Bab 3. Mengambil Keputusan Berat
Satu bulan kemudian…
Arletta menatap nanar benda pipih yang ada di tangannya. Sebuah testpack dengan hasil dua garis membuat tubuh Arletta membatu. Dia menggelengkan kepalanya meyakinkan apa yang dia lihat ini salah. Tapi tidak, apa yang dia lihat ini tidaklah salah. Hasil yang tertera di hadapannya sangatlah nyata.
“Tidak, ini tidak mungkin.” Arletta menjatuhkan tubuhnya, bersimpuh di lantai. Bulir air matanya mulai berlinang membasahi pipinya. Dia tampak begitu ketakutan. Dia bahkan tidak tahu harus bagaimana. Saat ini dia mengandung anak Keevan—pria yang jelas-jelas telah membuangnnya layaknya sampah.
Sejak di mana Keevan memintanya untuk tidak lagi mengganggu, Arletta sudah menjauh dari hidup Keevan. Tapi sekarang? Dia harus di hadapakan dengan kenyataan mengandung anak dari pria yang telah membuangnya. Arletta tidak tahu harus bagaimana sekarang, dia tidak mungkin menggugurkan bayi yang ada di kandungannya.
Membunuh bayi yang ada di kandungannya adalah sebuah dosa besar yang tidak akan pernah bisa termaafkan. Arletta tidak mau sampai hal tersebut dia lakukan. Yang salah adalah dirinya, bukan bayi yang ada di kandungannya. Tidak adil jika sampai dirinya harus menggugurkan anaknya yang sama sekali tidak bersalah.
“Arletta keluar kamu!!” Suara teriakan dari luar kamar mandi begitu kencang, sontak membuat Arletta terkejut. Wajah Arletata mulai memucat. Namun Arletta berusaha menguatkan dirinya. Dia menghapus sisa air mata dan menyembunyikan testpack yang ada di tanganya dan melangkah keluar kamar mandi.
“Pa? Ma? Kalian di rumah?” Arletta berusaha bersikap normal, ketika melihat kedua orang tuanya berada di hadapannya. Gadis itu tak ingin sampai kedua orang tuanya tahu bahwa dirinya baru saja selesai menangis.
“Bisa kau jelaskan kenapa benda ini ada di kamarmu?!” Raka—sang ayah—melempar sebuah bungkusan yang dia dapatkan dari kamar Arletta tepat mengenai wajah putrinya itu.
Seketika wajah Arletta kian memucat. Kala melihat sebuah testpack baru yang terbungkus oleh plastik. Dia menelan salivanya susah payah. Arletta lupa untuk menyimpan testpack baru itu. Dia meletakanya di atas meja kamarnya, hingga membuat kedua orang tuanya menemkan testpack itu. Kini Arletta terus menunduk dan tidak berani mengatakan sepatah kata pun pada kedua orang tuanya.
Otak Arletta berusaha mencari sebuah alasan yang tepat, tapi sayangnya otak Arletta seakan blank tidak mampu lagi berpikir jernih. Rasanya Arletta ingin terjun ke jurang lari dari semua masalah yang menyiksa dirinya.
“Jawab Arletta! Kenapa benda itu ada di kamarmu!” teriak Raka begitu menggelegar. Emosi pria paruh baya itu sudah tidak bisa lagi terkendali di kala menemukan testpack di kamar putrinya.
“Pa, tenangkan dirimu,” ujar Melisa yang berusaha membuat suaminya tenang. Meski dia marah dan kecewa, akan tetapi wanita paruh baya itu berusaha untuk menjadi penengah. Jika dirinya ikut menyudutkan Arletta, maka tidak akan membuahkan hasil apa pun. Yang ada malah Arletta semakin terpojok.
“Sayang, bisa kamu jelaskan pada Papa dan Mama. Kenapa benda itu ada di kamarmu?” Melisa mendekat kea rah Arletta, berusaha membujuk putrinya agar menceritakan padanya. Nadanya pelan, hangat, dan penuh kelembutan. Jauh dari dalam lubuk hatinya terdalam, dia ingin Arletta mengatakan bahwa semua ini hanyalah bohong.
“A-aku—” Arletta menggigit bibir bawahnya. Dia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan pada kedua orang tuanya. Hingga perlahan bulir air matanya menetes, tidak mampu membendung di kelopak matanya.
“Kau hamil, Arletta?! Apa itu benar?!” bentak Raka penuh emosi yang membakarnya.
Arletta terisak dan mengangguk merespon ucapan Raka. Gadis itu sudah berada di posisi terjepit. Tidak ada lagi yang bisa dia katakan selalin kejujuran. Sekeras apa pun dirinya berusaha untuk menutupi, pasti akan sia-sia. Pasalnya, ayahnya sudah menemukan testpack miliknya.
Raka memejamkan mata frustrasi. Sedangkan Melisa tak henti meneteskan air mata. Pasangan suami istri itu begitu hancur dan kacau mendengar putri mereka ternyata tengah hamil di luar pernikahan.
“Siapa ayah dari kandunganmu!” Raka nyaris beteriak saat mengatakan itu.
“Maaf, Pa.” Dengan mata yang memerah, Arletta menatap sang ayah yang menatap tajam dirinya. Tak ada kata yang dia bisa katakan. Hanya permintaan maaf yang bisa dia ucapkan saat ini. Dia tidak tahu harus berkata apa lagi.
Plakkkk
Sebuah tamparan mendarat di pipi putih Arletta, hingga membuatnya tersungkur di lantai. Sudut bibir Arletta serta hidungnya mengeluarkan darah akibat tamparan keras itu.
“Pa!” Melisa langsung menahan lengan Raka saat suaminya itu hendak kembali memukul putri mereka. “Pa, jangan seperti ini! Tenangkan dirim.” Melisa berusaha menenangkan sang suami. Pasalnya kekerasan hanyalah sia-sia. Tidak akan berdampak apa pun.
“Jawab aku, Arletta! Siapa ayah dari kandunganmu!” seru Raka meninggikan suaranya. Nadanya terdengar putus asa. Tapi pria paruh baya itu tidak akan puas, sebelum dirinya tahu siapa bajingan yang berani menghamili putrinya.
“P-pacar aku, Pa.” Arletta hanya mengatakan itu. Dia tidak tahu bagaimana harus mengatakan pada keluarganya. Jika dia bilang ayah dari kandungannya adalah Keevan, itu pun percuma. Karena Keevan akan segera meninggalkan Jakarta. Arletta yakin, jika Keevan mengetahui kehamilannya, pria itu akan memintanya membunuh bayi yang ada di kandungannya. Tidak! Arletta tidak mungkin membiarkan hal itu terjadi.
Raka meremas rambutnya dengan kasar. Wajahnya tampak begitu frustrasi. Dia merasa gagal sebagai ayah, tidak bisa menjaga putri tunggalnya dengan baik. Melisa yang mendengar pengakuan putrinya, dia terus meneteskan air matanya.
“Gugurkan bayi itu! Aku tidak peduli siapa ayah dari bayi yang ada di kandunganmu!” seru Raka dengan tatapan yang menatap tajam putrinya.
“Nggak, Pa. Aku tidak mungkin membunuh kandunganku,” ucap Arletta dengan isak tangisnya. Dia menatap ayahnya penuh dengan permohonan.
“Arletta Pradipta! Aku bilang gugurkan kandunganmu!” bentak Raka keras.
“Pa, jangan seperti itu. Kasihan, Arletta,” ucap Melisa yang tidak tega melihat keadaan putrinya.
“Diam! Jangan membelanya!” seru Raka menatap tajam sang istri yang sejak tadi terus menerus membela Arletta.
Arletta menghapus air matanya, berusaha untuk menguatkan diri. Detik selanjutnya, dia mendekat ke arah ayahnya dan berkata tegas, “Arletta nggak akan gugurin! Meski Papa memaksa, aku nggak mungkin membunuh bayi yang ada di kandunganku. Bayi ini sama sekali nggak bersalah, Pa.”
“Kamu—” Raka hendak melayangkan tamparan ke pipi putrinya. Dan Arletta langsung memejamkan matanya kala melihat ayahnya ingin melayangkan tamparan. Namun, Raka menghempaskan tangannya, dia memukul dinding dengan keras meluapkan kemarahannya.
“Jika kamu nggak menggugurkan kandunganmu! Lebih baik kamu angkat kaki dari sini!” teriak Raka yang langsung meninggalkan Arletta. Raut wajahnya tampak begitu kecewa dan putus asa bercampur dengan amarah yang menjadi.
Tangis Arletta pecah mendengar ucapan ayahnya. Dia tahu dirinya telah membuat keluarganya malu. Sudah sepatasnya ayahnya memintanya pergi.
“Sayang, jangan dengarkan Papamu,” ucap Melisa seraya memeluk erat putrinya. “Mama yakin, Papa akan segera memaafkanmu.”
“Ma,” Arletta menatap Melisa penuh dengan mata yang memerah. “Apa yang Papa bilang benar. Kalau aku masih di sini. Aku akan membuat kalian malu. Biarkan aku pergi dari sini, Ma. Aku akan membesarkan anakku sendiri. Maaf telah membuat kalian malu atas apa yang aku perbuat.”
***
Keevan menatap tiket pesawat yang ada di tangannya. Hari ini adalah hari keberangkatannya ke New York. Dia akan melanjutkan S2 di sana. Harusnya dia senang karena bisa keluar dari Jakarta.
Namun, entah kenapa pikirannya tertuju pada Arletta. Gadis itu berhasil mengusik pikirannya. Biasanya Keevan selalu mendapatkan telepon ataupun pesan dari Arletta setiap harinya.
Tapi sekarang? Dia tidak menerima satupun pesan atau telepon dari Arletta.Terakhir Keevan bertemu dengan Arletta saat di kampus. Tepat di mana dia meminta Arletta untuk tidak lagi mengganggu hidupnya. Dan di sana, pertama kalinya Keevan melihat Arletta menangis.
“Den Keevan, apa kita berangkat sekarang?” tanya Wisnu—sang sopir—yang menghampiri Keevan.
Keevan belum menjawab. Raut wajahnya terlihat memikirkan sesuatu. Hingga didetik selanjutnya Keevan mengganggukan kepalanya, lalu dia masuk ke dalam mobil. Wisnu langsung memasukan koper Keevan ke dalam bagasi. Tak berselang lama, mobil Keevan mulai berjalan meninggalkan area parkiran rumah.
“Den Keevan, beberapa hari lalu saya melihat rumah keluarga Non Arletta dijual. Pantas saja saya sudah lama tidak melihat Non Arletta, ternyata keluarga Non Arletta sepertinya tidak lagi tinggal di Jakarta,” ujar Wisnu yang tengah melajukan mobil. Sontak, Keevan terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Wisnu.
“Keluarga Arletta pindah? Pindah ke mana?” tanya Keevan dengan wajah yang begitu ingin tahu. Pria itu sama sekali tidak tahu kalau Arletta pindah.
“Saya kurang tahu, Den. Terakhir pembantu di sana hanya mengatakan Keluarga Non Arletta sudah meninggalkan Jakarta,” jawab Wisnu memberitahu.
Keevan terdiam. Rasa penasaran menyelimuti dirinya. Terakhir Arletta tidak mengatakan apa pun padanya. Gadis itu bahkan tidak bilang akan meninggalkan Jakarta. Padahal sebelumnya, Keevan mengatakan pada Arletta akan melanjutkan pendidikan S2 di New York.
‘Shit!’ Keevan mengumpat dalam hati. Harusnya dia tidak perlu memikirkan gadis itu. Tapi kenapa sekarang dia harus memikirkan gadis itu? Keevan benar-benar membenci di mana dirinya harus memikirkan gadis yang selalu mengganggu kehidupanya itu.
“Wisnu, apa kita masih punya waktu untuk mampir ke satu tempat?” tanya Keevan dengan raut wajah yang serius.
“Maaf, Den. Pesawat Anda sebentar lagi. Saya hanya takut Anda terlambat. Dan jalanan pun hari ini kebetulan sedang macet,” jawab Wisni memberi saran.
Keevan mengembuskan napas kasar seraya memejamkan mata singkat. “Ya sudah, tidak perlu putar balik. Teruskan saja ke bandara.”