Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7. Keputusanku

Namun, mereka tidak menghiraukanku.

Sepeninggal Mas Daffi dan Liana, Friska si wanita sempurna itu menatap sinis dengan mata sebening embunnya. "Riana, Riana, bisa-bisanya kamu membuat anakmu sendiri sedih seperti itu?" tanyanya sambil melipat tangan di depan dada.

"Diam kamu! Kamu nggak berhak bicara begitu sama saya! Ingat Friska, kamu itu hanya orang lain!"

"Kamu dengar sendiri, kan, Riana, tadi Liana bilang apa? Putri kandungmu sendiri gak sudi menerimamu! Jadi ... kalau kamu memang sayang sama Liana, pergilah yang jauh. Biarkan dia dan ayahnya hidup bahagia tanpamu," cibirnya lagi lalu beranjak pergi meninggalkanku.

Dengan perasaan seperti pecahan kaca yang baru saja beradu dengan lantai, aku mencoba untuk pulang. Tak kupedulikan pandangan aneh orang-orang yang melihat saat aku berjalan melewati mereka.

"Lihat, lihat saja nanti. Aku janji akan merebut kembali Liana dari tangan Mas Daffi dan kamu, Fris!" seruku pada wanita itu.

***

Dengan perasaan seperti pecahan kaca yang baru saja beradu dengan lantai, aku mencoba untuk pulang. Tak kupedulikan pandangan aneh orang-orang yang melihat saat aku berjalan melewati mereka. Untung saja taksi online yang kupesan cepat datang.

Deras air mata yang turun membasahi pipi juga tak dapat kuhalau lagi walaupun berkali kuseka dengan punggung tangan.

"Maaf, Bu, ngomong-ngomong ini kita mau lewat mana, ya, Bu?" tanya seseorang yang tengah duduk di kursi pengemudi.

Akhirnya aku mengangkat wajah demi menjawab pertanyaannya. Dari kaca spion yang terletak di tengah, bisa kulihat dia melirikku sambil tersenyum.

Supir itu, wajahnya kenapa sangat familier, ya? Siapa dia? Apa aku kenal dia?

***

"Lo itu Riana, kan?" tanyanya lagi.

"Rafif? Kok lo bisa ada di sini?"

"Kenapa? Lo kaget kalau gue sekarang jadi supir taksi online? Deu, mentang-mentang udah jadi istri orang kaya sms gue ampe nggak dibales."

Aku tersenyum hambar. "Istri orang kaya?" ucapku pelan hampir tanpa suara. Tepatnya istri yang tak dianggap sedikitpun, Fif. "Eh, jadi yang kemarin itu lo, Fif?"

Rafif mengangguk. "Ri, Lo mau langsung gue anter pulang? Atau mau nemenin gue makan siang dulu?"

"Langsung pu ...."

"Temenin gue aja dulu. Udah lama, kan, gue ga ketemu sama lo," ujarnya memangkas kalimatku.

Aku tahu dia berusaha membuatku lupa akan tangisku tadi. Sejak dulu, Rafif memang selalu begitu, tak peduli aku sedang sedih seperti apa, ia selalu bisa mengembalikan senyumku seperti semula.

Rafif mengajakku untuk makan siang di salah satu restoran fastfood yang ada di tengah kota. Restoran yang berjarak sekitar dua puluh kilometer dari sekolah Liana. Sebelumnya ia memasang mode transit pada aplikasi driver onlinenya.

"Udah lama juga, ya kita ga ketemu, Ri? Ya, sejak lo nikah dan pindah ke rumah suami lo yang kaya raya itu," ujar Rafif di tengah aktivitas makan siang kami. Tangannya sibuk mencubiti potongan dada ayam berselimut tepung yang di atasnya masih mengeluarkan sedikit uap panas.

Aku hanya mengangguk pelan mendengar Rafif bicara. Tak tahu harus bicara apa di tengah sakitnya perasaanku yang masih terasa akibat perlakuan Liana, Friska dan Mas Daffi tadi. Untung saja Rafif tidak bertanya apapun, Sepertinya ia tidak ingin membahas mengenai masalah yang tadi sudah membuatku menangis.

"Makan, Ri. Lo pasti belom makan, kan? Itu selendangnya lepas aja dulu, biar ga ganggu. Nanti abis makan baru lo pake lagi."

Aku sedikit menautkan alis. "Emangnya Lo ga malu kalau orang-orang pada tau kalau lo makan berdua cewek serem kayak gue?"

"Kenapa harus malu? Emangnya lo itu koruptor atau pencuri? Riana, Riana, yang harus malu itu mereka, tuh." Rafif tersenyum lagi.

"Ri, lo itu ga boleh nganggap diri lo itu rendah kayak gitu. Lo itu cantik, pinter, baik lagi. Nih, dengerin gue, sedikit luka bakar di muka lo itu, sama sekali ga mengurangi kebaikan lo di mata gue," ujar Rafif lagi yang kini sudah menyelesaikan makannya.

"Lagian kalau keliatan cuma cantik di muka doang mah bisa diakalin, Ri. Tinggal dipermak, didempul, jadi cantik, deh. Cantiknya palsu. Tapi kalau cantik di sini ...." Rafif menunjuk dadanya dengan telunjuk. "Udah paten itu. Itu cantik yang sebenarnya."

Tanpa sadar kedua sudut bibirku tertarik ke atas mendengarkan Rafif bicara.

"Makasi, ya, Fif."

Seandainya aja Mas Daffi bisa punya pikiran yang sama kayak lo, Fif.

"Nah gitu, dong, senyum, jangan nangis mulu. Kan cantik. Sekarang lo makan, ya. Abis itu gue anter lo pulang."

Setibanya aku di rumah, mobil Mas Daffi belum terlihat di garasi. Mungkin ia masih berada bersama Friska, entah mereka mengajak Liana pergi ke mana. Biarkanlah, yang penting Liana sudah tidak sedih lagi seperti tadi. Sebenarnya ada keinginan untuk menghubungi Mas Daffi untuk sekedar ingin mengetahui kabar Liana saat ini, tapi mengingat sikapnya tadi membuatku urung untuk melakukannya.

Bik Sumi yang tampak khawatir karena melihatku kembali menangis di dalam kamar, mencoba menghampiri.

"Bu, Apa tadi ibu ketahuan sama Bapak?" tanya Bik Sumi perlahan.

Aku mengangguk pelan. Kuhapus kasar air mata yang masih deras mengalir. "Mereka benar-benar sudah membuat kesabaran saya habis, Bik. Liana bilang dia sudah tidak butuh saya."

"Ibu tahu dari mana? Ga boleh bicara seperti itu, Bu."

"Tadi waktu di sekolah, Liana sendiri yang mengusir saya, Bik. Dia tidak mau saya menjadi ibunya."

"Benar Non Liana bicara begitu, Bu?" Bik Sumi menutup mulut dengan kedua tangan, tak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan.

"Mungkin Non hanya asal bicara, Bu. Dia belum mengerti apa-apa.

"Nggak, Bik. Saya sudah tidak mau lagi menerima perlakuan buruk dari Mas Daffi dan Liana."

"Lalu, sekarang apa rencana Ibu?"

Aku meminta Bik Sumi mendekat, lalu mengatakan sesuatu. Wanita paruh baya itu tampak sangat terkejut.

"Ibu serius?"

"Iya, Bik. Saya serius. Saya sadar kehadiran saya di sini tidak bisa membuat Mas Daffi berubah, seperti yang dulu Papa Asmoro inginkan. Saya sudah berusaha tujuh tahun, Bik. Saya lelah. Dulu saya masih berharap Liana bisa membuat saya bertahan. Tapi dari sikapnya tadi, jelas sudah jika saya harus berhenti berjuang sendirian."

Bik Sumi mendadak terisak. "Bu, Bibik pasti sedih banget kalau nggak ada Ibu di sini. Bibik ikut Ibu aja, ya?"

"Jangan, Bik. Saya justru perlu Bibik tetap ada di sini untuk menjaga Liana dan Mas Daffi. Saya titip mereka berdua, ya, Bik."

"Tapi Ibu mau ke mana? Ibu kan nggak punya saudara di Jakarta."

"Saya belum tahu, Bik. Mungkin ke tempat Om Sahid. Yang jelas saya harus pergi dulu dari rumah ini."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel