Bab. 13 Aku Harus Pergi
Bi Euis terlihat mondar-mandir di depan kamar Sari. Terlihat kecemasan yang terpancar dari raut wajahnya. Tidak lama kemudian ia melihat Tuan Adam yang datang sambil membopong tubuh istrinya.
Dengan segera Bi Euis membukakan pintu pintu kamar Sari seraya bertanya,
"Nyonya kenapa Tuan?"
"Pingsan Bi," jawab Tuan Adam sambil membawa tubuh Sari masuk dan merebahkan di atas kasur.
Bi Euis segera mengambil minyak kayu putih di atas meja. Lalu membalurkan ke pelipis dan hidung Sari agar cepat sadar.
"Bibi sudah panggil dokter?" tanya Tuan Adam dengan panik. Ia tidak menyangka Sari akan pingsan. Lelaki itu pun merasa bersalah sudah memaksakan kehendaknya tadi.
"Sudah Tuan, sepertinya dalam perjalanan," jawab Bi Euis mengira.
Sari belum juga sadarkan diri, sampai
Beberapa saat kemudian Kang Asep datang dan memberitahu, "Tuan, Bu dokter sudah datang."
"Suruh masuk Kang!" seru Tuan Adam dan berlalu keluar.
Tidak lama kemudian seorang dokter masuk ke kamar Sari dan segera memeriksa kondisi wanita itu. Tidak butuh waktu lama, dokter itu sudah dapat menyimpulkan apa yang terjadi dengan Sari.
Dengan diantar oleh Bi Euis, dokter itu menemui Tuan Adam untuk menyampaikan hasilnya.
"Istri saya sakit apa Dok?" tanya Tuan Adam ketika dokter sudah selesai memeriksa Sari.
"Istri Anda tidak sakit Pak, tetapi ibu sedang hamil," jawab dokter itu sambil tersenyum.
'Bagaikan petir di siang hari' Tuan Adam mendengar hal itu. Ia tidak tahu jika Sari sedang hamil. Jantungnya pun berdetak sangat cepat. Dengan wajah yang tegang, Tuan Adam pun berkata, "Tidak mungkin Dok, istri saya KB selama ini." Tuan Adam tidak percaya begitu saja.
"Memang secara logika itu mustahil, tetapi jika Allah sudah berkehendak apa yang tidak mungkin Pak," tutur Bu Dokter menjelaskan.
Setelah mendapat bayaran jasa, dokter itu pun segera pamit untuk pergi.
"Bagaiman mungkin Sari bisa hamil, Bi?” tanya Tuan Adam masih tidak percaya.
“Saya juga tidak tahu Tuan, Bibi tidak pernah telat untuk menyuntik Nyonya,” jawab Bi Euis dengan sangat yakin.
Tuan Adam tampak berpikir sejenak, ia percaya dengan kinerja Bi Euis karena para istri yang terdahulunya tidak ada satupun yang hamil. Namun, ia tidak menyangka jika Sari sampai bisa mengandung. Sungguh ia tidak siap menerima semua ini.
"Permisi Tuan, saya mau lihat keadaan Nyonya," pamit Bi Euis sambil berlalu dari hadapan Tuan Adam yang diam mematung.
"Bi, saya kenapa?" tanya Sari dengan bingung karena tiba-tiba ia berada di kamarnya.
“Neng tadi pingsan karena sedang hamil,” ujar Bi Euis memberitahu sambil memberikan wanita itu teh hangat.
Sari pun sangat terkejut mendengar hal itu. Lalu ia menoleh dan berkata, “Tidak mungkin.” Sari tidak percaya jika diranya sedang hamil.
Sama halnya dengan Sari, Bi Euis pun tidak menduga jika wanita itu bisa hamil. Namun, dari hasil test pack dan pemeriksaan dokter. Itu semua cukup untuk membuktikan.
“Neng memang sedang hamil, tadi dokter sudah datang,” jelas Bi Euis kembali.
Sari kemudian menyeruput minuman itu dan merasa lebih baik.
“Bagaimana bisa, Bibi kan tidak pernah telat menyuntik saya?” tanya Sari masih tidak percaya.
“Entahlah Neng, semua sudah kehendak-Nya,” jawab Bi Euis yang membuat Sari mengerti.
“Bagimana dengan Tuan Adam Bi?” tanya Sari terlihat takut.
“Kita berdoa saja, agar Tuan menerima anak itu!” jawab Bi Euis untuk menenangkan kegalauan hatinya.
Entah Sari harus senang atau sedih menerima kenyataan dirinya sedang hamil. Ia tampak mengelus perut di mana benih cintanya dengan Tuan Adam telah tumbuh.
Tidak lama kemudian Tuan Adam datang ke kamar Sari. Lelaki itu melihat istrinya dengan sinis. Tanpa senyum atau pun tatapan yang penuh dengan gairah lagi. Bahkan wajah Tuan Adam terlihat dingin dan acuh.
"Kamu harus pergi Sari!" serunya datar tanpa expresi sedikit pun.
"Apakah Tuan tidak menginginkan bayi ini?" tanya Sari dengan wajah yang penuh harap.
"Iya, aku tidak mengharapkan kehadiran anak itu," jawab Tuan Adam dengan tegas. "Kamu boleh membawa semua yang pernah aku kasih!" serunya lebih lanjut.
"Tapi Tuan, Neng Sari sedang hamil. Lebih baik tunggu sampai---"
"Tidak! Jangan ikut campur Bi!" potong Tuan Adam dengan lantang.
"Baiklah, jika itu mau Tuan. Saya akan pergi dari rumah ini," sahut Sari mulai berderai air mata.
Tanpa menoleh lagi, Tuan Adam segera keluar dari kamar Sari.
Sebagai seorang wanita yang dinikahi secara kontrak. Sari sudah siap dengan keputusan Tuan Adam, meskipun ia kini sedang berbadan dua. Mungkin ini sudah menjadi takdir hidupnya dan Sari ikhlas menerima semua itu.
Dengan dibantu Bi Euis Sari pun mempersiapkan dirinya untuk pergi dari rumah ini. Setelah mandi, ia segera memakai baju hangat dengan di padu rok bahan sebetis. Lalu menunaikan salat magrib yang sudah masuk waktunya.
"Ya Allah, lindungilah aku dan anak ini. Berikanlah Tuan Adam hidayahmu agar ia menyadari betapa besarnya cintaku padanya," doa Sari dalam derai air mata.
"Maafkan Sari ya Bi jika punya salah," pamit Sari sambil melipat mukenanya.
"Iya sama-sama, semoga Neng selalu dalam lindungan Allah," sahut Bi Euis sambil terisak dan mereka pun saling berpelukan erat.
Dengan diantar oleh Bi Euis sari segera menemui Tuan Adam. Tentu untuk mendengar kata talak dari lelaki itu. Sebentar lagi ia akan menjadi seorang janda. Soal anak yang dikandungnya biarlah bagaimana nanti.
Sungguh terasa berat bagi Sari pergi dari rumah ini. Tempat pertama kali ia menjadi seorang istri, serta di mana dirinya merasakan dan mendapatkan cinta meski cuma sesaat. Namun, kini semua harus berakhir karena ia sedang hamil. Salahkah ia jika diberi anugerah yang begitu besar. Di mana sebagian wanita mengharapkannya.
"Tuan, bolehkan saya mengantarkan Nyonya pulang ke rumahnya?" tanya Bi Euis sambil memegang tangan Sari dengan erat.
Tuan Adam tampak berdiri kokoh, sambil menatap mereka dengan tajam. Seolah seorang hakim yang siap memberikan keputusannya.
"Tidak Bi!” jawab Tuan Adam atas pertanyaan Bi Euis.
Tiba-tiba seseorang datang dan berucap, “Selamat malam Tuan, apa tugas yang harus saya kerjakan?” tanya lelaki itu kemudian.
Bi Euis dan Sari menoleh ke arah sumber suara dan mereka mengenal siapa orang itu yang tidak lain adalah Damar.
[Damar, mau apa dia ke sini?] tanya Bi Euis di dalam hati. Entah mengapa ia mempunyai firasat yang tidak baik melihat ke datangan lelaki itu.
Damar tersenyum melihat Sari dan sebuah tas di sampingnya. Ia pun mengira jika Tuan Adam sudah bosan dengan wanita itu. Pasti dirinya disuruh mengembalikan Sari ke rumah orangtuanya.
BERSAMBUNG