Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5

POV Ara

Tiara Dharma Saraswati

on wedding dress

Tiara Dharma Saraswati, atau lebih sering dipanggil Ara oleh kedua orang tuaku. Teman-temanku juga banyak yang manggil Ara, ada juga yang manggilnya Tia. Untung nggak ada yang manggil Saras, tinggal ditambahin 008, berubah deh meong meong, hehe. 24 tahun yang lalu terlahir dari pasangan R. Adiatma Wijaya dan Nurul Aini. Aku sebenarnya bukan anak tunggal. Aku punya seorang kakak perempuan, Elisa Putri Wardhani, aku manggilnya Kak Icha. Usianya 4 tahun diatasku, seorang kakak yang sangat baik dan sayang ke adiknya.

Namun sebuah kecelakaan tragis 15 tahun yang lalu merenggut kakakku untuk selamanya. Kak Icha yang saat itu pulang sekolah dijemput ayahku, dalam perjalanan pulang motor yang mereka tumpangi ditabrak oleh sebuah mobil yang akhirnya melarikan diri. Ayah terluka, kakinya patah, namun selamat. Kak Icha yang terlempar dari motor, helmnya terlepas dan kepalanya membentur pembatas jalan, dan akhirnya meninggal di tempat.

Sejak kejadian itu selama hampir setahun ayah sangat terpukul. Kami semua terpukul, namun ayah jelas lebih terpuruk, karena ayahlah yang membonceng Kak Icha. Keluarga besar kami nggak ada yang nyalahin ayah, karena itu memang kesalahan pengemudi mobil yang ugal-ugalan, namun ayah menghukum dirinya sendiri sebegitu beratnya. Beruntung kami memiliki seorang ibu yang begitu kuat dan tabah. Sempat terpuruk juga namun akhirnya mampu bangkit, dan kemudian secara terus menerus dan telaten memberikan dorongan kepada ayah agar bisa memaafkan dirinya sendiri.

Setahun kepergian Kak Icha, ayah mulai kembali seperti dulu, nggak lagi terpuruk dan mengutuk dirinya sendiri. Tapi ayah akan sangat marah sekali, entah saat tugas ataupun nggak, waktu lihat ada yang melanggar peraturan lalu lintas apapun itu. Bukan apa-apa, ayah hanya tidak ingin kejadian Kak Icha menimpa orang lain. Karena kecelakaan terjadi, sebagian besar disebabkan oleh kesalahan manusia itu sendiri.

Setelah kepergian Kak Icha, kedua orang tuaku begitu protektif kepadaku. Terlihat over protected mungkin buat orang lain, tapi akunya asik-asik aja sih. Justru aku seneng bisa sedekat ini sama kedua orang tuaku, dimana mungkin banyak temen-temen yang lain kurang dekat dengan orang tuanya, atau malah ada yang justru sebel sekedar ditanya kegiatan di sekolah sama orang tuanya. Kok malah lebih senang diperhatiin sama orang lain daripada diperhatiin orang tuanya yaa, padahal kalo bukan karena orang tua kita kan kita nggak bakal ada.

Memang sedekat itulah aku sama orang tuaku. Semua curhatanku ya sama orang tuaku. Bukannya aku nggak punya teman atau sabahat, tapi aku memang lebih merasa nyaman aja kalo curhatnya tu sama orang tua. Semua hal aku curhatin, sampai ke masalah cowok sekalipun. Tapi jarang sih ada yang mau deketin aku, lha baru lihat ayahku aja mereka udah minder duluan, makanya sampai lulus SMA aku nggak pernah punya pacar.

Semasa kuliah ada beberapa cowok yang mendekatiku sebenarnya, tapi semua mentok waktu mengenal orang tuaku, terutama ayah. Entah apa mungkin karena ayah seorang polisi, atau apa aku juga kurang paham. Tapi buatku, yang mau ngejalanin hubungan sama aku ya harus tau orang tuaku juga, karena aku nggak mau cuma sekedar pacaran.

***

Sampai akhirnya, suatu sore di food court kampusku, yang berdekatan dengan koperasi mahasiswa dan sebuah Bank BUMN. Aku sedang makan bersama temanku Marisa. Suasana food court sore itu masih cukup ramai. Aku lihat ada seorang cowok, dengan seragam Bank sebelah, sedang celingukan sambil membawa nampan yang berisi sepiring gado-gado dan segelas juice alpukat serta sebotol air mineral. Tampaknya cowok itu sedang mencari tempat duduk yang kosong, lalu cowok itu menuju ke arah kami.

“Permisi, maaf mbak, boleh saya duduk disini? Tempat lain udah penuh e,” tanya cowok itu.

Aku dan Marisa pun ikutan celingukan, dan memang meja-meja disini sudah terisi semua. Meja kami memang untuk 4 orang dan hanya kami berdua yang duduk disini.

“Oh iya mas boleh kok, silahkan,” jawab Marisa sambil bergeser duduknya ke sebelahku.

“Makasih ya mbak,” kata cowok itu, kemudian duduk di depanku.

“Iya mas sama-sama,” jawab kami bersamaan.

Hmm, cowok ini ganteng, orangnya tinggi, rapi, cukup putih untuk ukuran cowok, mungkin karena pekerjaan ya jadi penampilannya memang terlihat rapi dan menarik. Aku lihat ID cardnya, Tri Budi S.

“Oh iya, nama saya Budi, karyawan Bank sebelah,” ucap Mas Budi, sambil mengulurkan tangannya.

“Saya Ara mas,” jawabku sambil menyambut uluran tangannya.

“Saya Marisa mas,” sambung Marisa.

“Kalian mahasiswa sini ya?” tanya Mas Budi.

“Iya mas, jawabku singkat.

“Ambil apa?”

“Kami berdua ambil ekonomi mas,” jawab Marisa.

“Owh, saya juga alumni sini kok, dulu ambil ilkom,” kata Mas Budi.

“Wah serius mas? Kok anak ilkom bisa masuk Bank?” tanyaku.

“Ya kan di Bank pake komputer, makanya butuh anak ilkom, kalo pake mesin ketik ya butuhnya anak itik, haha,” jawab Mas Budi ngasal, yang kontan membuat kami bertiga ketawa.

Cukup lama kami bertiga ngobrol, sampai akhirnya Mas Budi harus kembali ke kantornya. Nggak kerasa ngobrol sama dia, orangnya humoris, wawasannya luas, pinter nyari bahan obrolan yang bikin kita nggak bosen ngobrol sama dia, udah gitu ganteng lagi orangnya, hehe. Kamipun sempat bertukar pin sebelum Mas Budi beranjak dari meja.

“Ara, ganteng banget ya Mas Budi, hihi,” kata Marisa.

“Hmm, gantengan mana sama si Surya?” jawabku.

“Yaa, Surya emang pacarku sih, tapi hati kecilku mengatakan Mas Budi lebih ganteng Ra, haha,” kata Marisa sambil ketawa.

“Aah bilangin Surya aah,” godaku.

“Ihh Ara, jangan dong, kamu tau sendiri si Surya cemburuan banget gitu,” seketika Marisa manyun menanggapi godaanku.

“Hahahaha, aduh sakit Saa, hahaha,” giliran aku yang ketawa lebar sambil dicubitin Marisa.

Iya, Mas Budi emang ganteng, dan kelihatannya juga baik orangnya, udah ada yang punya belum ya, hehe. Aku kok malah jadi kepikiran sama dia yaa.

“Hayoo senyum-senyum sendiri, ngebayangin dia yaa?” gantian Marisa malah godain aku.

“Ih apaan sih Saa, nggak kok aku nggak ngebayangin Mas Budi, weeek,” bantahku.

“Lhoh, siapa yang bilang Mas Budi? Aku kan nggak nyebut nama tadi. Ciee Ara mikirin Mas Budi ciee,” jawab Marisa yang langsung ngebuat aku salah tingkah.

“Ehh,, anu itu, ehmm kan kamu tadi lagi ngebahas Mas Budi,” jawabku agak gugup.

“Hahaha, mikirin Mas Budi juga nggak papa kali Ra, siapa tau masih single. Orangnya ganteng, udah mapan juga, cocok kok sama kamu Ra,” Marisa senyum-senyum ke aku.

“Hmm, udah ah Sa, balik yuk udah mau maghrib nih,” daripada makin digodain Marisa mending pulang aja deh.

“Hahaha, kok jadi salting gitu Ra? Beneran suka yaa sama Mas Budi?” tanya Marisa sambil pinggangku ditowel-towel sama dia.

“Haduuh Marisa ih geli tauu, malah nggodain terus deh, udah ah yuk pulang,” jawabku sambil menghindar.

“Hahaha, yaudah ayok pulang, biar bisa ngebayangin Mas Budi di rumah, sambil ntar chat ama dia yaa Ra, hehe,” tuh kan, masih aja ngegodain, “Udah sikat aja Ra, ganteng gitu kok, nggak rugi deh, aku dukung 100%, hehe.”

Haduh habis aku digodain terus sama Marisa, tapi kok malah aku kepikiran Mas Budi terus ya? Apa bener aku suka sama dia? Aku kepikiran terus sama dia, sama senyumnya, sama candaannya. Apa mungkin ini yang dinamain cinta pada pandangan pertama?

***

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel