1# Hari Biasa Alana
Alana memeluk bantal dengan erat, mencoba menghalangi suara alarm yang berdengung di sebelah tempat tidurnya. Waktu menunjukkan pukul 06.15, tetapi ia masih terlalu enggan untuk bangun. Alarm terus berbunyi, semakin nyaring seiring waktu, hingga akhirnya Alana meraba-raba meja kecil di samping tempat tidurnya untuk mematikannya.
Lima belas menit kemudian, suara notifikasi ponsel Alana berbunyi. Pesan dari Lila, sahabatnya, masuk dengan nada penuh peringatan:
**“Alana, bangun! Jangan telat lagi, ya. Aku nggak mau lihat kamu dihukum Bu Widia untuk yang kesekian kali.”**
Alana menghela napas panjang sambil melirik jam dinding. Matanya membelalak. “Ya ampun, udah setengah tujuh!” serunya panik.
Dengan kecepatan penuh, ia melompat dari tempat tidur, menarik seragam yang tergantung di balik pintu, dan berlari ke kamar mandi. Sarapan jelas bukan prioritas—ia bahkan menyikat gigi sambil berdiri di bawah pancuran air, berharap bisa selesai lebih cepat.
Sepuluh menit kemudian, Alana berlari keluar rumah, membawa tas yang isinya hanya beberapa buku dan kotak pensil. Ia nyaris tidak memperhatikan jalan di depannya, hingga ia hampir menabrak penjual gorengan di sudut gang. “Maaf, Pak! Nggak sengaja!” teriaknya tanpa menoleh.
Di sekolah, suasana kelas 11B sudah ramai. Beberapa siswa mengobrol dengan riang, sementara yang lain sibuk membuka buku untuk mempersiapkan kuis matematika pagi itu. Alana tiba di depan pintu kelas dengan napas terengah-engah, berharap ia tidak dianggap terlambat.
“Lila! Aku nggak terlambat, kan?” tanyanya dengan suara sedikit panik.
Lila, yang duduk di meja depan, menoleh sambil tersenyum kecil. “Nggak terlambat. Tapi kamu nyaris, seperti biasa,” jawabnya, sambil menunjuk tempat duduk Alana yang masih kosong.
Alana menghela napas lega, lalu duduk di kursinya. Tapi lega itu tidak berlangsung lama ketika ia mendengar Lila berkata, “Kamu tahu, kan, kalau kita ada kuis matematika hari ini?”
“Apa?! Kuis matematika? Kenapa aku nggak tahu?” Alana bertanya dengan mata membesar.
Lila hanya menggelengkan kepala. “Kamu nggak dengar waktu Bu Widia bilang minggu lalu, ya?”
“Ya... kayaknya aku lupa,” jawab Alana dengan nada lemah. Dalam hati, ia sudah pasrah pada nasibnya hari ini.
Ketika bel berbunyi, kelas mendadak hening. Bu Widia masuk dengan tumpukan kertas di tangannya. Alana hanya bisa menatap dengan rasa takut yang sulit ia sembunyikan. Guru matematika itu mulai membagikan lembar soal kuis, memberikan instruksi singkat, lalu memulai waktu pengerjaan.
Di sekitar Alana, teman-temannya terlihat serius mengerjakan soal. Tapi Alana? Ia hanya bisa menatap soal-soal itu dengan ekspresi bingung. Angka-angka di atas kertas terlihat seperti teka-teki yang tidak bisa ia pecahkan. Setelah beberapa menit mencoba menghitung, ia menyerah dan mulai menggambar di sudut kertasnya.
“Setidaknya aku nggak akan merasa terlalu bosan,” gumamnya sambil membuat doodle seekor kucing dengan kacamata.
Ketika waktu habis, Bu Widia berjalan mengelilingi kelas, mengumpulkan kertas jawaban satu per satu. Ketika ia sampai di meja Alana, ia berhenti dan memandang doodle di kertas itu dengan alis terangkat.
“Alana,” kata Bu Widia dengan nada serius. “Ini kuis matematika, bukan kelas seni. Kenapa kamu selalu begini?”
Alana hanya tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan rasa malunya. “Maaf, Bu. Saya akan mencoba lebih baik lain kali.”
Bu Widia menggeleng pelan sebelum melanjutkan mengumpulkan kertas dari siswa lain.
---
Istirahat tiba, dan Alana duduk di bawah pohon besar di taman sekolah bersama Lila. Sambil membuka bekalnya, Lila menatap Alana dengan pandangan penuh keprihatinan.
“Kamu nggak bisa terus-terusan begini, Alana. Kalau kamu terus gagal di matematika, kamu bisa nggak naik kelas,” kata Lila, mencoba memberikan nasihat.
Alana hanya memainkan sepotong roti yang ia bawa tanpa memakannya. “Aku tahu, Lila. Tapi aku nggak tahu gimana caranya memperbaiki ini. Aku cuma nggak cocok sama angka-angka,” jawabnya dengan nada lesu.
“Kamu nggak bodoh, Alana. Kamu cuma nggak fokus. Kalau kamu belajar lebih serius, aku yakin kamu bisa,” balas Lila sambil menyuap nasi goreng dari bekalnya.
Alana terdiam. Kata-kata Lila benar, tapi itu tidak membuat masalahnya jadi lebih mudah.
---
Jam terakhir hari itu adalah waktu yang paling Alana takutkan—pengembalian nilai tugas matematika minggu lalu. Bu Widia memasuki kelas dengan setumpuk kertas di tangannya, dan suasana kelas mendadak tegang.
“Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, tugas ini penting untuk menilai kemampuan dasar kalian. Saya harap hasilnya bisa menjadi bahan evaluasi,” katanya sebelum mulai membagikan kertas.
Satu per satu siswa menerima tugas mereka, dan ekspresi mereka bervariasi—ada yang tersenyum lega, ada yang menghela napas kecewa. Ketika giliran Alana tiba, ia merasa jantungnya berdetak lebih cepat.
Angka besar *42* tertulis di atas kertasnya, diikuti komentar kecil di bawahnya: *Perlu perbaikan serius*.
“Alana,” panggil Bu Widia, suaranya terdengar lebih serius dari biasanya. “Setelah kelas selesai, temui saya di ruang guru.”
Teman-teman Alana menatapnya dengan berbagai ekspresi, mulai dari kasihan hingga geli. Lila, yang duduk di depan, memberikan tatapan prihatin sambil menggeleng pelan.
Ketika bel berbunyi, Alana berjalan menuju ruang guru dengan langkah berat. Kepalanya dipenuhi berbagai kemungkinan buruk tentang apa yang akan dikatakan Bu Widia.
Sesampainya di ruang guru, ia mengetuk pintu pelan sebelum masuk. Bu Widia sedang duduk di meja kerjanya, memeriksa beberapa dokumen. Ia mengangkat kepala saat melihat Alana masuk.
“Duduklah, Alana,” katanya sambil menunjuk kursi di depannya.
Alana duduk dengan hati-hati, merasa seperti seorang terdakwa yang akan diadili.
“Alana, saya sudah memantau perkembangan akademikmu selama beberapa bulan terakhir. Dan terus terang, saya khawatir. Nilai-nilaimu semakin menurun, terutama di mata pelajaran matematika dan sains,” kata Bu Widia dengan nada tegas.
Alana mengangguk pelan. “Saya tahu, Bu. Saya minta maaf.”
“Minta maaf tidak cukup. Kalau kamu tidak segera memperbaiki nilai-nilaimu, kamu bisa tidak naik kelas. Dan saya yakin itu bukan hal yang kamu inginkan, bukan?”
Mendengar kata-kata itu, hati Alana terasa seperti ditusuk. Tidak naik kelas? Itu bukan sesuatu yang pernah ia bayangkan sebelumnya.
“Saya ingin membantu kamu, Alana. Karena itu, saya sudah mengatur sesuatu. Mulai minggu depan, kamu akan mendapatkan tutor pribadi dari salah satu siswa terbaik di sekolah ini,” lanjut Bu Widia.
Mata Alana membesar. “Tutor pribadi? Siapa, Bu?”
“Ryan Pratama,” jawab Bu Widia dengan tegas.
Nama itu tidak asing bagi Alana. Ryan adalah siswa jenius di sekolah mereka, terkenal karena kecerdasannya yang luar biasa. Ia adalah ketua tim olimpiade sains, dan hampir semua guru memujinya. Tapi ia juga dikenal sebagai seseorang yang dingin dan sulit didekati.
Alana merasa campur aduk. Di satu sisi, ia tahu ini adalah kesempatan besar untuk memperbaiki nilainya. Tapi di sisi lain, ia tidak yakin apakah ia bisa bekerja sama dengan seseorang seperti Ryan.
“Apakah itu jelas, Alana?” tanya Bu Widia.
Alana mengangguk pelan. “Iya, Bu. Saya akan mencoba.”
“Bagus. Saya harap kamu serius kali ini,” kata Bu Widia sebelum mengakhiri pembicaraan.
---
Dalam perjalanan pulang, Alana tidak bisa berhenti memikirkan apa yang baru saja terjadi. Ia merasa cemas, tetapi juga sedikit penasaran. Bagaimana rasanya diajar oleh Ryan? Apakah dia akan membantunya, atau justru membuatnya merasa semakin bodoh?
Di antara semua kebingungan itu, satu hal yang ia tahu pasti: hidupnya akan berubah.
Dan mungkin, untuk pertama kalinya, perubahan itu tidak sepenuhnya buruk.
---