6# Hari Pertama Bimbingan
Hari pertama bimbingan resmi dimulai setelah sekolah usai. Alana berjalan menuju ruang belajar dengan langkah malas. Meski ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk mencoba lebih keras, rasa khawatir tetap menguasainya. Ia tidak yakin apakah Ryan, dengan segala keseriusannya, bisa benar-benar memahaminya.
Di sisi lain, Ryan sudah berada di ruangan itu lebih dulu, duduk dengan rapi di meja yang sama seperti sebelumnya. Di hadapannya terdapat buku-buku pelajaran, kalkulator, dan papan tulis kecil yang ia siapkan khusus untuk sesi bimbingan. Baginya, segalanya harus terorganisir dan efisien.
Ketika Alana masuk, Ryan langsung melirik jam tangan, memastikan bahwa gadis itu tidak terlambat.
“Kamu tepat waktu. Bagus,” katanya singkat, sambil menggerakkan tangannya untuk menunjuk tempat duduk.
“Ya, aku juga nggak mau kena omelan lagi,” balas Alana setengah bercanda, berharap bisa mencairkan suasana.
Namun, Ryan hanya menanggapinya dengan anggukan kecil. Alana duduk, merasa sedikit canggung.
---
Sesi bimbingan dimulai dengan Ryan menjelaskan konsep dasar matematika yang menurutnya paling penting. Ia berbicara dengan nada serius dan penuh perhatian, menggambar diagram dan menuliskan rumus di papan tulis kecil.
“Jadi, ini adalah garis lurus yang mewakili persamaan linear. Kamu paham?” tanyanya setelah menyelesaikan penjelasan.
Alana memiringkan kepala, mencoba mencerna apa yang baru saja dijelaskan. “Hmm... aku ngerti, kayaknya. Tapi kenapa ada dua garis?” tanyanya sambil menunjuk diagram.
Ryan menarik napas panjang, mencoba bersabar. “Dua garis ini adalah dua persamaan berbeda. Kita mencoba mencari titik di mana keduanya bertemu. Itu disebut solusi.”
“Oh... oke,” jawab Alana, meski sebenarnya ia masih bingung.
Ryan menggeser papan tulis ke arahnya. “Coba selesaikan soal ini,” katanya, memberikan Alana sebuah soal sederhana tentang persamaan linear.
---
Alana mengambil pensilnya dan mulai mencoba. Namun, setelah beberapa menit berpikir, ia hanya menatap kertasnya dengan wajah bingung. “Kayaknya aku salah deh...” katanya akhirnya, menyerahkan kertas itu pada Ryan.
Ryan memeriksa jawabannya, dan benar saja, hasilnya salah. Namun, alih-alih mengoreksi langsung, ia memutuskan untuk menuntunnya memahami langkah-langkah yang benar.
“Kamu salah di langkah kedua. Lihat ini,” katanya, menunjuk bagian tertentu pada kertas.
Alana mengangguk perlahan, meski ia masih tidak sepenuhnya paham. “Oh, jadi harus begini?”
“Iya, tepat,” balas Ryan sambil menunjukkan cara yang benar.
---
Sesi itu terus berlanjut, tetapi Alana merasa semakin sulit mengikuti cara belajar Ryan. Penjelasannya jelas, tetapi terlalu cepat untuknya. Setiap kali ia mencoba bertanya, Ryan akan menjawab dengan istilah-istilah teknis yang malah membuatnya semakin bingung.
“Ryan, tunggu sebentar,” kata Alana akhirnya, mengangkat tangan seperti murid di kelas. “Kamu terlalu cepat. Aku nggak bisa mencerna semuanya sekaligus.”
Ryan terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Baik, kita pelan-pelan. Tapi kamu juga harus lebih fokus.”
Alana memutar matanya, merasa sedikit kesal. “Aku sudah fokus, kok. Cuma otakku nggak secepat otakmu.”
Ryan mengangkat alis, merasa heran dengan komentar itu. “Belajar itu soal usaha, bukan soal kecepatan.”
Alana mendengus pelan. “Ya, tapi usaha itu juga butuh waktu, kan?”
Untuk pertama kalinya, Ryan merasa bingung bagaimana menjawab.
---
Di sela-sela kebuntuan itu, Alana mencoba membuat suasana lebih santai. “Ryan, kamu nggak capek ngomong soal angka terus? Serius deh, kamu kayak robot yang nggak punya tombol off.”
Ryan menatapnya, dan sejenak sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman kecil. Ia segera menutupi senyum itu dengan menundukkan kepala.
“Aku serius, lho. Hidup kamu tuh kayak nggak ada hiburannya sama sekali,” lanjut Alana sambil terkekeh.
“Belajar juga bisa jadi hiburan, kalau kamu menikmatinya,” jawab Ryan dengan nada datar, tetapi ada sedikit kehangatan dalam suaranya.
Alana tertawa kecil. “Kamu benar-benar jenius. Tapi nggak semua orang bisa kayak kamu.”
Ryan mengangkat bahu. “Mungkin karena aku tidak pernah memandang belajar sebagai beban. Aku melihatnya sebagai tantangan.”
Alana terdiam sejenak, merenungkan kata-kata itu. Meski terdengar seperti ceramah, ada sesuatu yang membuatnya ingin mencoba berpikir seperti Ryan—setidaknya sedikit.
---
Setelah beberapa saat, mereka kembali fokus pada soal. Kali ini, Ryan mencoba metode yang lebih sederhana, memecah soal menjadi langkah-langkah kecil.
“Lakukan ini dulu,” katanya, menunjuk langkah pertama.
Alana mengangguk dan mencoba. “Oke, ini masuk akal,” katanya, mulai merasa sedikit percaya diri.
“Bagus. Sekarang lanjut ke langkah berikutnya,” kata Ryan.
Sesi itu akhirnya berjalan lebih lancar. Meski Alana masih membuat banyak kesalahan, ia merasa bahwa ia mulai mengerti sedikit demi sedikit.
---
Ketika waktu hampir habis, Ryan menutup bukunya dan menatap Alana. “Bagaimana menurutmu?” tanyanya.
Alana mengangguk pelan. “Aku masih bingung, tapi nggak seburuk tadi. Kayaknya aku bisa ngerti kalau kamu terus ngajarin aku pelan-pelan.”
Ryan tersenyum tipis. “Bagus. Tapi kamu juga harus mengerjakan latihan yang aku berikan. Jangan sampai lupa.”
Alana mengangguk lagi. “Iya, iya. Aku bakal coba.”
Saat Alana berkemas, ia merasa sedikit lega. Meski Ryan masih terasa seperti sosok yang terlalu serius, ia mulai melihat bahwa ada sisi lain dari cowok itu—sisi yang tulus ingin membantu.
Di dalam hati, Alana berjanji pada dirinya sendiri untuk mencoba lebih keras.
“Aku nggak mau terus-terusan jadi yang terburuk,” gumamnya pelan.
Ryan, yang masih berada di dalam ruangan, mendengar gumaman itu. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, Alana benar-benar memiliki potensi.
---