Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 7.Surat Mutasi Untuk Penggoda Jandaku

Bangkotan gatel!

Rama masih menyimpan kesal saat sampai di mejanya. Dengan gemuruh di dada ia mengetik pesan kepada Sodiq yang belum datang.

'Pak Sodiq, tolong buatin surat edaran tentang etika bergaul di tempat kerja. URGENT. Pagi ini ya Pak. Kita blast sore ini via email ke seluruh unit kerja. Besok pagi wajib dibacakan saat briefing, didokumentasi, dan ditandatangani oleh manager unit masing-masing. Setelah itu kita sampling telpon ke sepuluh unit terpilih, kita tanyain tentang materi yang udah kita share. Kalo masih ada yang nggak paham, saya laporin ke Pak Nirvan.'

Send.

Rasain lo anjing! Bisanya godain janda! Rama membayangkan tampang bapak-bapak yang mengganggu Shinta tadi. Mentang-mentang Shinta janda jadi lo gituin? Bambang Prasetyo, Agus Setiawan, Tono Mardiyanto, Gagah Setiajdi, gue tandain lo! Rama menuliskan dengan cepat nama keempat laki-laki tua yang ia temukan pada name tag masing-masing. Siapa yang bisa melawan mata jelinya? Mau pensiun kek, gue giles congor lo. Bisa-bisanya godain Shinta kayak begitu!

Ketukan di pintu membuat Rama segera menghela napas berat demi mengendalikan amarahnya. Berikutnya ia melihat wajah Sodiq.

"Pak..." Sodiq yang baru saja datang tergopoh duduk di hadapan Rama . "Maaf saya nanya. Peraturan etika bergaul di tempat kerja yang mana ya Pak?" Mata Sodiq berkedip-kedip. Ia sungguh tidak ingat ada peraturan tertulis seperti itu kecuali yang membahas adab menggunakan medial sosial.

Sodiq sendiri tidak yakin peraturan itu ada, mengingat menjunjung tinggi etika bergaul di tempat kerja merupakan peraturan tak tertulis yang biasanya sudah dipahami oleh setiap orang.

"Ada kejadian apa Pak?" Sodiq bertanya dengan raut tegang. Apa baru saja terjadi kasus tindakan asusila yang terlambat ia ketahui? Kejadian seperti itu sangat jarang meski delapan tahun yang lalu, ada pasangan selingkuh yang kepergok berbuat mesum di ruang arsip.

"Aku nggak suka.... " Rama segera menahan lisannya.

....... mereka gangguin Shinta ! Kalimat protes itu hanya bisa ia dengarkan sendiri.

Rama sekali lagi membuang napas kasar demi menetralkan emosinya. "Ada kejadian nggak enak. Intinya, bercandaan yang kelewatan," jawabnya sebelum menenggak segelas air putih di atas meja hingga tandas.

Bercandaan? Sodiq terpaku menatap raut keras Rama sambil bertanya-tanya. Memangnya bercandaan seperti apa yang membuat Rama terlihat marah seperti saat ini? Apa jangan-jangan menyangkut gosip tentang Rama ?

Tapi siapa sih yang berani bercanda kayak gitu sama Rama ? Sodiq segera meragukan dugaannya. Memangnya sengaja cari mati apa bagaimana?

"Nggak seharusnya, status seseorang itu jadi bahan bercandaan," sambung Rama kemudian.

Bibir Sodiq nyaris menganga saat mendengar penjelasan barusan. Kini ia semakin yakin jika ini memang menyangkut status lajang Rama yang turut menimbulkan gosip tidak mengenakkan itu.

"Tapi Pak, saya lupa aturan tentang etika itu ada apa nggak ya Pak? Maksud saya, pasti ada. Tapi pasti udah lama Pak...."

Rama berkedip-kedip saat ia sendiri sebenarnya lupa. Tapi ia yakin peraturan yang mengatur etika di tempat kerja seperti yang ia maksudkan itu pasti ada.

"Coba dicari Pak. Atau sambung-sambungin aja sama aturan yang relevan. Soalnya, kejadian nggak enak kayak pelecehan-pelecehan di tempat kerja dibalik bercandaan itu kan ada aja, tapi mungkin yang ngalami nggak bisa ngomong."

Bibir Sodiq menganga lebih lebar sebelum mengangguk mengerti. Kini ia sangat yakin sekali semua ini memang menyangkut gosip seksualitas Rama . Apa Rama sudah mendengar sendiri mengenai desas-desus itu?

"Baik Pak saya cari." Sodiq segera menyanggupi. "Intinya status atau keadaan seseorang itu nggak pantes dijadiin bahan bercandaan, dan kalau bercanda sewajarnya jangan kelewatan, dan jangan menjurus pada pelecehan. Gitu ya Pak?" Sodiq kembali mengonfirmasi maksud Rama .

"Betul. Tolong buatin pagi ini juga ya Pak. Sore langsung kita blast email."

"Baik Pak." Sodiq kembali mengangguk sebelum undur diri.

***

"Dasar homo. Lagaknya aja di deket cewek sok jago. Aslinya nutupin kalo belok aja... "

"Sampe bikin surat edaran segala."

"Lha iya. Padahal cuma gitu aja lho.. "

"Itu homo emang berisik. Yang digodain cewek kenapa dia yang marah?"

"Mungkin dia yang berharap digodain... "

"HAHAHAHAHA!" Gelak tawa itu pecah.

Kasak-kusuk panas di sore hari itu kembali terjadi di parkiran. Sejak tadi siang, satu gedung perkantoran dihebohkan dengan surat edaran yang diajukan oleh Rama dan ditandatangani oleh Nirvan Nadipati. Bahkan Nirvan Nadipati turut memanggil empat orang pegawai yang dilaporkan sendiri oleh Rama .

Kejadian tersebut menimbulkan pembicaraan sentimen di kalangan para laki-laki, khususnya para pegawai senior. Mereka menganggap sikap Rama berlebihan untuk menanggapi bercandaan rekan-rekannya. Berkembang spekulasi, bahwa Rama sengaja bersikap demikian untuk menutupi seksualitasnya yang selalu menjadi sorotan.

Nama Dona berhembus kian santer. Gosip liar entah dari mana beredar, jika Rama tidak suka bawahannya yang cantik digoda-goda. Yang tidak begitu tahu Dona menjadi semakin penasaran. Siapa sosok gadis yang menjadi penyebab turunnya surat edaran yang terbaca sebagai peringatan keras itu? Para staf wanita sibuk membicarakan Dona, sementara para staf laki-laki lebih percaya Rama sengaja melakukan pengalihan isu demi menutupi seksualitasnya.

Rama dan Dona menjadi topik pembicaraan panas sepanjang hari. Januar yang sedang menunduk membersihkan ban mobil dengan khusyuk tanpa sengaja mendengarkan bapak-bapak yang sedang menggosip sebelum pulang kantor. Tidak ada yang menduga ia adalah supir yang sedang membersihkan mobil Innova yang biasa digunakan oleh manajer di bawah Rama .

Januar menyimpulkan sepertinya tidak ada yang benar-benar tahu mengenai apa yang sebenarnya terjadi karena informasi yang beredar semakin simpang siur. Seharian, para staf HC dan staf department risk yang dianggap paling tahu memasang tampang dingin seolah enggan diwawancara. Sedangkan keempat pegawai yang dipanggil Nirvan terlihat masih shock dan tidak ingin memperpanjang hal tersebut. Mereka semua yang penasaran mungkin harus menunggu besok pagi ketika surat edaran dibacakan saat briefing untuk mengetahui pokok permasalahan yang sebenarnya.

Bapak-bapak yang bergosip sudah pergi. Namun pernyataan mereka tentang Rama masih tertinggal di kepala Januar. Tetapi Januar tidak ingin memperkeruh suasana dengan mengadukan hal ini kepada Rama . Lagi pula tanpa kejadian hari ini pun, Rama sudah dianggap homo meski tidak melambai seperti Billy. Januar sendiri sebenarnya tidak tahu, bagian mana yang membuat Rama terlihat seperti penyuka sesama jenis.

Tetapi image itu terlanjur melekat kuat, apalagi Rama tampan dengan tubuh yang terjaga baik. Saat ada event olahraga, Rama selalu terlihat maskulin yang malah semakin memperkuat dugaan itu. Tidak sedikit, staf-staf pria yang melambai seperti Billy melirik genit setiap kali Rama melintas. Sungguh Rama tidak sadar, selama ini bukan saja menarik perhatian wanita tetapi juga lelaki-lelaki halus sebangsa Billy, yang jika bicara sedikit sengau-sengau manja.

Selesai membersihkan mobil, Januar segera menuju lantai departemen risk. Ia membawa amplop yang berisi nota-nota pembelian bensin, struk e-money, dan karcis parkir. Ia segera mendekati Shinta yang tampak sibuk di mejanya.

"Bund..." Januar segera duduk di hadapan Shinta sambil menyerahkan amplop di tangan.

"Reimburse ya?" tanya Shinta meski sudah tahu.

"Bund, sebenernya ada apa sih?" tanya Januar dengan nada pelan.

"Hmm...." Shinta yang menyadari pertanyaan Januar segera menutup bibir. Ia malas menceritakan kejadian yang sebenarnya karena selain Dona sudah sibuk klarifikasi ke sana-sini, ia masih teramat malu mengingat kejadian tadi pagi. Seumur-umur, ia tidak pernah digoda seperti tadi sehingga hanya bisa mematung saat mendengar perkataan kurang ajar yang dirasa sangat menghina dan melecehkan keadaannya.

"Tahu nggak Bund, Pak Rama sama Dona jadi hot topic." Januar memutuskan memulai ceritanya tanpa menunggu jawaban Shinta .

Shinta sebenarnya sudah tahu. Seharian tadi WhatsApp-nya ramai oleh chat teman-teman dari lantai yang berbeda. Mereka menggali informasi dari dirinya yang dianggap sebagai saksi mata. Informasi yang beredar santer, Dona digoda habis-habisan oleh segerombolan bapak-bapak genit yang menyeret kemarahan Rama . Informasi tersebut turut diperkuat dengan klarifikasi dari Dona sendiri.

"Aku tuh speechless, cuma bisa diem pingin nangis. Takut banget. Untung ada Pak Rama , yang langsung belain aku. Ya kan Bund? Bunda Shinta saksinya. Demi Allah gemeteran banget."

Shinta masih mengingat cerita Dona yang meletakkannya sebagai saksi dan mengundang tatapan simpati teman-teman di sini. Maksud Shinta , mereka bersimpati pada Dona. Shinta sendiri merasa bingung menanggapi cerita Dona jadi hanya memilih diam saja. Ia tidak ingin meluruskan bahwa ia juga digoda karena masih teramat malu.

Sungguh digoda seperti tadi bukan kisah yang harus dipamerkan. Jika bisa, Shinta ingin mengubur kejadian tadi pagi. Akan tetapi entah bagaimana, kisah versi Dona beredar santer ke seantero gedung sehingga temannya di lantai berbeda turut menjuluki Dona dengan sebutan, Calon Istri Rama .

Hanya dalam hitungan jam, kejadian pelecehan tadi pagi berkembang menjadi gosip kisah romansa antara Rama dan Dona yang sebenarnya tidak pernah ada. Entah bagaimana julukan Calon istri Rama , yang biasanya dijadikan bahan lelucon oleh para staf di departemen ini bisa menyebar hingga ke tempat lain. Daripada prihatin dan mengutuk kejadian tadi, semua orang lebih tertarik dengan gosip baru yang berkembang cepat.

Shinta sudah malas dan memutuskan hanya jadi penonton. Biar aja deh.

"Tapi, banyak juga yang ngomong nggak enak tentang Pak Rama ," sambung Januar dengan nada pelan. Ia tidak berani meneruskan informasi yang ia dengar kepada Rama dan merasa lebih nyaman membicarakannya dengan Shinta . Lagi pula, ia tidak tahu siapa nama bapak-bapak yang membicarakan Rama seperti tadi. Sebenarnya, masih ada yang lebih parah. Tadi siang ia mendengar para bapak-bapak lain berkelakar, "Itu homo haus belaian makanya bawel kayak perempuan."

Sungguh Januar tidak habis pikir dengan mulut-mulut keji mereka. Padahal, Rama melakukan hal yang benar dengan membela martabat anak buahnya. Tetapi, Rama menjadi yang paling dibenci dibanding pelaku pelecehan karena dianggap bereaksi berlebihan. Januar sendiri jadi berpikir, apakah menggoda perempuan dianggap sebagai bercandaan wajar di kalangan laki-laki? Meski ia juga laki-laki, ia tidak membenarkan perilaku tersebut.

Januar yakin ini bukan hanya soal sikap Rama , melainkan ego laki-laki. Para bapak-bapak senior yang kebetulan kalah pangkat dari Rama , merasa terusik dengan sikap Rama yang mengabaikan sisi senioritas yang masih dijunjung di perusahaan ini. Mereka menganggap Rama keterlaluan karena membesar-besarkan kasus ini. Mereka memilih lebih bersimpati pada rekan-rekan mereka yang sesama laki-laki ketimbang korban pelecehan.

Mereka beranggapan, seharusnya Rama bersikap lebih lunak dan tidak perlu sampai sebegininya, apalagi Rama jauh lebih junior daripada mereka semua. Ibaratnya, di saat Rama masih belajar berjalan merekalah yang lebih dulu bekerja di perusahaan ini.

"Nggak enak gimana Mas?" Shinta segera menaruh atensi pada Januar dan mengabaikan sejenak struk-struk yang sudah ia keluarkan dari dalam amplop.

"Sadis Mbak. Aku sampe kasihan sama Pak Rama ."

"Sadis gimana?"

"Jadi seharian ini aku denger banyak yang ngomongin Pak Rama , terutama bapak-bapak ya. Mereka bilang Pak Rama homo." Januar bercerita dengan nada yang lebih pelan sehingga membuat Shinta sedikit mencondongkan tubuh agar dapat mendengar lebih jelas suaranya. "Mereka bilang Pak Rama cuma pengalihan isu supaya nggak keliatan belok. Mereka semua kayak benci banget sama Pak Rama . Bener-bener diomongin jelek banget. Dan aku lihat rata-rata mereka kontra sama Pak Rama ... "

Astaga. Shinta segera melirik prihatin ke arah pintu ruangan Rama yang tertutup. Terselip rasa tidak tega. Ia sudah bisa membayangkan, bagaimana sekawanan para bapak-bapak senior ego rapuh itu menghabisi Rama dengan mulut-mulut lemas mereka meski hanya berani di belakang. Tapi tetap saja perbuatan merendahkan martabat seseorang seperti itu sangat tidak pantas.

Jadi sore itu setelah Januar berlalu, Shinta mengetuk pelan pintu ruangan Rama .

"Pak...."

"Ya Shinta ?" Rama yang sedang mengecek final laporan dari Sodiq segera menatap Shinta yang berdiri di ambang pintu ruangannya.

Shinta berjalan mendekat dan duduk di hadapan Rama yang tampak menghentikan sejenak kegiatannya.

"Pak soal hari ini...." Shinta menatap lekat wajah Rama dan menyadari ia sudah tidak lagi menyimpan amarah terhadap lelaki itu. Rasa kesalnya luntur dan berganti dengan rasa haru. Shinta memutuskan melupakan perkataan menyakitkan Rama .

"....... saya mau berterima kasih Pak. Terima kasih banyak Pak, sudah membela saya." Shinta tenggelam dalam kedua mata Rama . Seperti ada sesuatu di sana, entah apa yang membuatnya merasa malu. Tetapi rasa haru menahan agar tatapannya tidak pergi.

"Iya Shinta ." Rama mengangguk kecil dan menyungging senyuman tipis. Tanpa sadar sedikit memiringkan kepala saat menyelami raut polos Shinta .

Tadi begitu Sodiq membawakan surat edaran ke ruangannya, ia langsung membubuhkan paraf dan membawa sendiri surat edaran itu ke ruangan Nirvan Nadipati. Ia menodong Nirvan menandatangani surat tersebut sambil membeberkan kelakuan empat pegawai yang melecehkan Shinta . Ia menyodorkan nama keempat pegawai tersebut lengkap dengan departemen kerja masing-masing, yang ia dapatkan dari staf Human Capital.

Nirvan langsung menandatangani suratnya dan memanggil keempat pegawai tersebut. Besok Nirvan akan menggelar briefing bersama di aula dan surat edaran yang diturunkan tadi akan dibacakan di hadapan seluruh staf di gedung ini.

Nirvan berkata kasus ini akan menjadi menjadi perhatiannya sambil berpesan, "Pak Rama ... kalo bisa kasus ini di-keep sampe sini aja ya? Saya mohon maaf atas kelakuan bawahan saya. Ini pasti jadi perhatian saya."

Rama yakin, Nirvan pasti tidak ingin hal ini sampai ke telinga-telinga petinggi di kantor pusat sana. Apalagi Nirvan tahu ia dekat dengan Hanggara, yang merupakan Direktur Manajemen Risiko. Tentu tidak sembarang orang bisa dekat dengan direktur.

Rama akui, kedekatannya dengan Hanggara membuat para petinggi di sini berpikir seribu kali sebelum mengambil sikap di hadapannya, khususnya terkait urusan kantor. Maka dari itu, tidak ada manajer yang berani berkonflik dengannya hingga level Nirvan sekalipun. Rama memang selama ini membiarkan semua orang tahu, ia dekat dengan Hanggara. Berulang kali ia memposting kedekatannya dengan Hanggara, yang bak paman dan keponakan itu.

"Makasih juga Pak, buat pelindung tumitnya," sambung Shinta yang membuat bukaan kedua mata Rama menjadi lebih lebar. "Saya pake Pak, kaki saya jadi nggak sakit lagi." Shinta mengarang sedikit kebohongan demi menyenangkan hati Rama dan menurunkan pandangan saat tidak kuat menahan sapuan malu di dalam dada. Entah mengapa Rama harus menatapnya sedemikian rupa, seolah-olah ia adalah pusat dunia.

"Kok kamu tahu kalo aku yang ngasih pelindung tumit?" Rama sedikit mengerutkan dahi.

Mana mungkin Shinta menjawab jujur jika mengecek melalui rekaman CCTV? Shinta tidak ingin membuat Rama merasa malu karena melupakan yang satu ini. Jadi ia segera memikirkan alternatif jawaban lain.

"Karena....." Bibir Shinta tertahan sejenak saat mata mereka kembali bertemu. "Siapa lagi Pak?"

Rama tertegun menatap senyuman di wajah Shinta .

"Saya tahu itu pasti Bapak. Selalu Bapak orangnya," jawab Shinta dengan sedikit gugup. Tunggu, apa kalimatnya sudah benar? Namun ia tidak sempat memikirkan jawabannya barusan ketika melihat reaksi Rama .

Selalu aku ya? Selalu aku orangnya? Rama sulit mengendalikan tarikan di sudut bibir sehingga satu-satunya pilihan adalah melepaskan senyumannya meski hatinya tengah diliputi malu. Mendadak matanya tidak kuat menatap Shinta sehingga ia menjatuhkan tatapannya ke atas meja. Sedikit salah tingkah Rama berusaha mengkondisikan tarikan di bibirnya, saat perkataan Shinta tadi membawa hatinya melambung tinggi.

Entah mengapa, rasanya berbeda ketika Shinta menemukannya sebagai orang itu. Selama ini, seingatnya, ia tidak pernah ditemukan seperti ini.

"Kalo gitu.... saya....." Shinta menahan sejenak kalimatnya saat kembali menemukan tatapan Rama . Shinta rasa sudah saatnya ia pamit dari hadapan Rama . "Y... ya saya cuma mau bilang itu aja Pak. Sekali lagi makasih banyak Pak Rama ." Shinta kembali menyungging senyuman demi menutupi arus debaran di dada yang membuat wajahnya terasa kaku.

"Iya Shinta , sama-sama."

Rama sungguh tidak tahu seperti apa bentukan wajahnya saat ini di hadapan Shinta . Begitu Shinta berbalik ia segera menghela napas perlahan demi menenteramkan kekacauan di dalam dada.

Pintu ruangannya kembali tertutup. Rama segera melirik Shinta dari layar CCTV saat hening menyergap, memerangkap hatinya yang sudah terpenjara entah sejak kapan.

Dia janda. Hati Rama menggema lirih. Tapi... memangnya kenapa?

Memangnya kenapa kalo dia janda? Rama memandangi Shinta di layar CCTV.

“Saya tahu itu pasti Bapak. Selalu Bapak orangnya." Pengakuan Shinta tadi kembali menyeret senyumannya. Sambil menggigiti bibir, Rama tertunduk malu sebelum menghela napas demi mengembalikan hatinya yang perlahan mendarat. Sebelah tangannya mengusap wajah sejenak sebelum senandungnya lolos.

"When you know, you know...."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel