Bab 7 Indah Meninggalkan Rahman
"Kukira setelah kejadian Aku menyeret Sulis di rumahnya itu Dia kapok, ternyata malah semakin menjadi. Sampai nekat menyusul Kamu ke Jakarta. Kamu itu, Mas … ibarat nyawamu itu nyawa ke dua, bukannya berubah dan tobat tapi kelakuanmu yang tidak pantas disebut manusia itu semakin menjadi. Kamu anggap Aku ini apa, Mas? Kalau saja Aku gak mau ngurus pengobatanmu ke Jakarta paling Kamu juga udah mati," tandas Indah.
Rahman diam mematung dan menundukkan kepalanya, tidak bisa menjawab perkataan Indah.
Saat Indah mau menarik kopernya ke luar kamar, Rahman menarik tangan Indah.
"Dek … Aku mohon! Kamu jangan pergi ya. Kalau Kamu pergi siapa yang akan mengurus Aku? Aku, kan belum benar-benar pulih, Dek." Rahman memohon dan menggenggam tangan Indah.
Indah menatap Rahman nyalang, dan mengibaskan tangannya yang di pegang Rahman.
"Emang, Kamu masih butuh Aku, Mas? Kenapa gak minta Sulis mengurusmu? Ku kira setelah kejadian di hotel, terus Aku meninggalkanmu, Dia bakalan merawatmu," ucap Indah.
Rahman hanya menunduk tidak ada jawaban sepatah kata pun. Kini yang ditarik bukan tangan Indah, melainkan koper Indah.
"Kamu ingat ya, Mas! Suami itu kalo sakit yang merawat pasti istrinya, gak bakalan selingkuhannya mau merawat! Camkan itu!" Indah menarik kopernya kasar, tanpa menghiraukan Rahman.
Indah merogoh ponselnya di dalam saku celananya, kemudian menelpon Andi.
Tut! Tut!
Lama sekali Andi tidak menjawab telepon Indah. Indah berkali-kali menelpon Andi lagi, panggilan ketiga Andi baru menjawab telpon Indah.
"Halo … jemput Aku sekarang An! Gak pakek lama ya!" ucap Indah.
"Halo, Kak. Iya, Sekarang juga aku langsung kesana, kebetulan aku juga di jalan ini," jawab Andi.
"Nanti gak usah masuk ke halaman rumah ya, kalau udah hampir sampai kabari Aku, biar Aku nunggu di pinggir jalan!" perintah Indah.
Indah sengaja mau menunggu di pinggir jalan, biar Andi tidak perlu memarkirkan mobilnya di halaman rumah Rahman. Karena Rahman sedang ada di rumah nanti Rahman pasti melarang Andi menjemput Indah.
Beberapa menit kemudian, Andi mengabarkan kalau sudah hampir sampai, kemudian Indah berjalan ke pinggir jalan.
Setelah Andi memutar balik mobilnya, indah langsung masuk ke dalam mobil, dan Andi langsung menancapkan gasnya, menuju ke rumah Ibunya.
Selama di dalam mobil Indah diam, hanya memainkan ponsel miliknya, tanpa berbicara sepatah kata pun kepada Andi. Andi tidak berani mengajak berbicara Indah, takut dibentak seperti kemarin.
Sesampainya di rumah Ibunya, Indah mengetuk pintu dan mengucap salam kemudian masuk ke dalam rumah, tanpa menunggu jawaban salam dari ibunya. Kebetulan rumahnya tidak terkunci.
Andi menurunkan koper Indah dan membawa masuk ke rumah tanpa menunggu perintah dari pemiliknya.
Sampai di dalam rumah dan melewati ruang keluarga, ternyata Ibunya sedang tidur di kasur lantai depan televisi. Indah menyusul Ibunya kemudian merebahkan diri di samping Ibunya dan memeluknya.
Bu Narti kaget dan terbangun, setelah melihat yang memeluk ternyata anak perempuannya itu, Bu Narti kemudian membalas pelukan dan melanjutkan tidurnya lagi.
Terdengar suara adzan ashar, Bu Narti dan Indah bangun. Mandi, kemudian melaksanakan shalat empat rakaatnya.
Selesai shalat Bu Narti membuat teh panas untuk dirinya dan Indah, sedangkan Andi dibuatkan kopi. Kemudian mereka berkumpul di ruang tengah menikmati minuman masing-masing dan makan cemilan sambil mengobrol.
"Nduk, kok Kamu kesini lagi, suamimu, kan masih masa pemulihan? Nanti siapa yang ngerawat?" ucap Bu Narti.
"Dia bisa sendiri kok, Bu. Biarin aja gak usah dipikirin, orang seperti itu pantas diberi pelajaran. Keenakan kalau terus-terusan dikasih hati, Bu," jawab Indah.
"Walau bagaimanapun Dia masih suamimu lho, Nduk. Nanti kalau terjadi hal buruk memangnya Kamu gak nyesel?" Bu Narti berkata sambil sesekali memasukkan cemilan ke dalam mulutnya.
"iya, Bu. Aku tau Mas Rahman masih suamiku, tapi Aku gak ada artinya di depan matanya, nyatanya Aku berusaha selalu Ada disaat Dia butuh, tapi sama sekali gak dihargai, Bu. Dia masih berhubungan dengan Sulis, Aku juga punya batas kesabaran, Bu," jawab Indah kemudian menyeruput tehnya.
Bu Narti terdiam, masih mencerna jawaban Indah.
"Bener juga sih, kalau sudah gak dihargai ngapain juga nungguin orang seperti itu," gumam Bu Narti.
"Aku mau tinggal di sini lagi. Apakah, Ibu merasa keberatan," ucap Indah.
"Gak, Nduk … Ibu gak keberatan, Ibu malah senang kalau Kamu mau di sini lagi, Ibu jadi ada temannya." Bu Narti menjawab dan mengelus bahu anaknya.
Karena asyik mengobrol tidak terasa ternyata jam sudah menunjukkan pukul 10.15 malam, mata Indah mulai ngantuk.
"Bu, Aku udah ngantuk, Aku ke kamar dulu ya. Ngobrolnya dilanjutin besok lagi aja ya, Bu?" ucap Indah.
"Iya, Nduk. Ibu juga udah ngantuk," jawab Bu Narti.
Mereka menuju kamar masing-masing.
?????
Terdengar suara adzan subuh. Indah bangun, mengambil wudhu dan melaksanakan kewajibannya shalat dua rakaat. Setelah itu membangunkan Ibunya. Kemudian menuju dapur membuat teh panas untuknya dan Ibunya, tidak lupa membuatkan secangkir kopi untuk Andi.
Pagi ini mereka berkumpul menikmati minuman di teras. Bu Narti melanjutkan obrolan semalam.
"Nduk … udah setahun lho Kamu berpisah rumah sama Rahman. Bagaimana kejelasan hubungan rumah tangga kalian?" ucap Bu Narti.
Setahun berlalu. Indah masih tinggal terpisah dengan Rahman. Selama Indah di rumah Ibunya, Rahman sering datang dan mengajak Indah pulang, tetapi Indah bersikukuh tetap tinggal di rumah Ibunya.
"Gak tau, Bu. Sepertinya Mas Rahman gak mau ngurus perceraian. Aku udah capek, pengen segera bercerai, tapi kalau bercerai sama PNS itu susah, Bu prosesnya lama. Sebenarnya bisa cepat perceraiannya kalau Aku mau melaporkan masalah ini ke kantor Mas Rahman, tapi Aku masih pikir-pikir lagi, Bu," terang Indah.
"Masih mikir apanya, Nduk?" tanya Bu Indah sambil sesekali menyeruput tehnya.
"Kalau Aku cuma melaporkan Mas Rahman aja keenakan Sulis, Bu. Nanti yang dipecat Mas Rahman aja, Sulis gak dipecat. Memang Aku harus melaporkan mereka berdua, biar sama-sama dipecat," terang Indah.
"Kemarin Mas Rahman, kan ke sini, Kak. Gak ditanyain perceraiannya udah diurus apa belum, gitu? Biar jelas status Kakak itu, udah digantung setahun lho …" sela Andi sambil sesekali menyeruput kopi dan menghisap rokoknya.
"Aku masih malas ngomong sama Mas Rahman, An. Kalo Dia kesini Aku cuma buatin kopi buat Dia, meskipun Aku menemani duduk di sofa, tapi aku gak pernah ngobrol," jawab Indah.
Ting!
Sedang asyik mengobrol tiba-tiba ada notifikasi pesan masuk di ponsel Indah. Indah meraih ponsel yang ditaruh di atas meja.
Indah langsung membuka pesan di aplikasi berwarna hijau, mata Indah terbelalak, ada pesan masuk dari nomor tidak dikenal.
