Pustaka
Bahasa Indonesia

Kesayangan Pangeran Berhati Dingin

35.0K · Ongoing
MiyuuGa
26
Bab
1.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Sebuah gelang emerald pemberian wanita asing telah mengantarkan Cho-Ryu ke dimensi lain. Sebuah Dimensi kerajaan yang membuatnya terjebak di antara tujuh pangeran yang menjadi idola di dunia asalnya. Namun alasan ia ditarik masuk ke dimensi itu adalah untuk merubah takdir sang pangeran kedua yang terlalu jauh dari jalan takdirnya.

Pengembara WaktuTuan MudaZaman KunoKehidupan MisteriusSelebritiDrama

1. Dua Dimensi

Sebuah buntalan menggelinding dan berhenti tepat di kaki Permaisuri Soo-Jeong. Wanita yang sedang menikmati teh hijaunya itu tampak terkejut dengan apa yang menyentuh ujung kakinya secara tiba-tiba. Darah yang bercecer sempat membuatnya mematung dalam beberapa detik.

Netranya yang menatap nyalang, perlahan  bergulir mengarah pada sosok pria  yang berdiri di seberang nya dengan tubuh dipenuhi noda darah. Napasnya terdengar memburu sarat akan emosi yang ia tahan mati-matian. Sang pria kemudian melempar pedangnya di hadapan sang permaisuri yang menimbulkan dentingan keras memekakan telinga.

Pria itu adalah pangeran Yeon. Putra tunggal sang permaisuri dengan kaisar Daejong.

"Berhenti melakukan hal-hal yang memaksaku bertindak seperti ini—ibu," ujar pangeran Yeon. Ia menyeka darah di sisi wajahnya dengan lengan jubahnya. Rahangnya mengeras sempurna kala sang ibu justru mengembangkan sebelah sudut bibirnya, mengulas seringai jahat yang hanya ia perlihatkan di depan sang putra.

"Kenapa kau membunuhnya?" tanya sang permaisuri yang kembali tampak tenang seakan tidak ada sesuatu hal yang terjadi. Ia mengabaikan buntalan berisi kepala manusia yang masih teronggok di bawah kakinya. Dengan begitu kalem, sang permaisuri kembali menyesap teh di dalam cangkir porselennya.

"Hal apa yang kau perintahkan padanya?" geram pangeran Yeon yang tampak menahan diri dan mencoba mengendalikan emosinya.

Sang ibu terkekeh samar. Ia kembali mengarahkan tatapannya kepada sang putra yang benar-benar hampir meledak oleh amarahnya.

"Membunuh putri Cho Ryu. Hanya itu yang aku perintahkan," jawab permaisuri Soo-Jeong kalem. "Seharusnya kau tidak menghalangi apa yang aku perintahkan padanya, Yeon. Mengapa kau masih melindungi wanita yang menghambat kenaikan tahtamu—"

"—AKU TIDAK BUTUH TAHTA!!!" raung pangeran Yeon. "Berhenti mendesak ku untuk mendapatkan tahta di kerajaan mana pun. Aku—tidak—mau."

Pangeran Yeon memutar tubuhnya, mengibaskan jubahnya dengan sangat kasar lalu keluar dari istana pribadi ibunya. Meninggalkan kepala Soo-Bin yang ia penggal dengan tangan dan pedangnya sendiri.

••••

—In another dimension—

"Cho, bekalmu," teriakan sang ibu dari dapur menahan langkah kaki kecil Cho. Gadis itu memutar tungkainya untuk kembali ke dapur dengan terburu-buru lalu mengambil kotak bekal yang sudah ibunya siapkan di atas meja pantry.

"Aku berangkat dulu, ibu."

Pagi yang melelahkan. Cho terlambat bangun pagi sebab semalam ia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Terlalu gelisah dengan acara kelulusannya hari ini, hingga ia kesulitan memejamkan kedua matanya. Alhasil, pukul setengah delapan pagi ia baru bangun dari tidurnya. Padahal, acara kelulusan dimulai pukul sembilan tepat, membuatnya harus buru-buru ke sekolahnya agar tidak terlambat.

Setengah berlari, Cho menapaki jalanan trotoar yang cukup ramai. Lima belas menit acara akan segera dimulai dan masih terlalu jauh untuknya berjalan kaki menuju sekolahnya. Tidak masalah jika pun ia terlambat lima menit. Namun naas nya, ketika ia hendak berbelok di tikungan trotoar, Cho justru menabrak seorang wanita tua. Membuat segala macam yang wanita tua bawa itu jatuh berhamburan di jalan.

"Astaga, maaf. Maaf kan saya, nek," ucap Cho dengan napas tersengal. Ia langsung berjongkok, memunguti beberapa buah apel dan pir yang menggelinding untuk membantu sang nenek.

"Tidak apa-apa, nak," jawab wanita tua itu yang berusaha berdiri sebab ia pun terjatuh hingga siku yang ia gunakan untuk menahan tubuhnya berdarah.

"Nenek, Anda berdarah," pekik Cho ketika netranya menemukan noda darah di siku yang menembus hingga ke sweater tipis yang wanita itu kenakan.

"Tidak apa-apa, nak. Aku akan mengobatinya setelah sampai di rumah," sahut sang wanita tua.

"Aku akan mengobatinya sekarang, sebelum terjadi infeksi," Cho membuka tas ranselnya kemudian mengambil kotak mini berisi obat-obatan dari dalam tasnya.

Ia mengeluarkan botol alkohol dan plester steril kemudian dengan sangat hati-hati ia membersihkan luka wanita tua itu dan langsung menutupnya dengan plester luka.

"Sudah, nek. Sekali lagi, maaf sudah membuat Anda terluka," kata Cho yang kembali memasukkan kotak obat nya ke dalam tasnya.

"Anak baik," desah sang wanita tua sembari mengusak kepala Cho dengan sangat lembut.

"Kalau begitu saya permisi dulu, nek. Maaf sekali, saya sudah sangat terlambat."

"Tunggu dulu," cegah sang wanita tua, menahan pergelangan tangan Cho yang hendak berlari pergi dari sana. "Terima ini sebagai tanda terima kasih nenek untuk gadis baik sepertimu."

Cho menatap sebuah benda cantik di tangan sang nenek dengan netra yang melebar. Sebuah gelang batu giok emerald dengan rantai emas.

Bukankah terlalu berlebihan memberinya gelang yang tampak begitu mahal dan unik? Cho berani bersumpah bahwa benda itu sangat langka dan... terlihat kuno. Menurut Cho, benda seperti itu hanya ada di jaman kerajaan.

Cho menatap wajah sang nenek yang mengawasinya dengan penuh harap. Bersama senyuman lebar mengembang di bibirnya yang kering. Ia lalu menggeleng pelan untuk menolak pemberian sang nenek yang menurutnya terlalu berlebihan. Lagi pula, kecelakaan kecil itu terjadi karena ia yang menabrak sang nenek.

"T-tidak nek—"

"—nenek mohon. Simpan benda ini untuk keberuntungan mu," sambar sang nenek yang memakaikan gelang itu pada tangan Cho dengan paksa.

Sang nenek mendesah lega saat gelang antik itu melingkar indah di tangan Cho Ryu. "Semoga kebahagiaan menyertaimu, nak. Selamat pagi," nenek itu pun pergi meninggalkan Cho yang mematung sebab terlalu tertegun dengan apa yang di lakukan wanita tua itu.

Ketika presensi sang nenek menghilang, Cho mengerjapkan kedua matanya dengan sangat cepat. Seakan ia baru saja menemukan kesadarannya yang sempat menghilang. Ia mengangkat lengannya tepat di depan wajahnya dan gelang pemberian sang nenek melingkar indah di pergelangan tangannya.

Lekat sekali ia mengamati setiap detail ukiran gelang yang tampak kuno namun terlihat begitu indah. Ia tertarik dengan butir batu emerald yang menghiasi lingkar gelang di tangannya. Ia bisa melihat ukiran huruf emas di dalamnya. Kecil sekali, namun ia tidak bisa membaca huruf yang terukir di sana. Sebab jelas huruf itu bukan berasal dari negaranya.

Teringat bahwa ia tengah mengejar waktu, Cho langsung menggelengkan kepalanya. Membuyarkan segala rasa penasaran dan kagumnya terhadap benda indah di tangannya. Ia kembali berlari menuju sekolahnya. Sepuluh menit lagi waktu yang tersisa, dan jelas sekali ia tidak akan bisa sampai tepat waktu.

Langkah kakinya semakin cepat. Ia beringsut menghindari beberapa orang yang berpapasan dengannya. Tidak ingin melakukan kesalahan lagi yang semakin membuatnya terlambat. Ia mencoba mengatur napasnya kala ia sampai di tempat penyeberangan jalan. Ia sudah terlambat delapan menit.

Kemana pikirannya ketika ia melangkahkan kakinya kala lampu penyeberangan masih menunjukkan tanda berhenti untuk pejalan kaki? Seakan pandangannya mengabur, ia sama sekali tidak melihat tanda penyeberangan. Hingga ia memantapkan kakinya untuk terus berlari menyeberangi jalanan yang masih berlalu lalang kendaraan.

Gadis itu bagai terhipnotis, ia tetap berlari meski banyak manusia yang berteriak untuk memintanya berhenti. Sampai akhirnya suara klakson panjang membuat tungkainya membeku, dan dengan jelas sekali ia melihat sebuah mobil melaju ke arahnya dalam kecepatan tinggi.

Tubuh Cho terpental lima meter jauhnya setelah tertabrak sebuah mobil. Kepalanya terbentur hingga darah mengalir deras dari luka yang ia dapatkan. Tubuhnya di penuhi luka.

Di sisa kesadarannya, Cho masih bisa melihat beberapa orang berlari ke arahnya. Bukan untuk menolong, tapi untuk melihat keadaan dirinya yang mungkin tidak akan selamat dari kecelakaan yang ia alami.

Pandangannya kian mengabur, kala seorang lelaki berjongkok di sisi tubuhnya. Ia tidak tahu siapa lelaki itu, ia hanya mengingat rambut dengan cat warna red wine yang berkibar oleh terpaan angin.