6. Masa Lalu Pangeran Jae
_Flashback_
Pangeran Jae menatap kobaran api yang membakar raga sang ibu. Tidak ada air mata yang jatuh di kedua pipinya. Bukankah untuk anak seumurannya adalah hal wajar jika ia menangis atas kematian ibunya? Namun anak itu justru terlihat tegar alih-alih menangisi kematian ibunya yang paling ia cintai. Wanita yang menjadi satu-satunya pelindungnya. Dan ketegaran Jae kecil membuat sang kaisar tercengang.
Ya, bocah itu hanya diam menerima kematian ibunya. Sebab ia tahu, ibunya mati karena di racun, bukan karena sakit. Ia tahu dayang pribadi sang ibu memberinya bubuk racun ke dalam teh yang ia sajikan setiap malam. Dan segala yang di lakukan dayang itu, adalah perintah dari raja Sojang, yang merupakan kakak sepupu dari ibunya, sekaligus raja besar pemimpin kerajaan Gojang.
Dalam diam pangeran Jae menyimpan dendam, dan bersumpah di depan mayat sang ibu bahwa ia akan membalas kematian ibunya dengan membunuh raja Sojang dengan tangannya sendiri.
Ketika pemakaman itu telah selesai, pangeran Jae memilih untuk menyendiri di sebuah taman yang terletak di samping istana Gojang. Ia menolak keinginan pangeran Nam untuk menemaninya sebab khawatir sang adik akan melakukan tindakan yang berbahaya.
Setelah ia meyakinkan sang kakak bahwa ia butuh waktu untuk sendirian dan merenungi segala kesedihannya, pangeran Nam akhirnya merelakan pangeran Jae pergi untuk menenangkan diri.
Pada hamparan taman luas nan tenang di kerajaan Gojang, Jae duduk di tepi danau kecil, di tepi dermaga kayu yang di lindungi oleh pohon dedalu rimbun. Menikmati sejuknya angin yang membawa segala kesedihannya atas kematian ibunya.
Tenggorokannya tercekat sebab ia kesulitan menitikkan air mata yang mungkin saja bisa membuatnya lebih baik. Dendam yang mengakar di hatinya telah mengeringkan seluruh air matanya. Wajah raja Sojang yang tampak berpura-pura berkabung atas kematian adik sepupunya membuat Jae muak. Ingin sekali ia menghunuskan bilah pedang ke jantung sang raja untuk membalas kematian ibunya. Namun apa yang bisa dilakukan oleh bocah berusia tujuh tahun yang masih begitu lemah dalam memegang senjata perang? Jae belum begitu mahir seperti kakak-kakaknya yang sudah mulai mengikuti peperangan kendati mereka baru menginjak usia dua belas tahun.
Sebentar lagi... Bukankah tinggal sebentar lagi ia akan semahir pangeran pertama dan pangeran kedua dalam menjalani perang perebutan wilayah? Ia akan menghancurkan kerajaan Gojang untuk ibunya.
Jae mengepalkan kedua tangannya bersama sakit hati yang menggerogoti perasaannya yang seharusnya masih hijau. Segala sumpah serapah yang hanya sanggup terucap di dalam hati, ia biarkan mengalir, menghitamkan hatinya yang seharusnya masih begitu putih dan lembut.
Hingga ia kemudian tersentak kala setangkai bunga lily kuning teracung di depan wajahnya, membuat ia terpaksa mengalihkan segala pikiran jahatnya kepada seorang gadis kecil yang berdiri di sisinya dengan setangkai bunga lily kuning di tangannya.
"Jangan terlalu lama bersedih, orabeoni. Kau boleh menangis jika ingin menangis. Aku tidak akan memberitahu siapa pun."
Jae tertegun oleh presensi gadis kecil yang memberikan senyuman lebar untuknya. Masih terkejut dengan kemunculan sang gadis, Jae menerima bunga lily dari tangannya, masih menatapnya dengan perasaan heran. Hingga gadis itu ikut duduk di tepi dermaga, tepat di sisinya sembari mengayunkan dua kakinya yang masih kesulitan menyentuh permukaan air danau.
"Kau siapa?" tanya Jae, masih belum mengalihkan atensinya dari sosok gadis riang yang duduk di sampingnya.
"Namaku Cho, putri kedua dari raja Sojang," jawab gadis itu dengan raut lugu nya.
"Anda pangeran Jae, kan?" lanjutnya semakin melebarkan senyuman di bibirnya hingga kedua matanya menyipit. "Aku tahu kau sangat kehilangan. Aku juga kehilangan ibuku. Jadi kita sama-sama tidak punya ibu."
Tatapan mata Jae menyendu. Senyuman Cho sedikit mengaburkan hitamnya hati Jae yang sempat membuatnya kesakitan.
"Aku bahkan tidak ingat wajah ibuku," kata Cho yang kembali mengarahkan pandangannya pada Jae tanpa melepas senyum lebar dari bibirnya yang memperlihatkan lesung pipit di pipi kanannya. "Tidak apa-apa, Orabeoni. Kau masih punya saudara yang menyayangimu. Seperti aku yang masih memiliki eonnie yang sangat mencintaiku. Jadi... Jangan simpan kesedihanmu sendirian. Kita bisa berbagi jika merindukan ibu. Mau berteman denganku?"
Hari itu menjadi kenangan berkesan bagi Jae. Sejak Cho mendekatinya di hari pemakaman, hubungan mereka menjadi sangat dekat.
Tentu saja kerja sama antara kerajaan Gojang dengan kekaisaran semakin mempererat hubungan Jae dan Cho Ryu yang terjalin hingga mereka tumbuh dewasa. Sama seperti hubungan Yeon dengan Seo Ran yang sangat akrab sebab keduanya belajar mengenai kepemimpinan secara bersama-sama.
Seakan menemukan kembali sosok Cho Ryu yang lembut, Jae menepis seluruh kecurigaan perihal dugaan tentang kepura-puraan Cho tentang seluruh ingatannya yang hilang.
Tatapan mata Cho tidak bisa membohonginya. Ia tidak lagi melihat sorot kebencian yang selalu mengarah kepadanya sejak ia berhasil membunuh ayah Cho Ryu.
"Kau lah alasan mengapa aku menanam lily kuning di taman istanaku. Karena setiap aku melihat lily kuning, aku langsung teringat padamu."
Cho Ryu melemparkan pandangannya pada sebidang tanah di sudut taman dimana di sana tertanam bunga lily yang belum berbunga karena musim telah berganti. Mungkin ia akan melihat bunga itu bermekaran di musim semi mendatang.
"Jadi... Jangan pernah melihatku dengan raut ketakutan. Karena sampai kapan pun aku tidak akan pernah menyakitimu—"
'Meski pun puluhan kali kau mencoba membunuhku, Cho.'
••••
Bibir sang kaisar di penuhi darah ketika ia terbatuk. Lemah sekali kondisinya hingga ia hanya bisa terbaring di atas ranjang menanti kematian yang kian mendekat.
"Permintaan terakhirku hanya satu. Bukan sebagai kaisar, tetapi sebagai seorang ayah." Batuk lagi, sang kaisar mengangkat tangannya, meminta seluruh dayang dan perawat istana untuk meninggalkan ruang kamarnya. Sebab sang kaisar ingin berbicara empat mata dengan putra kesayangannya, pangeran Yeon.
"Nak, tolong," sulit sekali bagi sang kaisar untuk berucap. Ia bergerak untuk bangkit dari tidurnya dengan susah payah, hingga Yeon akhirnya berlari untuk membantu ayahnya bangun dan duduk di pinggir ranjang.
Sang kaisar menahan tangan Yeon yang hendak kembali ke tempat ia duduk sebelumnya, dan meminta sang putra untuk duduk di sisinya.
Netra sayu yang di kelilingi oleh lingkaran hitam itu mengarah kepada sang putra yang masih menunduk, menghormati sang ayah yang masih berstatus kaisar tertinggi, pemimpin wilayah Daejang.
"Ayah sangat berharap dirimu yang menggantikan ayah sebagai kaisar Daejang. Yeon—" sang kaisar terbatuk lagi. Begitu dalam hentakan batuk yang terjadi hingga begitu banyak semburan darah yang keluar dari mulutnya.
"Ayah, jangan memaksakan dirimu," kata Yeon khawatir. Ia mengambil sapu tangan bersih yang tersedia di sisi ranjang untuk menyeka noda darah yang mengotori bibir dan dagu sang kaisar.
"Sudah sangat lama aku tidak mendengar kau memanggil ku dengan sebutan ayah. Apa karena ayah akan segera mati, kau akhirnya mau menganggap ku sebagai ayahmu?"
"Tidak seperti itu, ayah."
Sang kaisar tertawa lemah. Ia menatap sang putra yang kini mau mengangkat wajahnya untuk menatapnya. Ia begitu mengagumi wajah tampan sang putra yang terlahir dari rahim wanita yang ia cintai. Meski semua putranya terlahir sebagai pria tampan, bagi sang kaisar, pangeran Yeon tetap yang paling ia harapkan.
"Bisakah kau mengabulkan harapan ayah, Yeon?"
"Maaf, ayah. Aku tidak ingin melukai harga diri Seo."
"Dia bahkan tidak mengharapkan tahtanya sebagai kaisar," sahut sang ayah. "Mengapa kalian tidak ingin melanjutkan perjuangan ayah untuk mempertahankan wilayah ini? Ayah membangun Daejang untuk anak-anak ayah."
Yeon menelan salivanya dengan kasar, masih menyorotkan jelaganya pada sosok sang ayah yang tampak lemah.
"Jika kau tidak mengambil tahta ayah, ibumu akan di asingkan."
"Ayah, mengapa kau masih memikirkan ibu yang—"
"—ayah tahu," sambar sang kaisar sebelum Yeon berhasil menyelesaikan ucapannya. "Ayah tahu, nak," ulangnya dengan perasaan getir. "Tapi ibumu adalah satu-satunya wanita yang ayah cintai. Kebencian ibumu terhadap ayah, karena kesalahan ayah yang membuat ibumu harus kehilangan pria yang dia cintai."
