
***
"Hallo, iya, Mas?"
"Riana, tadi Friska telepon ngasi tau, kalau tadi saat dia menjemput Liana dia ketemu kamu. Dan gara-gara kamu Liana jadi nangis. Benar begitu?" Suara tajam Mas Daffi di ujung telepon membuatku seperti dihakimi layaknya seorang penjahat.
"Mas, denger ya, tadi aku cuma mau menjemput Liana aja, kok."
"Kamu itu susah banget ya dikasi tahu! Aku suruh pulang bukannya pulang, malah diem di sana. Kamu sengaja ya mau mempermalukan Liana?"
"Bukan begitu, Mas. Tadi itu ...."
"Halah, kamu itu memang nggak bisa dibaikin!" tukas Mas Daffi memotong kalimatku. Ia lalu memutus panggilan begitu saja. Ciri khas Mas Daffi sejak dulu yang tidak pernah mau mendengarkan pendapatku.
Jam sudah menunjukkan jam sepuluh malam, tapi Liana dan Mas Daffi belum juga pulang. Sajian makan malam yang sudah kusiapkan sedari tadi pun kini sudah tak hangat lagi. Mataku yang sudah terasa seperti memakai lem perekat tetap kupaksakan untuk terbuka. Aku tidak ingin saat mereka pulang nanti, aku sudah terlelap.
Kucoba menghubungi Mas Daffi sejak sore tadi. Ia bilang kalau sepulang dari kantor, ia akan menyusul Liana yang terinyata lebih memilih untuk menetap di rumah Friska, tapi kenapa harus sampai selarut ini?
Beberapa menit kemudian, terdengar mobil memasuki halaman. Bergegas aku menuju ke pintu. Mas Daffi yang baru saja selesai memarkirkan kendaraan merahnya lalu ke luar dan memutar ke pintu sebelah kiri. Ia kemudian mengendong Liana yang sudah tertidur. Gadis kecil itu sudah tidur terlelap.
"Kenapa malam sekali pulangnya, Mas?"
Mas Daffi hanya diam. Ia melewatiku begitu saja, lalu menuju kamar Liana dan menidurkannya di atas ranjang. Setelahnya Mas Daffi beranjak menuju kamar.
***
"Mas, menurut Mas, gimana kalau aku operasi plastik aja?" ucapku sehati-hati mungkin pada Mas Daffi yang baru saja selesai mandi.
Wangi shampo lidah buaya yang terasa menyegarkan membuatku hening seketika. Terlebih saat memandang wajah tampannya melalui cermin besar yang ada di sudut kamar.
Ia memutar tubuhnya, lalu menatap tajam padaku. "Apa katamu tadi?"
"Aku ingin operasi plastik, Mas." Tiba-tiba saja keinginan itu datang, setelah melihat sikap Liana kemarin padaku. Apa benar wajahku sebegitu menakutkan baginya, sampai ia tidak mau mengakuiku sebagai ibunya sendiri? Bahkan ia lebih suka memanggil Friska sebagai ibu.
"Nggak usah aneh-aneh, kamu! Lagi pula, walaupun nanti wajahmu sudah tidak semenyeramkan sekarang, perasaanku padamu tetap tidak akan berubah. Saat ini kita masih bertatus suami istri, murni hanya karena masalah warisan almarhum papa. Itu aja!" bentak Mas Daffi.
"Dan satu lagi, kalau kamu mau operasi, gunakan saja uangmu sendiri! Aku tidak mau membuang-buang uang hanya untuk sesuatu yang tidak penting seperti itu!" Ia lalu pergi sambil membanting pintu kamar.
Tampaknya Mas Daffi masih sangat kesal dengan kelakuanku yang tidak mau menuruti perintahnya tadi dan malah membuat Liana bersedih. Mas Daffi bahkan memilih menenangkan dirinya di ruang kerja dari pada masuk ke kamar dan beristirahat di sana. Sepertinya ia sedang ingin menghindariku. Ya, sudah biarkan saja dulu.
Dulu Mas Daffi pernah berkata bahwa ia sama sekali tidak mengerti kenapa Papa Asmoro tega menjodohkannya dengan perempuan sepertiku. Satu-satunya yang ia syukuri dalam pernikahannya denganku adalah karena kehadiran Liana, putri tunggalnya yang sangat dia sayangi. Ia bersyukur bahwa Liana tidak mewarisi wajah burukku. Andai saja Mas Daffi tau kenyataan yang sebenarnya.
Mas Daffi sering mengatakan kalau ia berencana menceraikan dan berusaha mengenyahkanku dari kehidupannya. Hanya saja ia masih terikat janji pada almarhum Papa Asmoro dan juga memikirkan nasib putrinya. Biar bagaimanapun, Mas Daffi masih memandangku sebagai ibu kandung Liana. Ia menyadari bahwa Liana masih membutuhkan bimbingan dari seorang ibu di usianya yang masih belia seperti sekarang.
Sebenarnya aku tahu mengenai keinginan Mas Daffi yang masih belum terlaksana itu. Seandainya saja Papa Asmoro tidak pernah memaksanya menikah denganku, ia pasti sudah berbahagia bersama Friska. Wanita yang sudah sejak lama ia cintai.
Aku tahu selama tujuh tahun pernikahan kami, Mas Daffi sering menemui Friska secara diam-diam. Terlebih saat Papa Asmoro masih hidup. Dulu Friska tidak pernah berani datang ke rumah ini. Mas Daffi dan Mama Juwita pun tidak berani membuka pintu rumah ini lebar-lebar untuk menyambut Friska seperti yang sekarang ini sering mereka lakukan.
Namun, di lubuk hati terdalamku aku masih menyimpan suatu kepercayaan pada suamiku itu. Aku yakin ia tidak pernah berbuat hal di luar batas.
Setelah beberapa jam berlalu, kucoba untuk menghampiri Mas Daffi ke ruang kerjanya. Kuketuk perlahan pintu berwarna cokelat yang tertutup rapat itu, lalu mencoba membuka pintunya yang tidak terkunci.
"Mas, boleh aku masuk?" tanyaku walaupun tubuh ini sudah memasuki ruangan itu sepenuhnya. Ia tampak sedang serius membaca beberapa berkas yang terserak di atas mejanya. Tanpa melihatku dan tidak menjawab pertanyaanku, garis halus di dahinya bergerak turun naik.
"Mas, ini, aku buatkan kopi."
Hening, Mas Daffi seakan tidak menyadari kehadiranku di sana. Setelah meletakkan kopi di atas meja, kucoba lagi mendekatinya.
"Lagi baca apa, Mas? Kelihatannya pusing sekali."
Kalimatku berhasil menghentikan aktivitasnya. Ia mengalihkan pandangannya ke arah jendela, masih enggan menatapku. "Nggak usah kepo. Aku kasih tahu pun kamu nggak mungkin ngerti!" Ia lalu kembali fokus pada pekerjaannya semula.