Bab. 11 Sari Sakit?
Tuan Adam tampak sudah bersiap untuk menyambut kedatangan istrinya di kamar. Ia berniat akan menggempur Sari habis-habisan sebelum keberangkatannya besok ke luar kota.
Namun, setelah menunggu beberapa lama. Sari tidak juga menunjukan kehadirannya. Sehingga membuat Tuan Adam tidak sabar. Kemudian ia pun segera pergi ke kamar istrinya.
Dengan perlahan Tuan Adam membuka pintu kamar Sari dan melangkah masuk nyaris tanpa suara. Ia melihat istrinya yang sedang tertidur. Seketika ular kobra lelaki itu langsung bangun. Seperti melihat mangsa yang tidak berdaya.
Tuan Adam yang sudah tidak sabar segera memeluk istrinya. Seketika Sari pun terjaga dan ia sangat terkejut melihat Tuan Adam sudah berada di atas tubuhnya.
"Tuan, kenapa ke sini?" tanya Sari ketika teringat seharusnya ia yang datang ke kamar suaminya.
"Kamu lama sekali," jawab Tuan Adam sambil mengelus pipi Sari dengan penuh gairah.
"Maaf saya ketiduran," ucap Sari, “Apakah Tuan menginginkannya di sini?” tanyanya kemudian.
“Iya,” jawab Tuan Adam lalu mendaratkan sebuah kecupan. Namun, tiba-tiba ia terdiam ketika merasakan bibir istrinya yang panas. "Kamu masih demam?" tanya Tuan Adam sambil menjauhkan wajahnya dari muka Sari.
"Tidak tahu Tuan, padahal saya sudah makan dan minum obat," jawab Sari dengan wajah yang masih sedikit pucat, "Tapi saya siap untuk melayani," ujar Sari sambil hendak membuka piyama suaminya.
Tuan Adam tampak menghembuskan nafasnya. Ia jadi ragu untuk menggauli Sari malam ini. Lalu ia pun berseru, "Tidak usah, kamu masih sakit!" cegah Tuan Adam sambil bangun dan merapikan piyamanya kembali. Terlihat kekecewaan yang terpancar dari sorot matanya. "Tidurlah!" seru lelaki itu.
"Baik Tuan," jawab Sari terlihat lega karena ia pun merasa masih lemas untuk melayani Tuan Adam yang sangat perkasa di atas ranjang. Wanita itu pun segera menyelimuti tubuhnya.
Tuan Adam terpaksa harus menahan hasratnya yang sudah menggebu. Ia tidak mungkin menggauli Sari yang masih sakit. Jika tetap dilakukan pasti dirinya tidak akan merasa puas, sungguh itu lebih menyiksa. Sepertinya ia harus bersabar, meskipun ular kobranya terus meronta.
"Sial," umpat Tuan Adam sambil
menutup pintu kamar Sari.
***
Sudah beberapa hari ini Tuan Adam tidak pulang karena sedang menangani sebuah tander di Kalimantan. Selama itu pula, kesehatan Sari belum membaik. Ia kini jadi mudah lemas dan pusing. Maka dari pada itu Sari sering menghabiskan waktunya di kamar. Agar jika suaminya kembali, ia sudah pulih seperti sedia kala.
“Bagaimana Neng, masih pusing?” tanya Bi Euis setelah mengerok punggung Sari dengan uang logam dan minyak kayu putih.
“Masih Bi,” jawab Sari sambil merasakan kepalanya yang pening. “sepertinya obat sakit kepala tidak ampuh, Bi!” sambungnya kemudian.
Bi Euis tampak berpikir sejenak, lalu ia pun berkata, "Neng sih, suka telat makan Jadi masuk angin terus deh."
"Iya mungkin Bi, habis kurang nafsu," sahut Sari yang tidak selera makan belakangan ini
"Ya harus dipaksakan dong! Nanti kalau Tuan pulang, Neng sudah sehat dan bisa bermesraan lagi," ledek Bi Euis sambil tersenyum.
Seketika Sari pun tersipu malu dan berkata, "Ih ... Bibi bisa saja."
"Ayo Neng makan dulu! Ni Bibi masak sayur asem dan ayam goreng," seru Bi Euis sambil menyodorkan sepiring nasi ke hadapan Sari.
Akhirnya Sari pun memaksakan diri untuk makan. Entah mengapa tiba-tiba Sari jadi lahab sekali. Bahkan ia minta nambah sayur asemnya.
"Hemm ... enak banget Bi sayur nya. Boleh Sari minta lagi?" tanya Sari sambil menyodorkan piring.
"Boleh Neng," sahut Bi Euis sambil memberikan semangkuk lagi sayur asem.
Lagi-lagi sayur itu pun habis terutama kuahnya.
[Aneh, kenapa Neng Sari doyan sekali sama sayur asem. Jangan-jangan ... mustahil,] gumam Bi Euis sambil menepis sesuatu yang tidak mungkin terjadi.
"Ni Neng, obat pusingnya," ujar Bi Euis sambil memberikan sebutir obat sakit kepala.
"Tidak usah Bi! Pusing kepala saya sudah mulai hilang," tolak Sari sambil berdiri ke arah jendela. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada pohon mangga yang sedang berbuah lebat. Seketika air liur Sari hendak menetes, "Bi, saya mau itu," pintanya sambil menunjuk.
Bi Euis segera memandang ke luar dan bertanya, "Neng mau rujak mangga menggkal?" Sari segera mengangguk tanpa ragu.
"Ya sudah sebentar bibi suruh Kang Asep petikkin," ujar Bi Euis sambil berlalu.
Beberapa saat kemudian, Bi Euis sudah kembali dengan membawa sepiring mangga yang sudah dipotong-potong dan semangkuk kecil sambel rujak.
"Ni Neng, tapi mangganya belum manis ya."
"Terima kasih Bi," ucap Sari dengan mata yang berbinar, "Seger," ujarnya ketika baru mencoba sepotong.
"Bibi, mau?" tanya Sari yang lupa menawarkan rujak mangga itu.
"Tidak, buat Neng saja," tolak Bi Euis sambil merasa ngilu karena ia tahu mangga itu sangat asam jika belum matang.
Dalam sekejap rujak mangga itu pun habis oleh Sari sendiri. Sambil menyeka peluh di pelipisnya Sari pun berkata, “Enak banget Bi, seger. Pusing kepala Sari langsung hilang.”
Deg!
Jantung Bi Euis tiba-tiba berdetak sangat cepat mendengar hal itu.
[Sari seperti wanita yang sedang hamil. Tapi itu tidak mungkin karena aku tidak pernah telat menyuntiknya,] gumam Bi Euis di dalam hati.
“Apakah Neng sudah datang bulan?” tanya Bi Euis memastikan.
“Semenjak disuntik Bi Euis, haid saya jadi sedikit kadang tidak datang bulan sama sekali,” jawab Sari ketika selesai makan rujak.
Bi Euis tampak terdiam, memang selama ini ia menyuntikan KB tiga bulan kepada Sari.
"Tuan kapan pulang ya, Bi?" tanya Sari yang tiba-tiba teringat dengan suaminya.
“Memang ketika Tuan pergi tidak bilang kapan mau pulangnya?” Bi Euis balik bertanya.
Sambil mnggeleng Sari pun menjawab, “Tidak, Tuan cuma bilang akan pulang secepatnya.”
"Ya sudah Neng tunggu saja! kalau begitu bibi mau cuci piring dulu ya!" pamit Bi Euis sambil merapikan piring bekas rujak.
"Bi, tolong bilang sama Kang Asep untuk ambilkan buah mangga lagi ya!" seru Sari yang dijawab anggukan oleh wanita paruh baya itu.
Bi Euis segera pergi meninggalkan Sari, lalu ia menuju tempat penyimpanan obat dan mencari sesuatu di dalam kotak itu. Tidak lama kemudian wanita paruh baya itu mengambil sebuah benda pipih seperti pulpen. Setelah itu Bi Euis kembali lagi menemui Sari.
“Neng, besok pagi ketika bangun tidur, tolong air ….” Bi Euis pun menjelaskan cara menggunakan alat itu.
“Baiklah Bi,” sahut sari sambil mengangguk tanda mengerti.
***
Azhan subuh berkumandang, Sari pun segera terbangun dari tidurnya. Ia segera mengerjakan apa yang telah disuruh oleh Bi Euis. Setelah itu, ia pun segera bergegas mengambil air wudhu dan menunaikan shalat subuh. Kemudian Sari keluar untuk mencari udara segar.
“Neng, bangun sudah siang!” seru Bi Euis sambil menyibak gorden dan membuka jendela kamar. “Bibi bawakan roti bakar dan wedang jahe, ayo sarapan dulu!” seru Bi Euis kembali.
Hening tidak ada sahutan, Bi Euis mengira jika Sari ada di kamar mandi. Jadi ia pun segera mendorong pintu toilet dan tidak terkunci. Tiba-tiba pandangannya tertuju kepada benda yang kemarin ia berikan kepada Sari dan segera mengambilnya.
Bi Euis tampak tercengang ketika benda itu berada di tangannya. Kepanikan dan rasa takut terpancar dari sorot matanya. Bi Euis terlihat mulai cemas. Memang secara logika itu mustahil terjadi, tetapi jika Allah sudah berkehendak. Maka tidak ada yang tidak mungkin.
"Tidak mungkin ...," ucap Bi Euis dengan tidak percaya. Ia pun segera bergegas mencari Sari.
BERSAMBUNG