Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9. Kecantikan yang Berbeda

POV Yuda

Ayah terlihat masih kurang sehat sejak peristiwa perampokan beberapa waktu lalu. Namun pria yang sudah berumur enam puluh tahun itu masih saja bersikeras ingin pergi mencari wanita  yang menolongnya.

"Sudahlah, Ayah. Wanita itu sudah aku beri uang banyak. Itu sudah lebih dari cukup."

"Enak saja kamu bicara! Bahkan kebaikannya tak bisa dinilai dengan apapun. Wanita itu telah menyelamatkan nyawaku!" tegas Ayah yang sedang bersandar pada sofa di ruang keluarga.

Rumah sebesar ini hanya aku dan Ayah serta beberapa pelayan yang tinggal di sini.

"Ayah terlalu berlebihan. Bukankah nyawa seseorang hanya Allah yang mengetahui."

"Yuda, andai waktu itu wanita itu tidak mau menolong Ayah. Entah apa yang akan terjadi pada Ayahmu ini. Coba kamu bayangkan!  Wanita itu mendorong gerobak sambil menggendong anaknya. Bahkan dia sampai berlari agar Ayah bisa segera tertolong." Lagi-lagi Ayah mengulang-ulang kembali kekagumannya pada wanita itu.

Aku jadi penasaran. Seperti apa wanita itu?

"Pokoknya kita harus cari wanita itu sampai ketemu!" tegas Ayah.

"Kalau sudah ketemu Ayah mau apa?" tanyaku penasaran.

"Aku akan angkat dia jadi anakku. Atau jika dia belum bersuami, Aku akan jadikan dia menantuku. Kamu akan beruntung mendapatkan istri berhati tulus seperti dia."

"Itu tidak mungkin, Ayah. Bukankah Ayah bilang dia sudah punya anak? Itu artinya dia sudah bersuami!. Jangan ngadi-ngadi deh Yaah!" sahutku asal, seraya berbaring pada salah satu sofa tak jauh dari tempat Ayah duduk.

Sementara itu, pria tua yang hobi nonton itu masih asik mengganti-ganti saluran televisi layar datar yang berada di hadapan kami.

"Dari pada perempuan yang sering bersamamu yang bernama Tania itu. Pakaiannya saja selalu kurang bahan. Sudah pasti akhlaqnya juga kurang."

Entahlah, sejak dulu Ayah memang tidak menyukai Tania. Wanita itu memang kerap memakai pakaian terbuka. Tania berasal dari keluarga yang terbiasa tinggal di amerika dengan budaya barat. Sampai saat ini memang dia wanita yang cukup dekat denganku.

"Besok Ayah akan kembali lagi ke puskesmas itu," lanjutnya lagi.

"Ayah masih belum sehat betul. Sebaiknya nanti saja!' saranku.

"Tidak. Pokoknya  besok Ayah harus kembali ke sana."

"Tapi besok aku nggak bisa antar, Yah. Ada meeting di kantor pusat."

"Ayah biar diantar supir saja."

"Terserah Ayah sajalah," sahutku, seraya beranjak menuju kamarku yang berada di lantai atas.

Aku membaringkan tubuhku pada ranjang berukuran kingsize. Menatap langit-langit yang berwarna putih.

Kembali aku teringat pada wanita penjual nasi itu. Entah kenapa wanita sederhana itu mampu memenuhi isi kepalaku dalam beberapa hari ini. Wanita itu terlihat istimewa di mataku. Kecantikannya sungguh berbeda. Tidak seperti para wanita aku kenal selama ini.

Sayangnya, menurut Haris, wanita itu telah bersuami dan memiliki seorang anak. Padahal  dia masih sangat muda dan kelihatan seperti masih gadis.

Aku menghela napas panjang. Lagi-lagi terbayang wajah juteknya. Dasar udah cantik. Jutek aja manis, apalagi kalau dia senyum. Pasti makin cantik.

Hmm ... aku jadi senyum-senyum sendiri membayangkan wanita itu.

.

.

.

Siang ini di proyek. Baru saja aku menutup panggilan ponsel dari salah satu relasi bisnisku di Amerika. Bisnis yang sangat penting hingga aku harus meluangkan waktu beberapa lama untuk membicarakan perkembangan kerjasama kami.

Tiba-tiba saja Aku mendengar keributan di luar kantor. Masalah apa lagi yang diciptakan oleh Tania? Suaranya terdengar hingga ke ruanganku. Apakah dia memarahi para pekerjaku lagi? Padahal sudah berkali-kali kutegur untuk tidak ikut campur dalam proyekku.

"Ada apa ribut-ribut?" tanyaku sambil membuka pintu.

Aku tertegun ketika mataku bertemu pada wajah oval wanita cantik berhijab itu.

Wanita si penjual nasi itu dengan cekatan mendorong gerobak sambil menggendong anaknya yang masih kecil. Sungguh luar biasa. Wanita yang kuat dan tak kenal lelah. Kekagumanku semakin bertambah padanya. Lagi-lagi debaran itu kurasakan saat menatap wajahnya yang cantik. Sepertinya wanita itu mulai menguasai hati dan pikiranku.

Astaga!  Kenapa aku jadi teringat dengan  cerita Ayah tentang wanita yang menolongnya?"

Apa jangan-jangan ... Ya Tuhan, Apa benar dia adalah wanita yang Ayah maksud?

"Sayang, ngapain ngeliatin perempuan kampung itu?" Aku tersentak saat Tania meraih pinggangku.

"Haris, ada apa dengan penjual nasi itu?" tanyaku penasaran

"Eh .. anu Tuan ...itu ...!" Haris gelagapan dan gugup.

"Bicara yang jelas! Lalu kenapa amplop itu masih berada ditanganmu? Kenapa tidak kamu berikan pada wanita itu?" tanyaku kesal.

"Aku yang mencegah Mandormu agar tidak memberikan uang itu!" sanggah Tania.

Sudah kuduga. Ternyata Tania memang membuat masalah lagi.

Aku membuang napas kasar karena kesal.

"Apa maumu, Tania?" Aku memandang Tiara dengan amarah tertahan. Sungguh aku tak tega dengan wanita tadi. Pasti Tiara sudah berbuat tidak baik padanya.

"Perempuan kampungan itu sikapnya tidak sopan padaku. Aku nggak suka!" Tania merajuk.

Karena kesal, aku tak hiraukan ocehan Tania selanjutnya.

"Haris, kejar wanita itu, berikan uangnya! Antar gerobaknya sampai ke tempat dia berjualan! Mulai besok, suruh saja salah satu pekerja untuk mengambil pesanan ke sana!"

Haris mengangguk dan langsung berlari menyusul perempuan penjual nasi itu.

"Yuda! Kamu lebih membela perempuan nggak jelas itu dari pada aku?" jerit Tania.

"Ini kantorku! Bukan urusanmu, Tania!" balasku seraya beranjak masuk kembali ke kantor.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel