Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4# Alana dalam Masalah

Hari itu dimulai seperti biasa untuk Alana. Ia melangkah ke sekolah dengan langkah santai, menikmati sinar matahari pagi sambil mendengarkan musik favorit di earphone-nya. Namun, begitu ia masuk ke kelas, suasana hatinya langsung berubah.

“Alana, tugas matematika kamu mana?” suara tegas Bu Dinda, guru matematika, langsung menyambutnya.

Alana berhenti di depan meja guru, kebingungan. “Tugas? Oh, iya, Bu. Saya lupa mengumpulkan...” jawabnya dengan nada pelan, menyadari bahwa ia benar-benar lupa tentang tugas itu.

“Lupa lagi, Alana?” Bu Dinda memandangnya dengan tatapan kecewa. “Ini sudah yang kesekian kalinya kamu lupa atau terlambat mengumpulkan tugas. Kamu pikir sekolah ini tempat untuk bermain-main?”

Alana menunduk, merasa malu. Beberapa teman sekelasnya mulai berbisik-bisik, dan ia bisa merasakan tatapan mereka menusuk punggungnya.

“Maaf, Bu,” katanya akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar.

“Tapi maaf saja tidak cukup,” lanjut Bu Dinda. “Mulai minggu depan, kamu harus mengikuti program tambahan setelah sekolah untuk memperbaiki nilai matematika kamu. Dan kali ini, saya tidak ingin mendengar alasan.”

Alana mengangguk pelan, tidak punya pilihan lain. Ia kembali ke tempat duduknya, merasa semakin buruk.

---

Sepanjang pelajaran, Alana tidak bisa fokus. Pikirannya dipenuhi oleh rasa frustrasi. Matematika selalu menjadi mata pelajaran yang sulit baginya. Angka-angka dan rumus-rumus di papan tulis terlihat seperti teka-teki yang mustahil untuk dipecahkan.

“Kenapa harus ada matematika sih?” gumamnya pelan, cukup untuk didengar Lila yang duduk di sebelahnya.

Lila meliriknya dengan simpati. “Aku tahu ini sulit, Alana. Tapi kamu harus mencoba lebih keras. Kalau nggak, kamu bakal terus kena masalah.”

“Tapi aku nggak ngerti, Lila. Aku udah nyoba belajar, tapi otakku nggak bisa mencerna,” keluh Alana, menyerah.

Lila tidak tahu harus berkata apa. Ia tahu Alana bukan orang yang malas, tetapi matematika memang bukan bidang yang mudah baginya.

---

Ketika bel istirahat berbunyi, Alana dan Lila pergi ke kantin. Di sana, Alana menceritakan kekhawatirannya tentang program tambahan itu.

“Aku takut program tambahan ini cuma buang-buang waktu, Lila,” kata Alana sambil menyeruput jus jeruknya.

“Siapa tahu nggak seburuk itu,” jawab Lila mencoba menghibur. “Mungkin kamu bakal dapet tutor yang asyik atau teman-teman baru.”

“Tutor yang asyik?” Alana mendengus. “Aku bahkan nggak yakin ada orang yang mau ngajar aku tanpa kehilangan kesabaran.”

---

Setelah jam pelajaran terakhir selesai, Alana dipanggil ke ruang guru oleh Bu Dinda. Dengan langkah berat, ia memasuki ruangan itu, merasa seperti terdakwa yang sedang menunggu vonis hukuman.

“Duduk, Alana,” kata Bu Dinda sambil menunjuk kursi di depannya.

Alana duduk, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.

“Saya sudah berdiskusi dengan wali kelasmu, dan kami sepakat bahwa kamu memerlukan bimbingan lebih intensif untuk matematika. Karena itu, sekolah telah menugaskan seorang tutor untuk membantu kamu selama program tambahan ini,” jelas Bu Dinda.

Tutor? Alana merasa sedikit lega. Setidaknya, ia tidak akan menghadapi ini sendirian.

“Siapa tutornya, Bu?” tanyanya dengan nada penasaran.

Bu Dinda tersenyum tipis, seolah menyimpan kejutan. “Ryan Pratama.”

Alana terdiam. Nama itu begitu familiar, tetapi ia hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

“Ryan? Maksud Ibu, Ryan yang jenius itu?”

“Benar. Dia adalah salah satu siswa terbaik di sekolah ini, dan saya yakin dia bisa membantu kamu,” kata Bu Dinda dengan nada tegas.

Alana tidak tahu harus merasa senang atau panik. Di satu sisi, Ryan memang terkenal sebagai siswa yang sangat cerdas. Tetapi di sisi lain, ia tidak yakin bisa belajar dari seseorang yang hidupnya terasa begitu jauh berbeda dari dirinya.

“Alana, saya ingin kamu serius mengikuti program ini,” lanjut Bu Dinda. “Ryan sudah bersedia membantu, dan saya tidak ingin kamu menyia-nyiakan kesempatan ini.”

“Baik, Bu,” jawab Alana akhirnya, meski dalam hatinya masih ragu.

---

Saat perjalanan pulang, Alana menceritakan kabar itu kepada Lila.

“Ryan? Serius? Wah, kamu beruntung banget!” kata Lila dengan mata berbinar.

“Beruntung?” Alana mengerutkan dahi. “Aku nggak yakin bisa belajar dari dia. Dia itu kayak... alien! Hidupnya terlalu sempurna.”

“Tapi justru itu bagus, Alana. Dia pintar banget, dan kalau dia ngajarin kamu, mungkin kamu bakal mulai paham pelajaran,” kata Lila mencoba menyemangati.

“Tapi aku takut dia bakal nganggap aku bodoh,” gumam Alana pelan.

Lila menepuk bahu sahabatnya. “Kamu nggak bodoh, Alana. Kamu cuma perlu cara belajar yang cocok. Dan mungkin Ryan bisa bantu kamu nemuin itu.”

---

Di rumah, Alana mencoba mengalihkan pikirannya dengan menggambar di buku sketsa. Tetapi pikirannya terus melayang ke pertemuannya dengan Ryan minggu depan.

“Kenapa harus dia?” gumamnya pelan.

Ia merasa seperti ada jurang besar antara dirinya dan Ryan. Mereka hidup di dunia yang berbeda, dengan nilai-nilai dan prioritas yang sangat bertolak belakang.

Namun, di balik semua kecemasan itu, ada sedikit rasa penasaran. Bagaimana rasanya diajari oleh seseorang seperti Ryan? Apakah ia benar-benar bisa membantu?

Alana menatap hasil sketsanya—gambar seorang gadis kecil yang berdiri di depan tangga besar, mencoba mencapai puncak.

“Mungkin aku harus mencoba,” katanya akhirnya, membulatkan tekad.

---

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel