Bab 6
Sebulan Kemudian
Pria ini sedari tadi nggak ngelepasin pandangannya dari wajahku, membuat aku makin tersipu, rasanya wajahku makin memerah saja. Dia memandangiku sambil tersenyum. Setelah pertemuan pertama sebulan lalu, malamnya Mas Budi mengirim BBM ke aku, dan sejak itu, setiap hari selama 2 minggu terakhir ini kami rajin BBMan. Entahlah, ngobrol via chatting aja udah kerasa nyaman buatku, menyenangkan, bikin senyum-senyum sendiri.
Sampai ibuku bertanya kenapa aku kayak gitu, ya akhirnya aku ceritakan saja awal pertemuanku dengan Mas Budi. Keesokan harinya gantian aku diinterogasi sama ayah. Kedua orang tuaku sepertinya tertarik dengar ceritaku, dan menanyakan kapan aku bisa ngenalin Mas Budi ke mereka.
Terus terang aku bingung, aku takut kalo Mas Budi berkenalan dengan orang tuaku, bisa jadi seperti sebelum-sebelumnya, cowok-cowok yang mendekatiku mundur teratur. Padahal kami juga baru saja berkenalan, belum ada apa-apa, meskipun jujur kuakui aku menaruh simpati padanya.
Sejauh ini penilaianku kepadanya, dia orangnya baik, perhatian, dan selalu nyambung kalo ngobrol. Dia juga selalu ngingetin aku kalo terlalu asik chat dengannya, jangan sampai lupa nyelesain tugas-tugas kuliahku yang semakin banyak ini. Entah, tapi aku merasa mulai menyukainya, dan tidak rela jika nantinya dia mundur teratur. Tapi aku juga nggak bisa nolak permintaan orang tuaku, karena itulah aku putusin coba untuk nyampein ini ke Mas Budi.
“Dek, kamu kenapa kok kayaknnya lagi bingung gitu? Masalah kuliah?” tanya Mas Budi menangkap kegelisahanku.
“Nggak kok mas, bukan masalah kuliah,” jawabku.
“Trus apa dong? Mungkin aja mas bisa bantu,” tanyanya lagi.
“Hmm, gimana yaa.. gini mas, tapi mas jangan salah sangka atau marah dulu ya?”
“Kenapa tho? Mau nembak aku ya?”
“Ihh apaan sih mas ge-er banget,” jawabku sewot.
“Hehe, bercanda adeek.. gimana gimana mau ngomongi apa?” tanyanya, kali ini serius.
“Gini mas, seminggu lalu kan aku ditanyain sama ibuku, gara-gara ibu beberapa kali ngelihat aku asik BBMan. Aku emang dari dulu selalu apa-apa cerita sama orang tuaku mas, sejak kejadian kakakku yang kemarin aku ceritain ke mas itu,” jelasku.
“He’em, terus?”
“Ya aku ceritain ke orang tuaku akhirnya, dari awal kita ketemu sampai kita sering BBMan, terus ayah malah pengen langsung ketemu sama mas,” lanjutku.
“Owh gitu tho, mas udah langsung ditodong nih ceritanya?” tanyanya tersenyum.
“Tuh kan mas udah salah sangka duluan, langsung deh nyimpulinnya kesitu,” jawabku sambil nundukin kepala. Terus terang aku sangat malu bilang ini ke Mas Budi.
“Bukan salah sangka dek, aku paham banget apa yang dimaksud sama ayah kamu, seorang ayah, dan ibu juga sih, pastinya nggak mau kalo anaknya salah pergaulan, makanya ya wajar aja kan kok kalo orang tua kamu pengen tau temen-temen kamu?” tanya Mas Budi.
“Iya sih mas, tapi aku bingung juga, kita kan juga belum lama kenal, masak ayah udah mau ketemu aja sama Mas Budi.”
Dia tersenyum sejenak, sebelum melanjutkan, “Dek, sampein ke ayah kamu ya, besok malem minggu mas dateng ke rumah kamu,” ucap Mas Budi yakin.
“Lhoh tapi mas, kita kan nggak….” ucapku langsung dipotong Mas Budi.
“Nggak apa? Pacaran? Punya hubungan special?”
“Hmm, yaa,, yaa gitu lah mas,” jawabku malu.
“Aku justru nggak akan macarin kamu dek, kalo aku belum ketemu dan kenal sama orang tua kamu,” ucapan Mas Budi membuatku terkaget-kaget.
“Ma… maksud mas.. apa?” tanyaku terbata-bata.
“Aku mau serius dek, aku udah capek, udah nggak mau lagi pacaran main-main, udah saatnya aku memulai hubungan yang serius, makanya nanti aku bakal ke rumah kamu, biar orang tua kamu juga tau aku seperti apa orangnya, setelah itu, setelah dapat restu dan kepercayaan dari orang tua kamu, baru aku mau macarin kamu,” jelasnya panjang lebar, aku bahkan cuma bisa ternganga, nggak bisa jawab omongannya.
“Kok diem? Kenapa? Kamu emang nggak mau pacaran ama aku dek? Emang kamu nggak suka sama aku?” tanya Mas Budi, dia sambil tersenyum tapi ucapannya itu serius.
“A.. Aku,,, tapi ki,, kita kaan baru aja kenal mas.”
“Masalah? Kalo aku sih maunya cepet aja biar kamu nggak keburu disamber orang lain, hehe.”
“Emangnya apaan pake disamber segala?” kataku sambil melengos, memalingkan muka, karena aku nggak bisa menahan senyumku.
“Kamu tambah manis kalo senyum gitu dek.”
“Huuu gombalnya mulai lagi.”
“Yee siapa yang ngegombal coba, jadi gimana? Mau kan ya?” tanya Mas Budi lagi.
“Mau apa sih mas?” aku balik nanya, sambil tetep membuang muka, menahan senyum.
“Ya mau aku pacarin lah, aku yakin kamu pasti nggak mau kan kehilangan cowok sedahsyat aku?”
Tawaku langsung pecah, aku jadi teringat film Otomatis Romantis, Tukul persis ngomong gitu ke Wulan Guritno.
“Kok ketawa gitu?” tanya Mas Budi keheranan.
“Kamu kayak Tukul mas ngomong kayak gitu.”
Dia terdiam, lalu menepuk jidatnya sendiri, “Aduh iya, salah aku ngambil contoh yaa.”
Kamipun tertawa bersamaan. Aku yang selama ini jarang bisa dekat dengan lelaki, kali ini begitu nyaman dan bisa cerita macam-macam ke Mas Budi, begitu terbukanya. Aku memandang dia memang lain, kadang bisa bercanda seperti itu, kadang bisa serius sekali dan muncul kedewasaannya. Aku berharap apa yang dia bilang tapi bukan mengada-ada atau cuma candaan aja, dan masih sambil tersenyum, di dalam hati aku berkata, ‘iya, aku mau mas.’
***
3 hari kemudian, malam minggu
Sudah hampir 1 jam orang tuaku berada di ruang tamu bersama Mas Budi, sementara aku nunggu di ruang keluarga sambil memainkan ujung-ujung kerudungku. 15 menit terakhir malah yang sering terdengar adalah tawa ayah ibuku, sepertinya Mas Budi sukses berkenalan dan mengambil hati kedua orang tuaku, dan aku yang menunggu pun cuma bisa senyum-senyum sendiri mendengar percakapan mereka bertiga.
“Nduk, Ara,” ayah memanggilku.
“Iya yah, ada apa?” jawabku.
“Sini nak, ini Mas Budi mau pamit ini lho.”
Aku segera menuju ruang tamu, nampak mereka bertiga sudah berdiri, sepertinya memang Mas Budi sudah mau pulang.
“Ini lho nduk, masmu mau pulang ini,” kata ayahku. ‘Masku?’, aku langsung tersipu malu mendengar ucapan ayah itu.
“Baiklah pak kalo begitu, saya permisi dulu. Ibu, saya pamit pulang dulu,” pamit Mas Budi sambil menyalami kedua orang tuaku.
“Iya nak, hati-hati di jalan ya,” ucap ibuku.
“Yowes, kamu hati-hati di jalan Bud, dan hati-hati juga ngejagain hati anak saya,” duh ayah ini bikin aku tambah malu aja.
“Hehehe, iya pak, Budi pasti jagain Ara,” jawab Mas Budi sambil ketawa ringan.
“Dek Ara, mas pulang dulu ya,” pamitnya sambil mengulurkan tangan menyalamiku.
“Iya mas, hati-hati di jalan,” jawabku sambil meraih tangannya, dan entah gimana aku menundukan kepalaku mencium tangan Mas Budi, yang membuatnya sedikit tersentak, terkejut.
“Eh, iii,, iyaa,, mari semuanya, Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,” jawab kami bertiga.
Selepas Mas Budi pergi, ayahku merangkul pundakku dan berkata, “Dia anak yang baik, sepertinya kamu nggak salah milih orang nduk.”
Aku cuma bisa tersenyum tanpa sepatah katapun keluar dari mulutku. Aku bahagia, dan tidurku nyenyak sekali malam ini, ditemani impian kami, aku dan Mas Budi.
***
Bersambung