Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Ada Mata-Mata

"Kau mengenalnya?" tanya Maya dengan wajah begitu berani pada Yuki yang malah memilih menunduk.

"Tidak! Duh! Ayo kita pergi saja, lagi pula kuliah kita sudah usai," bisik Yuki lalu buru-buru menarik tangan temannya dan bergegas menuju lapangan basket tempat biasanya Mike bermain.

"Kemana yang lain? Kenapa tempat ini jadi menyeramkan?"

"Tidak, Maya. Itu perasaanmu saja, kita memang datang di hari dimana tak banyak orang yang kuliah dan kita harus buru-buru sebelum hari hujan," tunjuk Yuki pada langit yang memang sudah beranjak gelap karena hari akan hujan.

Melihat gerbang sudah semakin dekat, Maya segera teringat pada Ray, supirnya yang berjanji akan menyusulnya setelah kuliah usai.

"Aku telepon supirku dulu," seru Maya lalu menunggu Ray menjawab panggilan teleponnya.

["Halo, Nona Maya,"] sapa Ray dengan nada bicaranya yang lirih namun begitu tegas.

"May, cepet! Itu dia!" tunjuk Yuki pada sosok yang sejak tadi memperhatikan mereka dengan mata elangnya yang begitu menakutkan.

"Kuliahku sudah usai, Pak Bambang tak mengajar. Bisakah kau susul aku sekarang?!"

["Ada yang salah? Aku dengar temanmu begitu ketakutan!"]

"Iya! Tolong! Cepat! Aku tak mau dia menyakitiku!"

["Oh, baik! Aku ada dekat kampusmu. Aku akan ke sana sekarang!] Ray lalu mematikan, panggilan teleponnya lalu berlari secepatnya karena dia tau nona mudanya sedang dalam keadaan yang tak baik.

Mendengar janji Ray, Maya mempercepat langkahnya menuju gerbang kampusnya dan berdiri dekat pos keamanan gerbang untuk memastikan sosok pria yang misterius itu tak mengganggunya.

"Kita tunggu dia di sini!" tegas Maya lalu memasang wajah cemas menunggu Ray tiba.

"Supirmu akan datang? Kau yakin?"

"Pasti!" tegas Maya meyakinkan temannya yang entah kenapa begitu ketakutan melihat sosok pria yang memang terus memperhatikan mereka.

"Nona!" panggil Ray dari kaca mobil yang dia turunkan perlahan. "Masuk!"

Tanpa menunggu, Maya segera membuka pintu mobil Innova yang dikendarai Ray lalu duduk di sisi kiri agar Ray bisa duduk di sebelahnya.

"Ada apa kalian terlihat begitu ketakutan?" tanya Ray yang langsung melaju.

"Itu!" tunjuk Yuki pada sosok pria yang malah berlari mengikuti mobil.

"Siapa dia?" tanya Ray mengerenyitkan keningnya.

"Ngak tau! Dia tuh sering banget ikuti kami!" adu Yuki masih dengan wajah ketakutannya.

"Hmmm! Aku akan mengingat wajahnya. Sekarang kau tenang saja, pria itu tak akan menyakiti kalian!"

Ray lalu mempercepat laju mobil hingga pria misterius itu tak bisa mengikuti mobil yang dia kendarai.

Mobil segera menuju sebuah kafe karena Maya mengaku jadi lapar karena rasa takut yang terjadi karena kehadiran pria asing itu.

Kafe yang dipilih Ray adalah sebuah kafe steak yang ada di Jalan Arjuna-Malang yang memang masih milik keluarga Maya Winata.

"Kau tau saja aku suka tempat ini," puji Maya saat Ray selesai memarkirkan mobil.

"Tentu saja aku,"

Maya lalu melangkah masuk ke dalam kafe dan duduk di pojok kafe, tempat yang paling dia sukai.

Matanya lalu melihat sekeliling kafe berharap ada pelayan yang akan menghampirinya dan segera membuatkan pesanan yang dia mau.

"Kenapa kafe ini jadi sepi?" bisik Maya setelah beberapa menit menunggu. "Mana pelayan dan pembeli yang biasa ramai?"

"Biar aku panggilkan!" ujar Ray lalu berinisiatif berjalan menuju kasir dan mengambil lembaran kertas berisi deretan menu makan siang yang dijual di tempat ini.

"Kau merasa ada yang aneh dengan tempat ini?" tanya Maya pada Ray saat supirnya mulai melangkah mendekatinya lagi.

"Iya, memang beberapa hari ini kabarnya pegawai di kafe milik ayahmu ada yang mulai di PHK."

"Astaga! Kok aku ngak tau," bisik Maya merasa iba atas kondisi perusahaan ayahnya yang baru dia dengar.

"Kau sabar, ya. Ini pasti tak akan lama," hibur Yuki lalu meraih kertas menu di tangan Maya dan mulai memilih menu apa yang akan dia santap siang ini.

"Aku mau steak ayam!" ujar Ray sebelum Maya menentukan makan siangnya.

"Kau ini tak sopan," bisik Maya lalu memesan menu yang sama dengan Ray.

"Kenapa tidak sopan? Bukannya kau memang tak pernah bisa cepat mengambil keputusan dan malah memilih menu yang sama dengan yang dipilih orang pertama yang memesan makanan," kekeh Ray seakan begitu mengenal kebiasaan nona mudanya itu.

"Mmm! Kau tau soal itu juga rupanya?" Yuki ikut terkekeh lalu mendorong bahu Maya yang masih tersipu karena perkataan Ray yang sangat tepat soal dirinya.

"Kenapa kau seolah menyetujui perkataan Ray?"

"Karena memang seperti itu adanya. Aku sejak tadi menunggu kau mengatakan pesananmu duluan tapi kau malah bingung,"

Mendengar perkataan Yuki yang senada dengan Ray, kepala Maya semakin dalam tertunduk. Dia segera sadar kelemahannya selama ini yang memang sangat tak disukai Mike yang akhirnya lebih memilih adik kembarnya ketimbang dirinya.

"Jangan sedih! Ayo!" Ray mengusap bahu Maya memberi semangat.

Usapan tangan Ray yang lembut membuat Maya cepat-cepat mengangkat wajahnya dan terseyum tipis.

"Iya, sudah usai! Aku memang tak berjodoh dengan Mike!"

Baru saja nama mantannya itu terucap dari bibirnya tiba-tiba sosok Mike terlihat berjalan masuk dengan Miya sambil bergandengan tangan.

Ih!

Maya tentu tak siap dengan pertemuannya dengan sang mantan apa lagi saat ini tangan Mike begitu lembut mengenggam tangan Miya yang kabarnya sedang berbadan dua itu.

"Kau jangan lihat! Kau jangan lihat!" cegah Yuki lalu berdiri tepat di depan wajah temannya agar tak melihat playboy kampus itu.

"Tidak! Biarkan saja! Aku tak mau membuang muka dari mereka, bisa mereka tau kalau aku tetap kuat meski ini sangat pahit!"

"Jangan nekat, Maya. Aku tau kau bisa berbuat gila jika sedang marah. Kau akan membakar tempat ini, kan?"

"Marah," bisik Maya yang kembali mendengar kekurangannya dari bibir temannya sendiri.

"Kau tak mau membakar tempat ini?"

"Kenapa aku harus membakar tempat ini?" tanya Maya tak mengerti.

"Apa kau lupa kalau dulu kau pernah menyuruhku membakar kostan teman kita karena teman kita memiliki selingkuhan?"

"Hah!" Maya memutar ingatannya dan merasa malu akan sikapnya yang tak bisa ditendalikan saat sedang marah.

"Jangan bilang kau lupa, ya? Kau itu pemarah dan sangat menakutkan kalau sedang marah!"

Maya mengangguk perlahan lalu menatap Ray yang masih duduk dengan tenang. "Tidak mungkin aku semarah itu sekarang!"

"Syukurlah!" Yuki bernafas lega lalu tersenyum simpul pada Maya. "Aku harap Miya tak membuatmu gelap mata lagi agar aku tak kerepotan karenannya,"

Baru saja Yuki berhenti berkata-kata, tiba-tiba Mike yang duduk menghadap ke meja tempat Maya dan temanny berada kemudian nampak menarik bahu Miya hingga mendarat ke bahunya yang tegap. "Kau bersandarlah di sini, aku tak mau kau kelelahan," bisik Mike dengan lembut.

Entah Mike sengaja atau tidak yang pasti tentu pemandangan ini membuat Maya mulai terbakar cemburu hingga wajahnya berubah merah padam.

Melihat Maya yang wajahnya merah padam, Yuki mulai meremas jemari Ray, berharap supir muda ini bisa menghentikan amarah Maya.

"Mereka kelewatan," bisik Maya lalu memejamkan matanya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel