Pustaka
Bahasa Indonesia

Karena Selingkuh Suamiku Seperti Mayat Hidup

63.0K · Tamat
Rahma Fitriana
61
Bab
1.0K
View
8.0
Rating

Ringkasan

Rahman adalah suami Indah. Rahman seorang PNS yang sangat tampan dan mapan. Namun, kelakuannya tak setampan parasnya. Rahman sudah berkali-kali menikah dan berganti pasangan. Namun, pernikahannya tak bertahan lama, karena Rahman selingkuh. Akankah pernikahannya dengan Indah berujung perceraian, atau Indah tetap bertahan? Yuk mulai baca dan ikuti kisahnya, cerita ini terinspirasi dari kisah nyata lho, Kak,,,,

DewasaPerselingkuhanPengkhianatanKeluargaMenyedihkan

Bab 1 Awal Cerita

"Dasar pelakor, wanita murahan, sangat menjijikan. Wajahmu memang cantik, tapi sayang kelakuanmu tak secantik wajahmu," maki Indah. Memaki dan menyeret Sulis dari dalam rumahnya.

Indah berkacak pinggang sambil menyeret Sulis keluar dari rumahnya dan terus memaki, meluapkan emosinya. 

Sulis hanya terdiam tak berani menjawab sepatah kata pun, memang Dia salah. Sulis selingkuh dengan Rahman, suami Indah. Seorang PNS yang gagah dan tampan, tapi sayang kelakuannya tak setampan orangnya.

Tidak berhenti sampai di situ, sesampainya di luar rumah Indah masih menjambak rambut Sulis, rumah Sulis tepat di depan jalan raya, semua orang yang lewat matanya tertuju pada dua wanita yang sedang bertengkar.

"Dasar perempuan tak tau diri bisa-bisanya memasukkan suami orang ke dalam rumah, di saat suamimu tidak ada di rumah. Wanita apa Kamu itu? Ditinggal suami mencari nafkah, yang di rumah kelakuannya seperti binatang, tak pantas lagi disebut manusia!" maki Indah.

Suami Sulis, Dito bekerja sebagai pelayar, enam bulan sekali baru pulang. 

"Akan kulaporkan ke kantor tempatmu bekerja, biar Kamu dipecat secara tidak hormat!" geram Indah.

Sulis juga seorang PNS, bekerja di salah satu instansi pemerintah.

"Kamu pilih mana? Berhenti menggoda suamiku, apa berhenti sebagai PNS? Aku bisa saja melaporkan masalah ini, aku sudah punya banyak bukti. Semalam, Kamu memasukkan suamiku ke dalam rumahmu pun juga sudah Aku rekam!" sungut Indah.

"Sudah-sudah … jangan ribut! Malu dilihat banyak orang, sebaiknya Indah pulang saja," Mawar datang menenangkan, sambil mengelus lengan Indah.

Indah berjalan pulang menuju rumahnya, jarak rumah Indah sama Sulis memang tidak jauh, hanya berjarak beberapa rumah saja.

"Pagi-pagi begini, Kamu dari mana aja, Dek? Bukannya bikinin kopi sama sarapan!" sungut Rahman.

"Emangnya tadi kamu belum ngopi, Mas? Tadi di rumah selingkuhanmu gak dibuatin kopi?" celoteh Indah.

Rahman melotot, mulutnya menganga, mukanya berubah menjadi merah padam.

"Kamu ngomong apa sih, Dek?" sanggah Rahman.

"Halah … gak usah pura-pura bego, Mas. Kamu semalam kemana? Kamu ke rumah pelakor itu, kan? Tadi sebelum subuh, Kamu udah pulang." sungut Indah.

"Gak, kan semalam Aku tidur sama Kamu, Dek. Aku tidur di samping Kamu." sanggah Rahman.

"Gak usah ngelak, Mas! Kamu pikir Aku bodoh? Semalam Aku pura-pura tidur, saat Kamu keluar Aku membuntutimu. Aku punya buktinya, udah Aku rekam semua. Untung Aku gak memanggil warga buat menggerebek, Kamu. Aku masih punya rasa kasihan sama, Kamu." jawab Indah masih memasang muka sinisnya.

Indah tidak mau membuatkan kopi Rahman, Dia menuju ke kamar. Di kamar Indah mengemas pakaiannya dan memasukkan ke dalam koper. Indah mau pulang ke rumah orang tuanya.

"Kok pakaiannya dimasukin ke koper semua, Dek? Mau kemana?" Rahman menatap Indah sambil berdiri di depan pintu kamar. 

"Mau pulang ke rumah orang tuaku. Aku muak punya suami seperti, Kamu. Diam-diam menghianatiku, dengan tetangga pula. Dasar tak punya malu. Aku mau cerai aja, Mas!" tandas Indah.

"Apa? Kamu mau cerai dariku?" jawab Rahman.

"Iya. Lebih baik Aku hidup sendiri, daripada hidup sama suami sepertimu." Indah menjawab tanpa melihat ke arah Rahman.

"Jangan gegabah, Dek. Maafin Aku, Aku khilaf, aku janji gak akan mengulangi lagi, jangan minta cerai, Dek. Malu nanti sama tetangga." jawab Rahman.

"Apa katamu, Mas? Malu? Emang Kamu masih punya malu? Giliran udah ketangkap basah seperti ini Kamu baru ngomong malu. Saat kamu ngelakuin hal keji itu emangnya Kamu gak malu? Ups … , kan lagi ngerasain seneng-seneng ya, mana mikir akibatnya jadi seperti ini!" Indah menutup mulut dengan tangannya.

Indah meraih ponselnya di atas nakas, mencari kontak bernama Andi. Andi adalah adik kandung Indah. Setelah menemukan kontak  Andi kemudian Indah menekan layar bergambar gagang telepon berwarna hijau itu. 

Lama tidak ada jawaban. Indah mengulang panggilan lagi. Tiga kali mengulang panggilan akhirnya ada jawaban juga.

"Halo, Kak. Ada apa? Tumben Kakak menelponku."

Andi menjawab dari seberang telpon. 

"Jemput Kakak sekarang, bawa mobil, ya!"

Tiga puluh menit kemudian Andi datang, memarkirkan mobil di halaman rumah Pak Rahman. Andi bingung, kenapa Indah mendadak minta dijemput, sebenarnya ada masalah apa. Andi menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Assalamu'alaikum …" Andi mengetuk pintu mengucap salam.

"Walaikumsalam," jawab Indah dari dalam rumah, tangannya membuka handle pintu, menyuruh Andi masuk.

"An, barang-barang ini masukkan ke dalam mobil semua!" perintah Indah.

"Lho. Se—sebenarnya ada apa sih ini, Kak? Kok bawa barang sebanyak ini," ucap Andi.

"Sudah buruan masukin dulu barang-barangnya, jangan banyak tanya! Nanti Ku ceritakan semua kalau kita sudah sampai di rumah Ibu," jelas Indah.

Di dalam mobil Indah dan Andi tak berkata sepatah kata pun. Andi fokus mengendarai mobil.

Andi tiba di halaman rumah Ibunya dan memarkirkan mobilnya. Bu Narti, Ibunya Indah sudah berdiri di depan pintu, menyambut Indah. Indah berlari memeluk Ibunya sambil sesenggukan menahan air matanya agar tidak keluar.

"Ada apa, Nduk … kok tiba-tiba datang langsung nangis, datangnya juga sendirian, mana Suamimu?" tanya Bu Narti.

Indah masih diam, tidak menjawab pertanyaan Ibunya.

"Ayo masuk dulu, Nduk! Gak enak kalau ada tetangga yang melihat." Bu Narti merangkul Indah mengajak masuk ke dalam rumah.

Bu Narti ke dapur membuatkan teh panas untuk Indah, agar Indah lebih tenang.

"Minum dulu tehnya, Nduk! Biar lebih tenang, nanti kalau sudah tenang, Kamu bisa cerita sama, Ibu." Bu Narti mengelus lengan Indah.

"Aku mau nenangin diri dulu ke kamar ya, Bu! Aku tidur sebentar, kepalaku rasanya pusing sekali." pinta Indah. 

"Ya sudah, Nduk. Kamu tidur dulu," jawab Bu Narti.

An—Andi! Kamu dimana, Le? Bu Narti berteriak memanggil Andi.

"Ya, Bu. Ada apa?" Andi menjawab panggilan Bu Narti. 

Andi berjalan ke arah Bu Narti yang sedang duduk di kursi teras rumahnya, kemudian menarik kursi dan duduk di samping Bu Narti.

"Kakakmu kenapa, Le? Tadi udah cerita sama Kamu belum waktu di mobil?" tanya Bu Narti.

"Kakak belum cerita apa-apa bu, tadi aku tanya cuma dijawab, nanti Kakak akan cerita kalo udah sampe rumah Ibu, gitu aja sih, Bu," jawab Andi.

"Memangnya waktu Kamu menjemput Kakakmu tadi, Mas Rahman gak di rumah, Le?" tanya Bu Narti.

"Mas Rahman tidak ada, Bu. Sudah berangkat kerja mungkin, Bu," jawab Andi.

"Sebenarnya ada apa ya? Sepertinya kakakmu ada masalah besar, sampai semua barangnya pun di bawa ke sini," kata Bu Narti.

"Iya juga sih, Bu," jawab Andi.

Derttt! Derttt!

Tiba-tiba ponsel Ibu bergetar. Ternyata Rahman yang menelpon.

Bersambung …

Ikuti terus cerita selanjutnya, semakin seru lho, Kak,,,