7. Sentuhan Suami
"Bulek, tadi Pak Yahya pulang sebentar membawa seorang anak laki-laki berusia enam tahun. Siapakah dia, Lho?" tanya Andi.
"Laki-laki, usia enam tahun? Apa mungkin itu anak paman kamu yang bungsu, Andi, dimana dia saat ini?" tanyaku.
Andi belum sempat menjawab apa yang aku tanyakan, bukan karena dia tidak peduli melainkan karena dia sedang melayani pembeli. Aku menyadari tugasnya sebagai karyawanku, kutinggalkan Andi sendiri di warung melayani pembeli.
"Assalamualaikum!" salam kuucapkan saat membuka pintu. Hal ini sudah menjadi kebiasaanku agar rumah selalu memperoleh berkah.
Terdengar jawaban salam dari dalam kemudian muncul anak laki-laki yang berusia sekitar enam tahun. Anak itu pun berjalan menundukkan kepala, kemudian maju mendekat padaku. Tangan mungilnya terulur meminta barang bawaanku.
Aku diam menatap sosok itu mulai dari ujung kepala hingga ujung ibu jari kakinya. Hanya napas panjang perlahan yang bisa aku lakukan. Sungguh penampilan yang sangat dekil. Rasanya aku tidak sanggup untuk merawatnya. Entahlah, aku pun kembali belajar iklas.
"Umi, biar Abdul yang bawa barang itu. Kasihan adik bayi sepertinya tertekan oleh bawaan Umi." Anak itu berkata dengan nada sedikit bergetar, aku paham arti getaran pada suaranya.
Mungkin dia sedang takut padaku, seperti layaknya ibu tiri pada serial di tv. Ibu tiri pasti kejam, ringan tangan dan sering menyuruh. Namun, aku masih mampu berdiri dengan suara yang lirih khas suaraku. Anak itu masih mengulurkan tangannya menunggu apa yang aku katakan.
"Apa kabar, Abdul? Apa kamu sudah makan?" tanyaku.
Hening, anak itu hanya menggelengkan kepala. Entah apa yang ada di pikiran suamiku itu. Anaknya sendiri saja belum dikasih makan, apalagi yang lain. Apa seperti ini jika suami sedang tergila dengan wanita lain, lupa akan anak dan istri? Huft huuu.
"Beri hamba kesabaran ya Tuhanku!"
"Umi, jangan marahi Abdul ya!" lirih anak tiriku.
"Buat apa? Memangnya Abdul bikin salah apa hingga umi marah?" tanyaku.
"Abdul tadi minta Kak Andi uang untuk beli nasi pecel," ungkapnya lirih, aku seketika terhenyak.
Anak sekecil itu begitu peka akan perasaan yang serba salah. Aku berlalu masuk ke kamar, bukan berniat hendak meninggalkan dia tetapi lebih pada lelahku yang sejak datang belum duduk. Aku yang ada di dalam kamar mendengar suara dari luar, sepertinya suara dari Abdul. Kutajamkan pendengaranku.
"Umi, keluarlah! Ini Abdul sudah bikin teh hangat sebagai permintaan maafku," ucap Abdul.
Aku terharu, setelah kurebahkan tubuh mungil Zahra putriku aku pun beranjak dari ranjang. Kulihat Abdul berdiri di samping pintu kamarku yang terdapat meja makan. Anak tersebut masih menunduk sedih. Kutangkup wajahnya dan menaikkan agar aku bisa melihat sorot mata anak tersebut.
"Terima kasih atas teh nya, umu tidak marah. Wajar saja jika kamu minta uang untuk beli nasi. Bukankah Abdul sedang lapar saat itu?" ucapku lirih.
"Benar, Umi. Lain kali Abdul akan sering membantu Kak Andi dan Umi," jawabnya.
Kulepas tanganku, aku pun duduk di kursi sedangkan Abdul masih berdiri saja. Pandangan masih tertunduk. Aku mulai bertanya perihal semua kehidupannya sebelum dibawa oleh abahnya kemari. Abdul mulai bercerita padaku. Selama ini dia ikut kakak perempuan dari ibunya yang berkeyakinan beda.
Selama di sana, anak tersebut selalu dipekerjakan. Semua tugas kebersihan rumah seperti menyapu, mengepel dan mencuci alat makan yang kotor di pagi hari adalah tugasnya. Jika semua kerjaan itu belum selesai Abdul tidak dapat jatah makan. Namun, keadaan akan berbeda jika abahnya berkunjung ke rumah itu.
"Itulah garis besar kehidupan Abdul, Umi. Dengan alasan itulah, Abdul ingin membantu Umi," ungkapnya.
Ada sorot mata yang terluka pada Abdul, aku bisa merasakan kesakitan yang teramat sangat. Aku yang sudah sejak kecil hidup tanpa kasih sayang seorang ibu begitu terluka akan cerita anak itu. Sungguh tega sekali seorang wanita bahkan juga ibu bisa menekan jiwa anak sedemikian rupa.
Kuhembuskan napas kasar, lalu kutegul teh hangat buatan Abdul. Rasa hangat yang manis menyapa tenggorokanku. Kulihat lagi anak tiriku yang ke tiga itu. Dekil dan tampak tidak terurus. Aku beranjak dari dudukku, berjalan menuju almari di samping meja makan. Matanya menatap tumpukan lipatan baju, kucari handuk untuk kuberikan pada Abdul.
"Ini handuk untuk kamu mandi, kamar mandi di belakang sedangkan kamarmu di depan. Rawat dengan baik kesehatanmu, jika sempat umi akan masak. Namun, jika umi tidak sempat segera datangi umi untuk minta uang buat beli nasi pecel. Paham!" kataku lembut.
"Iya, Umi. Abdul paham, terima kasih. Abdul permisi, silahkan istirahatnya dilanjutkan!" ucap Abdul penuh sopan.
Setelah kepergian Abdul yang menuju ke arah warung, aku pun masuk kembali ke kamar hendak mengistirahatkan tubuhku yang lelah. Pandanganku melihat langit kamar, tiba-tibq melintas bayangan suamiku bersama gadis muda tadi. Sungguh aku tidak percaya akan penglihatan dan pendengaranku sendiri. Dia, suamiku lebih memilih gadis muda daripada istrinya yang telah berjuang melawan maut untuk melahirkan keturunannya.
Kedua tanganku mengepal, emosiku ingin meledak. Tetapi sebuah kilatan dosa melintas di pikiranku. Sungguh aku tidak berdaya. Hidup tidak nyaman mati pun segan. Bagai makan buah simalakama, aku harus kuat. Toh ini adalah rumah ayahku bukan harta suamiku.
"Kuat, kau harus kuat, Arini!" batinku.
"Lepas saja suami seperti itu, mumpung belum terlalu jauh kamu melangkah bersamanya," kata hatiku yang lain.
Aku terdiam hanya menimbang langkah apa yang harus aku ambil bila menghadapi masalah selingkuh. Suatu kisah yang mungkin hampir setiap wanita mengalami, diduakan bahkan dipoligami secara sak hukum agama dan negara. Aku menggembuskan napas kasar berulang-ulang.
"Harus iklas, dan berusaha sabar. Jaga lisan jangan sampai menguar!" lirihku.
Aku pun berusaha memejamkan maja. Dalam waktu beberapa menit, aku sudah berada di alam mimpi. Indahnya mimpi bersama Zahra selalu membuatku tersenyum. Tiba-tiba kurasakan ada sentuhan lembut yang menyapa bibirku. Begitu lembutnya hingga aku terlena. Aku tidak ingin membuka mata, aku takut jika ini hanya ilusi saja. Tetapi ....
"Arini, bangun yuuk! Sudah sore menjelang mahgrib lho," bisik suara yang aku kenal.
Perlahan aku membuka mata, yang pertama kulihat wajah suamiku yang begitu dekat. Ingin aku menyentak tubuh lelakiku itu, tetapi kembali teringat akan ceramah seorang ustadzah bahwa suami itu imam kita dan kita tidak boleh melawan. Iklas saja selama dia masih memberi nafkah lahir dan batin juga masih menjalankan ibadahnya.
Kuusap wajahku sebanyak tiga kali agar kesadaranku kembali. Kulihat Yahya mengangkat tubuh mungil Zahra dan mendekapnya penuh kasih. Dikumandangkan adan pada indera putrinya, aku terharu. Rasanya kecewaku perlahan luntur akan belaian kasihnya pada putriku.
"Sebaiknya kamu mandi dulu, biar Zahra bersamaku. Aku ingin berbicara serius denganmu, Arini!" kata Yahya padaku dengan nada sedikit datar dan dingin.
Tanpa membalas apa yang dia ucapkan aku berlalu begitu saja menuju almari pakaian. Setelah kuambil satu gamis, segera kutinggalkan dia bersama Zahra. Ketika aku keluar kulihat Abdul duduk bersila di depan televisi. Dia tersenyum sambil menganggukkan kepala seakan meminta ijinku untuk menyalakan televisi itu.
Aku yang mengerti akan arti pandangan dan senyuman Abdul hanya mengangguk saja. Kemudian kulihat jam sudah menunjukkan pukul empat sore pertanda jam kerja Andi sudah berakhir. Aku lebih memilih menuju ke warung ayam bakar daripada mandi. Sudah kepalang tanggung, lebih baik urusan karyawan aku dahulukan toh masa nifasku juga belum tuntas.
"Bulek, aku pulang dulu. Ini keseluhan hasil penjualan hari ini, ayam rebusan masih ada sisa 10 ekor," ungkap Andi dengan jelas padaku.
"Baik, ini upah untukmu selama satu minggu. Terima kasih!" balasku sambil kusodorkan uang kertas berwarna merah sebanyak lima lembar. Gaji dia selama satu minggu.
Kulihat Andi menatap uang yang aku sodorkan. Pemuda itu menghitung sesaat, lalu diangsurkan lagi satu lembar. Sepeertinya dia merasa kelebihan, tetapi aku menolaknya dengan halus. Cukup lama aku dan Andi saling menolak uang tersebut. Namun, dengan segala alasan yang masuk akal akhirnya ponakanku itu mau menerimanya.
"Iya sudah akan saya terima, Bulek. Terima kasih!" ucapnya sebelum dia pamit pulang padaku.
Aku hanya tersenyum dan membalas ucapan salamnya. Setelah kepergiannya, warung pun aku tutup. Aku hendak melanjutkan niatku untuk membersihkan diri. Abdul masih duduk menghadap televisi. Hanya sepuluh menit waktu yang kugunakan untuk mandi, setelah selesai aku pun kembali masuk ke kamar. Rupanya kehadiranku sudah ditunggu.
"Duduklah, Arini!" pinta Yahya.
Aku pun duduk di tepian ranjang, kemudian kuambil Zahra dari pangkuannya. Gadis kecilku terlihat lelap dalam tidurnya. Kulihat Yahya menggembuskan napas panjang, ada sesuatu yang mengganjal pada hatinya. Seakan suaranya tercekat di tenggorokan hingga yang keluar hanya udara tan suara. Akhirnya ...
"Hari ini aku akan jujur padamu, Arini," lirih Yahya, aku masih diam menyimak apa yang akan dia katakan sore ini.