Ringkasan
Sebuah keluarga yang mana istrinya bernama Arini, wanita yang sering di selingkuhi hingga suaminya nikah siri. Padahal semua usaha yang menghendle sang istri. Dengan mudahnya Yahya sang suami berbagi harta dan cinta pada wanita lain di belakang Arini. Mampukah Arini mempertahankan pernikahannya dan iklas jalani kehidupan bersama Yahya seorang duda beranak tiga?
1. Pernikahan
"Saya nikahkah dan kawinkan saudara dengan wanita bernama Arini binti Joesni dengan mas kawin uang sebesar seratus ribu rupiah."
"Saya terima nikah dan kawinnya wanita tersebut dengan mas kawin seratus ribu rupiah."
"Bagaimana para saksi, sah!" tanya Penghulu.
Sah!
Semua saksi dan beberapa tetanggaku segera menjawab pertanyaan penghulu. Dadaku berdetak lebih kencang, hari ini aku sudah resmi menjadi istri Yahya. Duda dengan anak tiga, perjalanan hidupku akan dimulai hari ini. Semoga saja sang pencinta selalu menyelamatkan dan memberi aku dengan berlimpah sabar dan iklas.
Semua acara berjalan dengan lancar tanpa hambatan. Pernikahanku sangat sederhana, hal ini aku pilih karena calon suamiku adalah orang biasa begitu pun keadaan orang tuaku. Aku hanya seorang wanita dengan kemampuan yang sederhana maka tidak layak jika harus menggelar sebuah acara yang diatas rata-rata. Hari ini aku harus siap menjalani kehidupan dengan suami beranak tiga.
Entah apa yang ada dalam otakku hingga saat di khitbah oleh pria itu aku langsung setuju. Iya, memang meski dia berusia jauh dari aku wajahnya masih terlihat muda dan tampan. Menurut cerita yang mengalir dari bibirnya, dia memiliki keturunan china. Hati ini bergetar, entah karena apa. Hal itu mungkin yang membuat aku inginkan dia menjadi imam dunia akherat.
"Assalamualaikum ya, Istriku!" sapa Yahya padaku.
Aku hanya menjawab dengan suara yang rendah dan menunduk. Perlahan sebuah tangan mendekat dan ujung jari telunjuknya menyentuh daguku. Aku begitu bergetar, gemuruh dalam dada tidak mau berhenti. Masih di sentuhnya ujung dagu saja genderang dalam dada sudah bertalu, apalagi nanti. Oh Tuhan, apa yang akan terjadi dengan tubuh ini.
"Ijinkan aku untuk membuka tabir penutup wajah ini?" pinta pria itu dengan nada lembut padaku.
Aku sekali lagi tidak mampu berucap. Hanya anggukan kepala yang kuperlihatkan. Bahkan seulas senyum pun tidak terbit di wajah yang sebentar lagi akan terkuak. Dengan lembut tangan yang kuning mulai menyentuh ujung cadarku, kemudian perlahan naik hingga pada pengaitnya. Dengan mengucap kata bismallah, maka dibukanya cadar penutup wajahku.
"Subhanallah, Cantik!" pujinya saat pertama kalu melihat wajahku.
"Begitu segar dan cantik!" sekali lagi dia memujiku membuatku melayang.
Baru kali ini aku mendapat pujian dari seorang lelaki setelah aku berhijrah. Iya, aku dulu adalah sama seperti yang lain tanpa hijab dan cadar. Hingga ada suatu peristiwa yang membuatku harus berhijrah dan hal itu mampu membuat hatiku tenang.
"Bolehkah!" ijinnya dengan lembut.
Kembali hanya anggukan yang aku berikan tanpa ada suara. Namun, belum selesai aku mengangguk ujung jari pria itu sudah berjalan menyusuri semua permukaan wajahku. Usapan demi usapan begitu mengalir dengan lembut. Hingga saat ujung jari itu berlabuh pada dua buah yang saling merapat, dia berhenti.
"Ini, begitu tipis dan lembut. Seakan dia memanggil agar segera disentuh. Bicaralah, aku ingin dengar suara dari istriku ini!" perintahnya.
"Jika memang sudah waktunya, maka aku serahkan semua yang ada padaku hanya Untukmu. Hanya satu pintaku, jaga dan rawatlah apa yang aku beri jangan pernah kau sia-siakan ataupun duakan. Jika masa itu terjadi, maafkan segala salahku!" ucapku lirih.
"Masya Allah. Sungguh indah suaramu, Istriku," balas Yahya dengan ujung jari yang masih bermain di sekitar bibir tipis nan ranum milikku.
Malam yang panjang kulalui dengan indah, malam pertama yang mampu membuat kenangan tidak bisa aku lupa. Malam itu semua berakhir dengan lembut, belaiannya juga semua aktifitasnya begitu membekas dalam relung jiwa. Yahya, suamiku itu sangat sulit untuk dilukiskan, tetapi yang pasti semua perlakuannya begitu lembut dan sopan.
Pagi hari pun tiba. Saat menjelang subuh, dibangunkannya aku penuh cinta. Hati ini seakan meleleh, aku pun bangun lalu membersihkan badan. Setelah semua siap, Yahya keluar rumah hendak berjamaah di masjid dekat rumah. Aku tersenyum dan bersyukur mendapat suami yang berahklak baik.
Hidup terus berjalan, berbagai masalah telah kami lewati bersama. Ketiga anak tiriku dimasukkan abahnya ke pondok. Kini yang tinggal di rumah hanya aku dan suami. Kami berdua saling bahu membahu bekerja sama dalam memperbaiki ekonomi. Suamiku mulai merintis kariernya sebagai pedagang, mulai dari dagang kerupuk warisan keluarganya.
"Bagaimana hasil pembuatan krupukku, Umi?" tanya suamiku. Iya, dia selalu membiasakan dirinya memanggilku dengan sebutan Umi dan aku memanggilnya abah.
Kuambil satu kerupuk untuk merasakan hasil buatan suamiku, "heem, pas dilidah. Gurihnya terasa," jawabku.
"Alhamdulillah," balasnya.
Hanya ketrampilan membuat kerupuk yang dimiliki oleh suamiku, dia termasuk lelaki yang sulit berfikir sebuah ide cemerlang. Sedangkan aku kembali kerutinitas pekerjaan yang akhir-akhir ini aku lakukan, yaitu ikut seorang penjahit. Setiap pagi selesai membantu suami mempersiapkan dagangannya, aku pun bersiap diri hendak ke tempatku bekerja.
"Umi, aku berangkat dulu. Hati-hati kamu berangkatnya. Semoga lancar!" pesannya padaku.
Aku pun melangkah mendekat padanya, kucium punggung tangannya. Kemudian kulepas keberangkatan suami dengan senyum dan doa semoga lancar jualannya. Setelah punggungnya sudah tidak tampak olehku, barulah aku melanjutkan aktifitasku. Semua sudah aku siapkan. Dari makan siang suamiku hingga teh untuknya. Biasanya suamiku pulang jika jam salat luhur tiba.
"Semua sepertinya sudah siap, makan siang, teh dan kopi. Rasanya cukup untuk siang hingga petang. Aku bisa berangkat sekarang, Assalamualaikum!" absenku pada seluruh benda yang aku tinggalkan untuk keperluan suami.
Ku kayuh sepeda onthel warisan ayahku, iya beliau sudah meninggal dunia sebulan setelah usia pernikahanku. Hanya sebuah rumah dan sepeda onthel yang beliau tinggalkan untukku. Rumah yang cukup luas untuk aku tinggali bersama suami. Dengan sedikit berdendang sesekali bersholawat, kukayuh sepeda hingga sejauh 2km.
"Baru sampai kamu, Arini?" tanya Santi teman kerjaku.
"Iya, San. Biasa menyiapkan semua keperluan suami dulu," jawabku.
"Semua kerjaan bagian kamu sudah aku taruk di meja biasanya. Tinggal kamu lenjutkan saja," ujar Santi dengan nada rendah.
Aku pun tersenyum menanggapi semua kalimatnya, Santi sangat peduli denganku. Apapun yang dia punya selalu berbagi denganku tanpa malu dan jijik. Aku sangat bersyukur atas semua perhatiannya selama ini. Aku segera melanglah menuju meja tempatku bekerja.
Perasaanku tiba-tiba tidak nyaman, entah apa yang terjadi. Perutku terasa sangat sakit, sejenak aku diam. Pandanganku menyapu seluruh ruangan berharap ada teman yang sedang lewat. Maklum mejaku berada sedikit di belakang sehingga jarang melihat lalu lalang karyawan lainnya.
Akhirnya aku terpaksa berjalan menuju ke luar ruangan, ku lihat Santi sedang berjalan sambil membawa beberapa lembar kain yang sudah dipotong. Sepertinya dia akan menuju ke ruanganku. Aku berusaha memanggil namanya agar dia segera melihat ke arahku. Namun, sesuatu terjadi padaku. Pandanganku mulai kabur, kurasakan ada air mengalir melalui paha dalamku.
"Arini!" teriak Santi yang sempat aku dengar sebelum aku jatuh pingsan.