Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3# Dunia yang Berbeda

Suasana pagi di rumah Alana selalu sama—riuh, santai, dan sedikit kacau. Ibunya sibuk di dapur, menyiapkan sarapan dengan satu tangan sambil memegang ponsel dengan tangan lainnya. Adiknya, Alan, berlarian di ruang tamu sambil memainkan mobil-mobilan. Sementara itu, Alana, dengan santainya duduk di meja makan, mencocol roti tawar ke dalam susu cokelat hangat.

"Alana, kamu sudah belajar buat ulangan minggu depan?" tanya ibunya, melirik sebentar sambil mengaduk tumisan di wajan.

Alana mengangkat bahu. “Nanti aja, Bu. Masih seminggu lagi, kan?” jawabnya santai.

Ibunya hanya menghela napas, sudah terbiasa dengan sikap Alana yang selalu menunda-nunda. “Kalau kamu terus begini, jangan salahkan Ibu kalau nilaimu nggak bagus lagi.”

Alana tersenyum kecil, tidak terlalu memedulikan peringatan itu. Hidup baginya bukan soal angka atau nilai. Ia lebih suka menghabiskan waktunya dengan hal-hal yang ia nikmati—menggambar, mendengarkan musik, atau mengobrol dengan teman-temannya.

---

Sementara itu, di sisi lain kota, suasana pagi di rumah Ryan sangat berbeda. Rumahnya yang besar dan rapi nyaris tidak mengeluarkan suara kecuali dari dentingan sendok dan garpu di meja makan.

Ryan duduk dengan tenang, menikmati sarapan yang sudah disiapkan oleh asisten rumah tangga. Di depannya, ayahnya membaca koran sementara ibunya memeriksa email di laptop. Tidak ada obrolan santai atau candaan, hanya kesunyian yang penuh tekanan.

“Ryan, jangan lupa, nanti sore kita ada pertemuan dengan mentor olimpiade di kampus,” kata ayahnya tiba-tiba, memecah keheningan.

“Iya, Pak,” jawab Ryan singkat.

“Ibu dengar kamu diminta jadi tutor, ya?” tambah ibunya, tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptopnya.

Ryan mengangguk. “Iya, Bu. Mulai minggu depan.”

“Bagus. Itu bisa jadi tambahan poin untuk rekomendasi kuliahmu nanti,” kata ibunya sambil tersenyum tipis.

Ryan hanya mengangguk lagi. Segala sesuatu dalam hidupnya selalu dihitung dan direncanakan, termasuk tanggung jawab menjadi tutor ini.

---

Di sekolah, perbedaan antara Alana dan Ryan semakin jelas terlihat.

Alana berjalan ke kelas dengan langkah santai, berhenti sesekali untuk menyapa teman-temannya atau sekadar melihat-lihat papan pengumuman. Ketika sampai di kelas, ia langsung menghampiri Lila yang sudah sibuk membaca buku.

“Lila, liat ini!” kata Alana, menunjukkan sketsa gambar doodle yang baru saja ia buat di buku catatannya.

Lila hanya menggeleng pelan. “Kamu ini, bukannya belajar malah gambar terus. Nilai kamu kapan mau naik kalau begini?”

Alana tertawa kecil. “Ah, santai aja, Lila. Aku kan ada tutor sekarang. Pasti nilainya bakal naik!”

“Mudah-mudahan,” gumam Lila, meski dalam hati ia ragu apakah Alana benar-benar serius dengan tutor barunya.

Di sisi lain sekolah, Ryan baru saja selesai menghadiri rapat tim olimpiade. Wajahnya tetap dingin, bahkan ketika anggota tim lain berbicara antusias tentang strategi mereka untuk lomba mendatang.

“Ryan, kamu benar-benar luar biasa,” kata salah satu temannya. “Aku nggak tahu gimana tim ini bisa berhasil tanpa kamu.”

Ryan hanya mengangguk sopan tanpa banyak bicara. Bagi orang lain, komentar seperti itu adalah pujian. Tapi bagi Ryan, itu hanya tekanan tambahan.

---

Jam istirahat tiba, dan sekali lagi, dunia Alana dan Ryan terlihat seperti dua kutub yang berbeda.

Alana duduk di bawah pohon bersama Lila, mengobrol tentang drama Korea terbaru yang mereka tonton. Tawanya terdengar jelas, menarik perhatian beberapa siswa lain yang lewat.

“Kamu selalu terlihat bahagia, Alana,” komentar Lila sambil tersenyum.

“Kenapa nggak? Hidup ini kan cuma sekali. Kalau nggak dinikmati, rugi dong,” jawab Alana sambil menggigit roti isi yang ia beli dari kantin.

Di sisi lain, Ryan memilih untuk menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan, seperti biasanya. Di pojok ruangan yang sepi, ia membuka buku latihan matematika tingkat lanjutan dan mulai mengerjakan soal-soal.

“Ryan, kamu nggak bosan, ya, belajar terus?” tanya salah satu temannya yang kebetulan lewat.

Ryan mengangkat bahu. “Aku hanya melakukan apa yang perlu dilakukan,” jawabnya singkat sebelum kembali fokus pada bukunya.

---

Hari itu berlalu dengan cepat. Ketika bel pulang berbunyi, Alana keluar dari kelas dengan wajah riang. Ia berbicara dengan Lila tentang rencana mereka untuk pergi ke mal akhir pekan ini.

“Alana, jangan lupa, ya, minggu depan kamu mulai les dengan tutor,” kata Lila tiba-tiba, mengingatkan sahabatnya.

“Iya, iya, aku ingat kok. Nggak usah khawatir,” jawab Alana sambil tersenyum.

Di sisi lain sekolah, Ryan berjalan menuju ruang guru untuk mengambil beberapa dokumen yang diminta oleh Bu Widia. Ketika ia melewati koridor, beberapa siswa memandangnya dengan kekaguman.

“Itu Ryan, kan? Dia jenius banget,” bisik salah satu siswa.

“Iya, tapi kayaknya susah banget deketin dia. Dia terlalu serius,” jawab siswa lain.

Ryan mendengar bisikan itu, tetapi tidak bereaksi. Ia sudah terbiasa dengan komentar semacam itu.

---

Di rumah, Alana kembali menghabiskan waktunya dengan santai. Ia menggambar di buku sketsanya, mendengarkan lagu-lagu favoritnya, dan sesekali menonton video lucu di internet. Baginya, hidup tidak perlu terlalu serius.

Sebaliknya, Ryan kembali ke rutinitasnya yang ketat. Ia menghabiskan malamnya mengerjakan latihan soal, membaca materi tambahan, dan berdiskusi dengan ayahnya tentang strategi belajar untuk olimpiade mendatang.

Ketika malam tiba, keduanya duduk di kamar masing-masing, memikirkan hal yang sama—pertemuan mereka minggu depan.

Bagi Alana, pertemuan itu adalah awal dari sesuatu yang baru, sesuatu yang mungkin bisa membantu mengubah nasib akademiknya.

Bagi Ryan, itu adalah tugas tambahan yang mungkin akan mengganggu jadwalnya yang sudah padat.

Mereka tidak tahu bahwa pertemuan itu tidak hanya akan mengubah hidup Alana, tetapi juga hidup Ryan.

Dan mungkin, untuk pertama kalinya, dua dunia yang berbeda ini akan saling bersinggungan.

---

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel