5# Pertemuan Pertama
Hari itu terasa lebih berat dari biasanya bagi Alana. Ia sudah mempersiapkan mental sejak pagi, tapi rasa gugupnya tak kunjung hilang. Ketika bel pulang sekolah berbunyi, ia berjalan menuju ruang belajar yang terletak di lantai dua gedung sekolah dengan langkah ragu.
“Kenapa harus aku?” gumamnya, sambil membawa buku catatan dan kalkulator yang hampir tidak pernah ia gunakan.
Di depan pintu ruangan, ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, dan mencoba menenangkan pikirannya. Namun, rasa gugup itu tetap ada. Ia tahu ini adalah awal dari sesuatu yang baru, dan ia tidak yakin apakah itu akan berjalan baik atau buruk.
---
Ryan sudah berada di dalam ruang belajar. Ia duduk di salah satu meja panjang, dengan beberapa buku matematika dan laptop terbuka di depannya. Wajahnya seperti biasa—tenang dan serius.
Ketika pintu terbuka, Ryan melirik ke arah Alana yang masuk dengan langkah pelan. Ia mengenali gadis itu, tentu saja. Alana adalah tipe siswa yang sering dibicarakan guru karena nilainya yang rendah. Namun, Ryan tidak tahu banyak tentangnya, dan ia tidak yakin apakah ia bisa membantu.
“Eh, hai,” sapa Alana dengan nada ragu, berdiri di dekat meja.
“Hai,” balas Ryan singkat, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.
Alana merasa sedikit tersinggung. "Jadi... kita mulai dari mana?" tanyanya, mencoba mencairkan suasana.
Ryan menutup laptopnya dan melihat langsung ke arah Alana. “Kamu sudah bawa buku pelajaranmu?”
Alana mengangguk sambil menunjukkan buku catatan dan buku teksnya. Ia duduk di seberang Ryan, merasa sedikit terintimidasi oleh tatapan dinginnya.
---
Ryan membuka buku pelajaran dan langsung menuju ke salah satu topik yang menurutnya dasar. “Kita mulai dari persamaan linear. Kamu sudah paham konsep dasarnya?” tanyanya tanpa basa-basi.
Alana mengerutkan kening. “Persamaan linear? Maksudnya yang ada x dan y itu?”
Ryan mengangguk. “Iya. Kamu pernah mengerjakannya di kelas, kan?”
“Pernah sih, tapi... ya, aku nggak terlalu ngerti,” jawab Alana jujur.
Ryan menghela napas, mencoba bersabar. “Baik, kita mulai dari awal.”
Ia mulai menjelaskan konsep persamaan linear dengan suara tenang dan jelas, menggambar grafik sederhana di buku catatan. Namun, setiap kali ia bertanya kepada Alana apakah ia mengerti, gadis itu hanya mengangguk ragu atau memberikan jawaban yang tidak yakin.
---
Sementara itu, Alana merasa seperti otaknya penuh dengan angka-angka yang tidak masuk akal. Cara Ryan menjelaskan memang terstruktur, tetapi ia merasa ada jarak yang besar antara pengetahuan mereka.
“Kenapa sih ini susah banget?” gumam Alana akhirnya, meletakkan pensilnya dengan frustrasi.
Ryan menatapnya. “Susah karena kamu tidak mencoba memahami. Kamu harus lebih fokus.”
“Aku sudah mencoba, tapi ini memang bukan hal yang aku kuasai,” balas Alana dengan nada defensif.
“Kalau begitu, kamu harus lebih berusaha,” kata Ryan tegas.
Alana terdiam. Ia merasa tersudut, tetapi ia juga tahu Ryan tidak salah.
---
Setelah beberapa menit suasana canggung, Ryan melanjutkan penjelasannya. Namun, kali ini ia mencoba pendekatan yang berbeda.
“Kita coba dari hal yang lebih sederhana,” katanya sambil menggambar diagram baru. “Bayangkan kamu punya dua apel dan ingin menambahkannya dengan tiga apel lagi. Itu sama dengan persamaan ini. Mengerti?”
Alana mengangguk, mulai merasa sedikit lebih nyaman. “Oh, itu masuk akal.”
Ryan mengangguk pelan. “Bagus. Sekarang coba selesaikan soal ini.”
Ia memberikan sebuah soal sederhana, dan Alana mencoba menyelesaikannya dengan pensil. Meskipun jawabannya salah, Ryan memberikan umpan balik dengan tenang dan membantu memperbaikinya.
---
Namun, di balik sikap tenangnya, Ryan mulai merasa ragu. Ia melihat bahwa Alana tidak memiliki dasar yang kuat dalam matematika, dan itu membuat tugasnya sebagai tutor menjadi lebih sulit.
“Kenapa kamu tidak belajar lebih keras sebelumnya?” tanyanya tiba-tiba.
Alana menatapnya dengan kaget. “Aku sudah mencoba, tapi aku memang sulit mengerti. Lagipula, aku lebih suka menggambar daripada belajar matematika.”
“Jadi, kamu tidak punya motivasi untuk ini?” tanya Ryan, sedikit tajam.
Alana menggigit bibirnya, merasa terpojok. “Aku punya motivasi. Aku hanya... butuh waktu lebih.”
Ryan terdiam sejenak. Ia tidak ingin terdengar terlalu keras, tetapi ia juga merasa sulit memahami cara berpikir Alana.
---
Ketika waktu hampir habis, Ryan menutup buku pelajarannya dan melihat ke arah Alana. “Kita akan bertemu lagi lusa. Kamu harus mengerjakan latihan yang aku berikan,” katanya sambil menyerahkan selembar kertas dengan beberapa soal.
Alana mengambil kertas itu dengan enggan. “Baik,” jawabnya singkat.
Sebelum Alana pergi, Ryan menambahkan, “Aku tahu ini sulit untukmu, tapi kalau kamu tidak mencoba lebih keras, aku tidak bisa membantumu.”
Alana hanya mengangguk dan keluar dari ruangan.
---
Di koridor, Alana menghela napas panjang. Pertemuan pertama mereka terasa seperti perjuangan berat. Ryan mungkin jenius, tetapi ia terlalu serius dan kaku untuk selera Alana.
“Aku harus bisa membuktikan kalau aku bisa belajar,” gumamnya pelan, meskipun rasa ragu masih mengganjal di hatinya.
Di dalam ruang belajar, Ryan mengemasi buku-bukunya. Dalam pikirannya, ia bertanya-tanya apakah ia bisa benar-benar membantu Alana.
“Dia punya potensi, tapi dia harus mau bekerja lebih keras,” pikirnya.
Namun, jauh di lubuk hati, Ryan merasa sedikit tertantang. Mungkin ini adalah kesempatan baginya untuk belajar sesuatu yang baru—bukan tentang matematika, tetapi tentang cara memahami orang lain.
---