Part 6. Jangan Ganggu Jandaku
Masih pagi ketika Shinta sedang mengantre di depan mesin absensi finger print. Kemarin, beredar peringatan dari human capital bahwa setiap pegawai tidak terkecuali harus kembali rutin melakukan absensi setiap pagi. Memang sejak pandemi dulu, kebiasaan ini sempat dihilangkan dan diganti dengan absensi online. Namun hingga situasi sudah normal, banyak karyawan yang lupa melakukan absensi. Meski begitu, biasanya pegawai outsourcing atau pegawai dari pihak ketiga yang masih rutin melakukan absensi. Sementara absensi untuk pegawai PKWT dan pegawai tetap, sudah otomatis terpantau oleh atasan atau manajer masing-masing.
Memang tidak semua pegawai di gedung ini adalah pegawai PKWT atau pegawai tetap. Beberapa pegawai berasal dari vendor atau pihak ketiga yang bekerja sama dengan Bank Nasional. Staf seperti supir, office boy, atau sales, berasal dari pihak ketiga. Setiap bulan, Shinta harus merekap absensi pegawai outsorcing di departemennya seperti Januar dan Heri, sebelum dikirimkan kepada Leny, staf human capital yang biasa mengurusi payroll para staf di bawah vendor atau pihak ketiga.
Bank Nasional sendiri juga memiliki lembaga internal mirip-mirip outsourcing yang dinamakan Insan Giat Nasional. Sekarang, penerimaan pegawai baru lebih banyak dilakukan melalui jalur Insan Giat Nasional. Biasanya para pelamar posisi seperti teller, customer service, atau staf supporting harus melalui jalur Insan Giat Nasional terlebih dulu sebelum dipanggil untuk mengikuti tes PKWT. Kelebihan Insan Giat Nasional adalah, jalur ini menerima lulusan setingkat SMA. Akan tetapi agar bisa dipanggil mengikuti tes pengangkatan menjadi staf PKWT, karyawan tersebut harus mengantongi ijazah minimal setingkat S1.
Billy dan Sammy adalah contoh karyawan Insan Giat Nasional yang kini sudah diangkat menjadi staf PKWT karena lolos tes. Namun, mereka belum berstatus sebagai pegawai tetap Bank Nasional dan sewaktu-waktu kontrak mereka bisa tidak diperpanjang.
Akan tetapi selama Billy dan Sammy berkelakuan baik dan dinilai bagus oleh atasan, rekomendasi mengikuti tes menjadi pegawai tetap itu pasti akan diberikan. Tentu saja dalam hal ini, Rama yang memiliki kewenangan untuk merekomendasikan Billy dan Sammy menjadi pegawai tetap. Biasanya penilaian layak atau tidaknya seseorang diangkat menjadi pegawai tetap dilakukan setelah masa kerja minimal dua tahun, terhitung sejak diangkat menjadi staf PKWT. Meski begitu, tidak semua pegawai masuk melalui jalur Insan Giat Nasional. Brili adalah pegawai yang langsung diterima PKWT dan saat ini Brili sudah berstatus sebagai pegawai tetap.
Shinta merasa beruntung karena pada masanya dulu, masih belum ada jalur Insan Giat Nasional. Saat diterima bekerja dulu, ia langsung berstatus sebagai staf PKWT dan setahun kemudian otomatis diangkat menjadi pegawai tetap tanpa harus mengikuti tes lagi. Manajer di unit masing-masing akan melakukan evaluasi terhadap kinerja para staf PKWT dan selama staf tersebut berperilaku baik, sudah dipastikan akan diangkat menjadi pegawai tetap.
Shinta masih ingat pesan seniornya saat itu yang membuatnya pantang izin sakit meski flu berat. “Jangan sering nggak masuk, kalo bisa masuk terus selama setahun. Terus nggak macem-macem, udah. Pasti diangkat.”
Meski ia bersin-bersin dan tidak bisa membantu pelayanan di depan, ia masih bisa membantu pekerjaan di belakang counter teller seperti melakukan penyetoran uang ke Bank Indonesia, membantu menata uang di brankas, atau membantu menyortir uang. Jika sudah tidak kuat, ia memilih tiduran di musala yang penting wajahnya tetap muncul di kantor. Selama tidak menjelang pingsan, Shinta bertahan tidak tumbang demi mengantongi status pegawai tetap.
Akan tetapi, memang semakin ke sini mencari kerja dirasa semakin susah apalagi mengejar status pegawai tetap. Kenyataannya saat ini, tidak semua staf Insan Giat Nasional dengan mudah mendapatkan kesempatan untuk mengikuti tes PKWT. Kebanyakan dari mereka mengundurkan diri mencari kesempatan yang lebih baik sebelum usia mereka bertambah tua. Maka dari itu, kebanyakan staf yang sudah menjadi PKWT bertahan menunggu status mereka meningkat menjadi pegawai tetap meski harus menunggu lama.
“Pagi Bundaaa...” Dona yang baru datang menyapa saat turut mengantre.
“Pagiiii.” Shinta membalas dengan senyuman ramah.
“Enakan langsung tempel jari ya Bund daripada absen online. Ribet harus login ke sistem kepegawaian, ngisi jam kerja terus kirim ke atasan. Aku sering lupa, terus Pak Sodiq lho juga udah lupa mantau absensi online,” bisik Dona.
“Wah, staf lantai atas ayu-ayu yo...” celetuk salah seorang bapak-bapak berambut putih yang baru datang. Entah siapa, Shinta tidak kenal.
“Lha iyo... janda sama gadis nggak ada bedae....” Bapak-bapak lain yang berkepala botak menimpali.
“Enak janda....” Bapak berperut buncit turut menambahkan. “....... lebih mantep.”
“Janda lebih pengalaman ya Pak,” sahut bapak berambut putih.
“Kalo kayak gini jadi pingin nambah istri,” celetuk bapak berkumis yang menjelajahi Shinta dengan matanya.
“Menyantuni janda ya Pak?” sambung bapak yang berperut buncit.
Mereka terbahak, entah apa yang lucu. Dona melirik risih sambil meremas pelan lengan Shinta yang hanya bisa mematung di tempatnya.
“Ehm!” Deheman yang tiba-tiba muncul membuat para bapak-bapak itu bungkam. Shinta melihat Rama entah sejak kapan sudah berdiri di dekat mesin absensi, menatap keras ke arah bapak-bapak yang segera bersikap segan.
“Paaak....” Mereka semua menyapa Rama dengan sikap kikuk. Tidak ada balasan selain raut dingin Rama . Mereka semua sontak menunduk sambil berusaha menutupi name tag masing-masing ketika tatapan mata Rama bergeser pada lanyard yang mereka kenakan. Meski mereka lebih tua, jabatan mereka tidak ada apa-apanya dibanding Rama .
Antrean di depan sudah selesai, Shinta melirik Rama yang seolah masih menunggui mereka. Shinta segera menempelkan jempolnya pada mesin absensi.
“Terima kasih!” Terdengar suara dari mesin absens. Berikutnya Dona yang menempelkan telunjuk, disusul Rama yang memotong antrean bapak-bapak di dekat mereka dan menempelkan ibu jarinya.
“Dari lantai berapa Pak?” tanya Rama dengan lirikan sengit.
“Saya sudah mau pensiun Pak!” jawab bapak beramabut putih dengan panik,
“Saya juga dua bulan lagi Pak!” susul Bapak berperut buncit.
“Iya Pak, kita semua sudah sepuh di sini he he he...” Bapak berkepala botak menimpali.
“Ha ha ha!” Tawa yang dibuat-buat menggema.
Sepuh? Jadi mereka mau pake senioritas? Rama semakin muak.
“Pantes ngomong kayak gitu tadi?”
Pertanyaan Rama membungkam mereka semua.
“Saya tanya, pantes nggak ngomong kayak gitu tadi?” Rama mengulangi pertanyaannya sambil melipat tangan di depan dada. Persetan mereka semua bapak-bapak lima puluhan menjelang pensiun.
“Maaf Pak tadi bercanda,” ucap salah seorang di antara mereka.
“Nggak lucu Pak,” tukas Rama .
Mereka semua diam dan menunduk.
“Saya nggak mau denger yang kayak gitu lagi. Bukan Cuma ke staf saya, tapi ke semua.”
“Maaf Paaak...” Mereka semua berucap pelan.
“Ngapain minta maaf ke saya? Memangnya tadi godain saya?”
Shinta melihat para bapak-bapak itu saling menatap sambil menahan malu.
“Ma... maaf,” salah seorang dari mereka menatap Shinta dan Dona yang berada di balik punggung Rama .
“Maaf.” Bapak-bapak lain menyusul meminta maaf sambil menahan malu karena menjadi tontonan segelintir staf yang berdatangan untuk melakukan absensi.
Shinta menatap Rama yang masih bersikap dingin. Rama menenggelamkan sebelah tangan ke dalam saku sebelum memunggungi dengan tampang ketus.
Shinta dan Dona saling melirik sebelum membuntuti langkah Rama dan meninggalkan bisik-bisik dari beberapa staf yang menonton. Dengan senyuman kecil Dona menyenggol pelan lengan Shinta . Mereka mengekor Rama yang memilih menaiki tangga. Sejak meninggalkan mesin absensi, Rama tidak sekali pun menoleh.
“Pak....” Dona membuka mulut setelah melewati pintu masuk departemen mereka, membuat Rama menghentikan langkah dan menoleh. “Makasih Pak.” Senyuman Dona mengembang malu-malu.
Shinta yang masih shock karena digoda seperti tadi, turut membuka bibir. “Makasih Pak....”
Rama menatap mereka berdua sebelum mengangguk dengan senyuman yang teramat dipaksakan. “Shinta , ingetin aku buat minta mesin absen sendiri. Departemen kita pasang mesin absen sendiri aja,” ucapnya sebelum kembali melangkah.
“Siap Pak,” balas Shinta meski Rama bergerak menjauh.
Dona kembali menyenggol lengan Shinta sebelum menatap Rama yang berjalan menuju ruangannya dengan tatapan berbinar. “Ya ampun Bapak! Suka deh!”
***