Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6. Kelahiran

"Bagaimana ini, Bulek, apa perlu saya antar ke rumah sakit?" tanya Andi padaku.

Aku diam, mencoba berpikir untuk jalan keluar yang terbaik. Warung hanya ada aku dan Andi, maka aku harus berani mengambil keputusan yang terbaik. Akhirnya aku pun meminta Andi untuk memesabkan taksi yang akan membawaku ke rumah sakit milik pemerintah kota. Dengan berbekal surat jaminan kesehatan puskesmas atau biasa disebut Jamkesmas, jaminan ini bisa digunakan untuk kelahiran.

"Jika Bulek berangkat sendiri apa tidak apa?" tanya Andi dengan nada khawatir.

Aku tersenyum, kemudian kujelaskan jika semua keluar siapa yang akan menjaga rumah dan warung. Dengan alasan itu lah aku berbagi tugas dengan Andi, akhirnya Andi setuju dengan ideku itu. Taksi yang akan membawaku akhirnya datang, aku segera bersiap untuk berangkat. Andi membantuku memasukan beberapa barang yang aku bawa.

"Bulek nanti kabari Andi, Ya. Apalagi jika butuh sesuatu terutama duit buat pegangan," kaya Andi penuh rasa khawatir dengan keadaanku.

"Jangan khawatir, semua kebutuhanku sudah dicafer oleh pemkot," balasku mencoba mengurangi rasa khawatir Andi.

"Oya, jika paman kamu nanti pulang katakan saja jika aku sudah berangkat ke rumah sakit bersalin milik pemerintah kota. Dan jika hingga malam dia belum pulang, maka bulek mohon jaga rumah dan warung ini, Ya!" kataku penuh harap.

Andi mengangguk dan menutup pintu taksi untukku. Setelah semua tertutup barulah taksi itu meluncur meninggalkan rumahku menuju ke rumah sakit pemkot. Aku selalu melafalkan kalimat syahadat dan takbir, mengangungkan kebesaran Tuhanku. Sopir taksi membawaku dengan kecepatan pelan, sesekali dia menatapku melalui kaca.

Aku hanya mengulas senyum tipis jika mata kami saling bertabrakan. Sopir taksi itu kelihatan begitu ingin berbincang denganku, tetapi sepertinya dia menahan rasa ingin tahunya. Aku pun akhirnya memandang jalan raya untuk melupakan rasa nyeri yang terkadang datang menyapa. Perjalanan cukup lancar hingga dalam waktu 30 menit taksi sudah memasuki lobi rumah sakit.

"Bisa antar saya di ugd, Pak?" tanyaku.

Sopir taksi itu pun tidak menjawab pertanyaanku, dia langsung saja membelokkan kendaraannya menuju ke UGD. Setelah sampai segera dia berlarinke sisi pintu untuk aku keluar. Dibukanya pintu belakang taksi untukku.

"Terima kasih, Pak. Ini ongkos untuk semuanya," kataku sambil menyodorkan uang kertas berwarna merah.

"Ini terlalu banyak, Bu," kata sopir itu, aku pun tersenyum ramah.

"Tidak apa, Pak. Katena taksi Bapak lah aku sampai dengan selamat di sini," balasku.

"Semoga proses kelahirannya lancar dan selamat ibu juga bayinya," doa tulus sopir tersebut.

Aku pun tersenyum dan mengangguk sebagai ucapan terima kasih, kemudian aku melangkah menuju ke ruang pendaftaran. Semua kelengkapan syarat Jamkesmas sudah aku siapkan sehingga mempermudah proses aku mendapatkan ruang bersalin. Aku pun dibawa oleh perawat yang bernama Susi.

"Mari saya antar ke ruangan sementara, Bu!" ajak Susi yang aku baca dari papan nama yang tersemat di dada kanannya.

"Iya," jawabku sambil mengikuti langkah Mbak Susi.

Setelah sampai di ruang pemeriksaan aku pun disuruh untuk berbaring agar mudah untuk diperiksanya. Dengan telaten perawat itu melakukan pemeriksaan atas kondisi tubuhku. Mulai denyut jantung janin dalam kandungan hingga tensi darahku diperiksa dengan teliti.

"Bagus, Bu. Pertahankan kondisinya, ini baru bukaan lima," kata perawat tersebut.

Aku hanya mengangguk tanpa tahu arti bukaan lima. Yang aku tahu dan rasakan sakitnya perutku, ada sesuatu yang mendorong dalam perutku

Seakan dia ingin segera keluar

Aku pun mengikuti setiap hentakan yang di dalam perut. Semakin lama semakin terasa hentakan itu, aku makin cepat jarak mengejan.

"To-tolong, ini saya sudah tidak tahan!" ucapku sambil sesekali mengambil napas panjang.

Suaraku yang sedikit keras membuat dua orang segera masuk dalam ruangan dan dengan cepat melakukan pemeriksaan denyut jantung janin dalam perutku. Salah satu perawat itu keluar ruangan dan beberapa saat kemudian dia balik masuk dengan seorang dokter wanita.

"Bagaimana Diska, kondisi janinnya?" tanya dokter Clara, name tag yang berhasil aku baca.

Diska pun melepas alat diteksi jantung, kemudian menyiapkan sarung tangan dan alat yang lain. Dokter itu pun menerima sarung tangan yang diulurkan oleh Diska. Perawat itu tidak ada suara yang keluar dari mulutnya hanya semua tindakannya yang menjawab semua.

"Maafkan Diska ya, Bu. Dia seorang tuna wicara," kata sang dokter memberitahu padaku.

Aku terdiam, tetapi melihat senyum Diska akupun ikit tersenyum aku begitu terharu dengan cara kerja perawat itu yang begitu cekatan dalam menangani keluhanku. Dokter Clara pun segera bertindak, semua terasa cepat bagiku hingga beberapa saat sudah kudengar suara tangis bayi.

"Alhamdulillah," ucapku lirih.

"Selamat Bu, bayinya perempuan dan sehat!" kata Dokter Clara.

Aku tersenyum sambil melihat bayi merah yang ditenteng oleh sang dokter. Kaki anakku diangkat keatas dengan posisi kepala dibawah. Hal ini bertujuan agar semua cairan bisa keluar dari tubuhnya. Dan benar, cairan bening keluar dari mulut mungil itu. Aku menatap penuh haru akan sosok kecil itu.

"Terima kasih, Tuhan. Kau limpahkan semua rezekimu padaku hari ini dan seterusnya," doaku dalam hati.

Tiga hari aku berada di rumah sakit bersalin dan selama itu tidak tampak wajah suamiku datang menjenguk. Hanya Andi yang wara-wiri melihatku untuk menanyakan keperluanku yang habis. Aku terharu dengan perhatian ponakanku itu. Hingga di hari terakhir saat semua sudah siap dalam bagasi taksi, sosok itu lelaki yang sudah menjadi suamiku datang bersama seorang wanita yang lebih muda dari aku.

"Umi, kapan lahirannya?" tanya suamiku dengan wajah polosnya.

"Tiga hari yang lalu," jawabku datar.

"Adik perempuan atau lelaki?" tanyanya lagi.

Aku hanya menyibak selimut yang menutupi wajah putri kecilku itu. Senyum Yahya mengembang, jari telunjuknya menyusuri wajah putri kami. Dia begitu memuja wajah ayu dari bayi tersebut.

"Zaenab As Syari," lirih suamiku.

"Terima kasih atas pemberian namanya, aku pulang dulu. Sepertinya Abi lagi sibuk," ucapku datar sambil menyodorkan tanganku meminta uluran tangannya agar aku bisa mencium punggung tangan itu.

Yahya pun menyambut uluran tanganku, aku pun segera mencium punggung tangannya sebagai bukti baktiku pada suami. Sementara wanita muda yang berdiri di belakang Yahya menatapku sendu. Binar matanya yang tadi sempat berbinar kini meredup seketika saat aku melakukan ritual suami istri. Aku hanya melempar senyum tipis pada wanita itu.

"Umi hati-hati dijalan ya, abi masih harus mengantar Syila kontrol," kata suamiku.

Seketika sesak dadaku mendengar kalimatnya yang begitu perhatian pada wanita itu. Sungguh aku tidak mengerti apa yang ada dalam otak pria itu, hingga lebih memilih Syila daripada aku yang sudah sah secara hukum agama dan negara sebagai istrinya. Bagaimana aku tidak sakit hati melihat begitu lembutnya lelakiku memperlakukan wanitanya tersebut, sedangkan padaku.

"Ah, sudahlah. Mungkin dia hanya mengantar saja. Tunggu apa yang dia ungkapkan saat di rumah nanti," gumamku mencoba berpikir posistif akan perlakuan suamiku pada wanita muda tersebut.

Aku pun masuk dalam taksi dan memberi perintah pada sopir taksi untuk segera melaju ke alamat yang sudah aku katakan padanya. Taksi pun melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan rumah sakit itu dengan semua luka yang berhasil tertoreh dihatiku. Sakit memang sakit, mungkin inilah rasanya wanita yang dipoligami oleh suami.

Akhirnya taksi yang membawaku sampai di depan rumahku, kulihat Andi sibuk membakar ayam rupanya selama aku tinggal penjualan ayam bakar lancar dan tidak ada kendala. Aku sungguh berucap syukur pada Robbku yang selalu ada diberbagai keadaanku. Kupanggil ponakanku itu agar membantu aku dalam membawa beberapa barang bawaanku pasca persalinan.

Syukur selalu aku panjatkan pada karibaan pencipta, sungguh aku berusaha iklas memjalani semua tanpa banyak mengeluh. Wajar kan jika seorang istri mengeluh jika semua sudah tidak mampu menjalani seorang diri, pada siapa seorang istri mengeluh jika bukan pada suaminya selain pada Robbnya. Pada siapa aku berharap jika bukan pada suamiku selain Njunjunganku.

"Entah apa yang terjadi jika aku tanpamu, Putriku. Mungkin akan sepi apalagi semua kakak tirimu pergi ke pondok," keluhku sambil mendekap putriku.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel