Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2# Jenius yang Terisolasi

Ryan Pratama duduk di meja belajarnya, matanya terpaku pada buku fisika lanjutan yang bahkan mungkin tidak dikenal oleh sebagian besar siswa SMA. Di sekelilingnya, dinding kamarnya dipenuhi sertifikat dan medali yang tergantung rapi, masing-masing menandakan prestasi yang telah ia raih sejak kecil. Di meja lain, ada piala-piala emas berukir yang tertata dalam barisan sempurna.

Kehidupan Ryan adalah definisi kesempurnaan akademik. Bangun pukul lima pagi, membaca buku selama dua jam sebelum sekolah, menyelesaikan latihan soal olimpiade, lalu tidur pukul sepuluh malam. Jadwalnya tidak pernah meleset, seperti mesin yang dirancang untuk mencapai hasil terbaik.

Namun, meski hidupnya terlihat sempurna di mata orang lain, Ryan merasa kosong.

---

Di sekolah, Ryan dikenal sebagai legenda. Setiap guru memuji kecerdasannya, setiap siswa memandangnya dengan kekaguman, tetapi tidak banyak yang benar-benar mendekatinya. Ryan bukan tipe orang yang berbasa-basi atau membuang waktu untuk hal-hal yang ia anggap tidak penting. Jika bukan tentang pelajaran atau sesuatu yang berkaitan dengan ambisinya, Ryan lebih memilih menyendiri.

Saat itu jam istirahat, dan seperti biasa, Ryan duduk sendirian di pojok perpustakaan. Buku biologi molekuler ada di tangannya, sementara murid-murid lain sibuk bercanda di kantin atau bermain bola di lapangan.

“Ryan, ikut makan bareng kita, dong!” ajakan itu datang dari salah satu teman sekelasnya, tetapi Ryan hanya mengangkat tangan sedikit, menolak tanpa benar-benar menatap mereka.

Ia tahu mereka tulus, tetapi ia juga tahu apa yang akan terjadi jika ia bergabung. Obrolan mereka akan terasa tidak relevan baginya, dan ia akan menghabiskan waktu dengan rasa canggung.

“Aku nggak butuh mereka,” gumamnya pelan, meyakinkan dirinya sendiri.

---

Ryan lahir dalam keluarga yang penuh ambisi. Ayahnya adalah seorang dokter spesialis yang terkenal, sedangkan ibunya adalah dosen di universitas ternama. Sejak kecil, Ryan telah dibentuk untuk menjadi yang terbaik. Kegagalan bukanlah pilihan dalam kamus keluarganya. Jika ia membawa pulang nilai 98, orang tuanya akan bertanya, “Kenapa tidak 100?”

Dorongan ini membuat Ryan menjadi siswa yang disiplin dan teladan, tetapi sekaligus menjauhkannya dari kehidupan sosial. Ia tahu banyak siswa mengaguminya, tetapi ia juga tahu tidak ada yang benar-benar mengenalnya.

Di rumah, Ryan lebih sering berbicara dengan buku dan laptopnya dibandingkan dengan keluarganya sendiri. Ia jarang tertawa, jarang bersenang-senang, dan lebih sering merasa lelah meski tubuhnya tampak sempurna secara fisik.

---

Hari itu, setelah jam pelajaran terakhir selesai, Ryan dipanggil oleh wali kelasnya, Bu Widia. Ia melangkah ke ruang guru dengan rasa penasaran. Biasanya, ia hanya dipanggil untuk hal-hal terkait kompetisi atau penghargaan.

“Ryan, duduklah,” kata Bu Widia, tersenyum tipis saat ia masuk.

Ryan menurut, duduk tegak di kursi seolah sedang menghadapi wawancara formal. “Ada yang bisa saya bantu, Bu?” tanyanya sopan.

Bu Widia menghela napas pelan sebelum menjelaskan, “Seperti yang kamu tahu, sekolah kita sangat peduli dengan prestasi siswa. Tapi ada beberapa siswa yang kesulitan di bidang akademik, dan salah satu siswa tersebut membutuhkan bantuan.”

Ryan mengerutkan dahi, belum sepenuhnya paham arah pembicaraan ini. “Maksud Ibu?”

“Saya ingin kamu menjadi tutor bagi seorang siswa. Dia sangat kesulitan di mata pelajaran seperti matematika dan fisika. Kamu adalah salah satu siswa terbaik di sekolah ini, dan saya yakin kamu bisa membantunya,” jelas Bu Widia.

Ryan terdiam sejenak. Tutor? Ia sudah cukup sibuk dengan jadwal belajarnya sendiri. Waktu adalah aset berharga baginya, dan ia tidak yakin ingin membaginya untuk mengajari orang lain.

“Bu, saya tidak bermaksud menolak, tapi waktu saya cukup terbatas. Saya harus mempersiapkan olimpiade dan...,” kata Ryan dengan nada hati-hati.

“Saya mengerti, Ryan,” potong Bu Widia. “Tapi ini juga bagian dari pembelajaran. Menjadi pintar itu penting, tetapi membantu orang lain adalah hal yang lebih penting. Saya pikir pengalaman ini bisa memberikan pelajaran berharga bagi kamu.”

Ryan tidak bisa membantah. Ia tahu Bu Widia tidak akan memaksa jika ia benar-benar menolak, tetapi kata-kata gurunya itu mengingatkan bahwa kecerdasan tidak hanya tentang nilai dan prestasi pribadi.

“Baiklah, Bu,” katanya akhirnya. “Siapa siswa yang akan saya bantu?”

Bu Widia tersenyum puas. “Namanya Alana. Dia ada di kelas 11B, sama seperti kamu. Tapi dia punya kesulitan besar di bidang akademik, terutama matematika. Saya akan mengatur jadwal agar kamu bisa mulai membantunya minggu depan.”

Ryan mencoba mengingat siapa Alana, tetapi nama itu terdengar asing baginya. Ia tidak pernah benar-benar memperhatikan teman-temannya di luar lingkaran akademiknya.

“Baik, Bu,” jawabnya singkat.

Setelah percakapan selesai, Ryan berjalan keluar dari ruang guru. Pikirannya dipenuhi oleh perasaan campur aduk.

Siapa Alana ini? Apakah dia benar-benar sulit diajar? Bagaimana ini akan memengaruhi jadwalnya?

Namun, di balik semua itu, ada perasaan kecil yang tak terduga. Mungkin, hanya mungkin, ini adalah kesempatan untuk keluar dari rutinitasnya yang monoton.

---

Sore itu, Ryan pulang ke rumah seperti biasa, membawa buku-bukunya yang tebal dan tas yang rapi. Ibunya sedang duduk di ruang tamu, membaca jurnal ilmiah.

“Kamu dipanggil wali kelas hari ini?” tanya ibunya tanpa menoleh.

“Iya, Bu. Saya diminta menjadi tutor untuk seorang siswa,” jawab Ryan, suaranya datar.

Ibunya mengangguk sedikit, tetapi tidak terlalu memperhatikan. “Jangan biarkan itu mengganggu persiapan olimpiademu.”

“Tidak, Bu,” jawab Ryan singkat sebelum menuju kamarnya.

Di dalam kamar, Ryan meletakkan tasnya di meja dan menatap buku-buku di depannya. Biasanya, saat ini ia sudah tenggelam dalam belajar. Tapi kali ini, pikirannya melayang ke sosok yang tidak ia kenal—Alana.

“Apa aku benar-benar bisa membantu seseorang seperti dia?” pikirnya.

---

Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa untuk Ryan. Ia tetap menjadi siswa teladan yang selalu fokus pada pelajaran. Tetapi setiap kali ia bertemu wali kelasnya di lorong, Bu Widia selalu mengingatkannya tentang tanggung jawabnya yang baru.

“Apa kamu sudah mempersiapkan rencana untuk membantu Alana?” tanya Bu Widia suatu hari.

Ryan hanya mengangguk. Ia tidak ingin mengecewakan gurunya, tetapi ia juga tidak yakin apa yang harus ia lakukan. Mengajarkan sesuatu kepada orang lain adalah hal yang baru baginya.

---

Ryan sudah menerima jadwal resmi untuk pertemuan pertamanya dengan Alana. Jadwal itu tertulis rapi di buku catatan yang selalu ia bawa.

Ryan menatap jadwal itu dengan campuran rasa penasaran dan kecemasan.

“Minggu depan,” gumamnya pelan. “Minggu depan hidupku akan sedikit berubah.”

---

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel