Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8. Wanita Cantik di Proyek

Siang ini kembali aku mengantar lima puluh bungkus nasi rames ke proyek.

Seperti biasa aku membawanya dengan menggunakan gerobak bersama  Raihan yang juga berada di dalamnya. Bocah lucu itu sangat mengerti kesulitan yang aku hadapi. Anak itu justru senang berada dalam gerobak beserta beberapa mainannya. Sementara beberapa kantong plastik berisi puluhan nasi bungkus aku gantung pada tepi gerobak, agar tidak disentuh oleh Raihan.

Aku telah sampai di gerbang masuk proyek. Perlahan kudorong gerobak melewati beberapa pekerja yang istirahat. Kembali terlihat mobil mercy hitam milik Yuda  terparkir sempurna di depan kantor proyek. Semoga saja aku tidak bertemu dengan laki-laki itu. Entah mengapa, sejak kejadian di rumah ibu mertua beberapa hari yang lalu, tanpa kusadari, wajah tampan laki-laki itu selalu terbayang di benakku.

Pandangan mataku menelusuri sekitar para pekerja untuk mencari Mandor Haris, namun tidak terlihat sama sekali.

"Permisi ..., Mandor Haris kemana, Pak?" Aku mencoba bertanya pada salah satu pekerja.

"Nggak lihat, Neng. Coba masuk aja di dalam."

Apaa? Masuk ke dalam? Lalu ketemu Tuan Yuda?

Tidak!

Aku nggak mau ketemu pria itu lagi. Cara dia menatapku membuatku tak bisa tidur. Apa dia memang selalu seperti itu jika menatap wanita?

"Hei kenapa ada perempuan di sini? Siapa kamu?" Seorang wanita cantik dengan riasan wajah tebal memakai dress pendek tanpa lengan, keluar dari kantor proyek. Wajahnya yang angkuh memandangku dengan tatapan tak suka.

"Saya Salma, Bu. Mau bertemu Mandor Haris. Ini Nasi bungkus pesanannya,"Jawabku seraya  menunjuk  beberapa kantung nasi pada gerobakku.

"Ibu, ibu! Kamu pikir aku Ibumu? Panggil saya Nona!" sahutnya ketus.

Astaga! Wanita ini ...! Aku hanya bisa mengurut dada melihat sikapnya.

"Iy-iyaa, maaf, Nona. Mandor Harisnya apa ada di dalam, Nona?"

"Mana saya tahu kemana Mandor Haris. Kamu pikir saya siapa, ha?"

Ya Tuhan, wanita ini kenapa ketus sekali? Jelas aku tidak tahu siapa dia. Aneh.

"Biasa aja kali, Non. Saya kan cuma nanya," ujarku malas seraya memutar bola mataku.

"Hei perempuan miskin! Baru jadi tukang nasi bungkus saja sudah  kurang ajar kamu!" teriaknya.

Wanita tinggi berkulit putih itu menghampiriku seraya berkacak pinggang. Teriakannya membuat para pekerja menoleh pada kami.

Aku membuang napas kasar. Malas rasanya menghadapi orang-orang  seperti ini. Sebaiknya aku titipkan saja pada salah seorang pekerja di sini.

"Untuk apa kamu turunkan nasi-nasi itu?" tanya wanita itu seraya menaikkan alisnya dan mata melotot padaku.

"Saya mau titipkan saja pada Bapak ini, Nona," sahutku tanpa menoleh dan terus memberikan bungkusan-bungkusan itu pada mereka.

"Tidak usah! Bawa pulang saja lagi nasi-nasi itu. Dan mulai besok kamu nggak usah lagi antar nasi bungkus itu ke sini. Proyek ini tidak mau berlangganan dengan pedagang kurang ajar seperti kamu. Dasar orang miskin tidak sopan!"

"Nasi-nasi ini sudah dibayar, Nona. Mana mungkin saya bawa lagi," sahutku kesal.    Karena sikap  dan teriakan wanita itu, Raihan jadi ketakutan dan menangis.

Gegas aku meraih Raihan dari dalam gerobak dan menggendongnya.

"Sudah sana cepat pergi! Berisik, tau nggak!" bentaknya lagi membuat tangis Raihan semakin kencang.

Aku kesulitan mendiamkan tangis Raihan yang semakin keras. Anak ini terus mengamuk dan berkali-kali gendongannya terlepas.

Para pekerja melihatku dengan wajah serba salah dan bingung. Mungkin mereka hendak membantuku, namun takut pada wanita sombong itu.

Bagaimana caranya aku bisa kembali  membawa gerobak ini, sedangkan Raihan tidak bisa tenang. Untunglah aku membawa botol susu berisi ASI yang kadang aku siapkan untuk saat berjualan. Aku memang tidak bisa menyimpan stok ASI lebih banyak karena tidak punya pendingin.

Raihan pasti turut merasakan tidak terima dihina seperti ini. Perlahan-lahan akhirnya anakku itu berangsur tenang.

"Eh, Mbak Salma, maaf tadi saya diminta bos ke bank." tiba-tiba Mandor Haris masuk dari pintu gerbang. Dengan berlari kecil pria itu segera menghampiriku.

"Nasi bungkusnya sudah aku titip Bapak itu." ujarku sambil menunjuk pada salah satu pekerja. 

Mandor Haris mengangguk ramah.

"Baik mbak Salma. Terima kasih. Jangan lupa besok antar lima puluh bungkus lagi. Ini uangnya," sahut Mandor Haris sopan, sambil menyodorkan sebuah amplop padaku.

"Apa-apaan ini? Saya sudah cancel. Mulai besok jangan beli nasi bungkus sama perempuan kurang ajar ini lagi!" ketus perempuan berambut pendek tadi seraya menepis tanganku yang hendak meraih amplop itu.

Mandor Haris tampak bingung. berkali-kali pria itu memandangku dan wanita seksi itu secara bergantian.

"Ya sudahlah.  Aku permisi." Aku pamit seraya menggendong Raihan dan mulai mendorong gerobak. Tanpa mengambil amplop yang masih berada di tangan mandor Haris.

Untunglah Raihan sudah tenang dengan botol susunya.

Aku tak habis pikir dengan sikap wanita itu.

Dari penampilannya yang glamour, jelas dia adalah orang kaya harta yang seharusnya bisa membantu kaum lemah dan miskin sepertiku. Ternyata semakin banyak harta bisa menjadikan manusia semakin tidak berakhlak.

Aku mendorong gerobakku hingga sampai ke pintu gerbang. Tiba-tiba terdengar suara yang tak begitu asing di tekingaku.

"Ada apa ini ribut-ribut?"

Astaga! Akhirnya laki-laki itu keluar juga dari kantornya. Seketika saja jantungku berdegup dengan cepat.

Segera kupercepat mendorong gerobak dan keluar dari  proyek ini.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel