Part 5. Kebelet
“Gimana yang Mama kenalin? Udah ada yang cocok?”
Malam itu sambil menyantap mi instan, Rama mengobrol dengan ibunya melalui panggilan video.
“Ya udah ngobrol Ma,” jawab Rama apa adanya.
“Gimana sejauh ini?”
Rama menyeruput mi instannya sejenak. “Masih ngobrol biasa Ma.”
“Ada yang bikin kamu tertarik nggak?”
Rama membisu. Ia yakin sang ibu pasti sudah tahu jawabannya.
“Rama , masa nggak ada yang bikin kamu tertarik sih? Mereka semua Mama lihat cantik-cantik. Mau sampe kapan kamu begini terus? Liat kamu, jadi sering makan mi instan. Nggak pingin ada yang masakin apa?”
“Pingin,” jawab Rama dengan raut putus asa.
“Kapan kamu pulang ke Jakarta?”
“Akhir bulan....”
“Temuin gih mereka semua. Siapa tahu, kalo udah ketemu penilaian kamu jadi beda.”
“Iya.” Rama memilih menurut. Ia tidak punya alasan untuk membantah.
“Kamu nggak bosen kesepian?”
Rama menghela napas saat menekan nyeri di dada.
“Kamu ganteng, karir bagus, duit banyak. Harusnya kamu itu gampang aja milih perempuan. Coba buka hati kamu.”
“Ya Ma...”
“Ambil cuti yang agak lamaan gitu, tujuh hari. Sempetin ke Jogja, datengin si Medina. Nggak ada salahnya ketemu aja, siapa tahu cocok dan jodoh. Inget Res, jodoh itu harus diusahakan, apalagi kamu laki-laki. Kamu yang harus inisiatif datengin Medina.”
“...........”
“Temuin mereka semua. Pas di Jakarta ketemu sama Fayre, sempetin juga ke Bandung buat ketemu sama Edrea. Si Edrea itu juga sama-sama pegawai bank kayak kamu. Mereka semua perempuan-perempuan yang oke. Kamu pilih satu yang paling baik menurut kamu, buat kamu seriusin.”
Rama merasa tekanannya semakin berat.
“Mama yakin kamu pasti bisa cinta. Kamu Cuma kurang usaha. Stop ketemu dan berhubungan sama Kirana. Mulai sama perempuan baru. Nggak usah secantik Kirana nggak pa-pa. Paksa diri kamu untuk mengenal lebih jauh. Kamu harus tahu kualitas perempuan lain, selain Kirana.”
Rama hanya menekan bibirnya. Ibunya sudah tahu jika ia tidak bisa melakukan hal ini. Maka dari itu ibunya memaksa.
“Mama mau lihat kamu menikah, berkeluarga. Stop pacaran-pacaran melulu. Ngapain pacaran lama-lama nggak jelas juntrungannya.”
“Ya Ma.” Rama tidak punya hal lain untuk dikatakan.
“Sekarang fokus cari jodoh dulu. Habis gitu baru mikir yang lain-lain. Jangan kebalik. Nggak usah buka usaha dulu, urus gerai batik Mama aja. Nanti biar istri kamu yang urus gerai batik, soalnya Venya sama Fika nggak mau, mereka udah sibuk ngurusin bisnis masing-masing. Setelah nikah baru berangkat S2.”
Memang setelah ayahnya meninggal ibunya mengatakan agar ia menyimpan saja hasil pembagian warisan dan meneruskan usaha gerai batik yang sudah dirintis sejak lama.
Kedua kakaknya sudah membuka usaha dan sejauh ini berjalan lancar. Venya kakak pertamanya, sudah membuka toko cake and bakery yang setiap hari ramai pesanan. Fika kakak keduanya, memiliki usaha online shop di bidang fashion yang sudah berkembang pesat dengan banyak karyawan. Setiap hari admin toko kakaknya live dan paket-paket pesanan yang berjumlah ratusan diangkut truk ekspedisi.
“Iya Ma.” Lagi-lagi Rama menjawab sebelum ibunya mengakhiri panggilan. Memang pikirannya tidak bisa bercabang saat ini. Ibunya benar, sebaiknya ia merampungkan satu demi satu rencananya.
Rama sudah mempertimbangkan untuk meneruskan S2 ke luar negeri agar karirnya bisa menanjak pesat. Kalau bisa, sampai kursi dewan direksi.
Akan tetapi hanya kandidat-kandidat terpilih yang bisa menduduki jabatan mentereng itu. Itu pun harus melalui serangkaian tes fit & proper. Memang tidak semua direksi harus S2 bahkan sampai ke luar negeri, tetapi rata-rata di tempatnya seperti itu. Mereka-mereka yang duduk di kursi dewan direksi, rata-rata S2 dan pernah bersekolah di luar negeri.
Rama sempat menyesal menunda pendidikannya karena saat itu sedang bucin-bucinnya dengan Kirana. Bayangan kehilangan Kirana lebih menakutkan sehingga ia menunda terus rencananya. Padahal atasannya sering mengingatkan, “Rama buruan ambil S2. Jangan puas diri. Di sini itu rebutan naik jabatan. Mumpung masih muda. Lagian belum ada istri, berangkatlah. Bapak kamu kan dulu direktur? Masa kamu Cuma sampe segini aja? Ayo gantiin Pak Hanggara jadi direktur manajemen risiko.” Atasannya saat itu sempat-sempatnya bercanda.
Seharusnya ia berangkat tiga atau dua tahun yang lalu. Tetapi apa daya saat itu ia sedang bucin-bucinnya dengan Kirana dan lebih ketakutan kehilangan cinta. Kini usianya sudah 37 tahun. Rama menargetkan ia sudah harus menyelesaikan pendidikannya sebelum melewati umur 40. Tapi sebelum itu, ia harus menikah terlebih dulu. Rama tidak bisa menunda yang satu itu lebih lama lagi. Sudah saatnya ia memiliki istri sehingga bisa fokus mengejar peningkatan-peningkatan dalam hidupnya.
Rama sudah memikirkan jika ia melanjutkan pendidikan, berarti ia harus cuti dari jabatannya tanpa digaji. Bukan masalah besar baginya, karena dalam soal finansial ia tidak pernah kekurangan. Selain itu, tersedia program beasiswa dari perusahaannya untuk meneruskan jenjang pendidikan di 50 universitas top di luar negeri.
Akan tetapi, banyak yang memperebutkan kuota yang sangat terbatas itu. Namun jika gagal mendapatkan kuota itu, Rama sudah memutuskan untuk berangkat dengan biaya sendiri. Sebenarnya lebih mudah jika berangkat sebelum menikah. Akan tetapi Rama tidak bisa.
Ia tidak bisa melihat dirinya kesepian lebih akut lagi, apalagi di negara orang. Ia tidak ingin hanya ibunya yang ia hubungi saat homesick. Ia ingin punya seorang wanita yang menjadi penyemangatnya. Ia ingin punya seseorang yang akan selalu menjadi kekasih hatinya dan setia menunggunya kembali. Seandainya mau ikut pun, tidak masalah. Malah lebih bagus, jika istrinya nanti memang mau. Semua rencana-rencana itu sudah ada di kepalanya. Hanya tinggal menemukan siapa orangnya.
Siapa ya orangnya? Rama yakin bukan Kirana. Ia sudah tidak melihat bayangan masa depan bersama Kirana. Selama ini ia juga tidak pernah membicarakan perihal rencananya itu, karena Kirana selalu menemukan lelaki hebat lainnya.
Untuk apa membicarakan rencana yang belum pasti pada wanita yang selalu membuatnya merasa insecure? Padahal, ia siap memberikan dunia dan seisinya jika Kirana hanya bertahan dengan hatinya. Akan tetapi, Kirana selalu membuat arena kompetisi dengan pria-pria hebat lainnya.
“Jangan cerita tentang aset dan kekayaan keluarga kita, sama setiap cewek yang kamu suka, termasuk pacar kamu.” Rama masih mengingat pesan dari mendiang ayahnya. “Jangan cerita apa pun, sebelum dia jadi calon istri kamu. Dalam artian, kedua keluarga sudah ketemu dan sudah jelas memang menikah. Orang luar nggak perlu tahu aset dan kekayaan keluarga kita. Cukup cerita tentang kerjaan kamu dan kerja keras kamu. Kamu harus dipandang hebat karena siapa kamu, bukan karena siapa keluarga kamu. Tunjukkan kamu itu laki-laki yang bisa membangun kehidupannya sendiri, walau keluarga kamu itu mampu.”
Sejauh ini, Rama masih memegang kuat nasihat ayahnya. Maka dari itu, meski hubungannya dengan Kirana sudah berjalan sepuluh tahun, tidak pernah sekali pun ia bercerita tentang kekayaan dan aset-aset keluarganya, kecuali gerai batik ibunya dan bisnis kedua kakaknya. Kirana hanya tahu ia memiliki satu unit apartemen dan satu unit rumah yang ia usahakan dari tabungan dan penghasilannya sendiri.
Lagi pula, Rama sudah tidak ada keinginan untuk memamerkan aset keluarganya yang sampai kapan pun tidak akan sebanding dengan aset dan kekayaan keluarga si koko pemilik pabrik. Rasanya melelahkan ketika ia merasa harus selalu berkompetisi dan membandingkan diri dengan pria-pria lainnya.
Semakin lama ia mengenal Kirana, hatinya tidak dapat menyangkal jika Kirana memang matre. Akan tetapi hal itu tidak lantas membuat cintanya luntur. Rama beranggapan, wajar perempuan seperti Kirana matre. Maka dari itu, ia selalu berusaha menunjukkan pada Kirana, bahwa ia mampu memenuhi kebutuhan wanita itu. Bahwa Kirana tidak perlu mengkhawatirkan masa depan bila bersamanya. Akan tetapi, Kirana selalu menemukan pria-pria hebat lainnya meski ujung-ujungnya, kembali lagi kepadanya.
“Res, matre itu nggak wajar.” Rama mengingat nasihat yang pernah diberikan Radi. “Bedain matre sama realistis. Dua hal itu nggak berhubungan. Gue ogah sama cewek matre. Tapi gue setuju cewek harus realistis.”
Saat itu Rama merasa bedanya sangat tipis mengingat biaya hidup di Jakarta memang tinggi. Tapi yang jelas, ia sudah benar-benar siap menafkahi lahir batin. Akan tetapi, itu semua tidak pernah cukup bagi Kirana yang selalu menemukan pria hebat lainnya. Pria lain yang selalu membuatnya merasa kurang hebat.
“Udah tinggalin aja cewek sok kecantikan kayak gitu.” Nasihat Radi kembali muncul. “Cowok itu semakin tua semakin ganteng, like a fine wine. Lo masih bisa cari cewek yang lebih muda dari Kirana. Tapi Kirana? Kita liat berapa lama lagi Kirana bisa kegatelan sama cowok-cowok lain. Ntar ujung-ujungnya diporotin mokondo apa berondong, asal jangan dari duit lo. Kecantikan fisik itu ada masanya Res. Selama ini gue liat modal Kirana Cuma itu. Please lah lo cari cewek lain yang lebih mutu, bukan yang kayak kutu.”
Radi memang benar. Apa ia pilih saja satu dari ketiga wanita yang dikenalkan ibunya?
Sejak awal berkenalan, mereka tetap berkomunikasi hingga hari ini. Rama memaksa dirinya untuk tetap mengenali ketiga wanita itu, meski tidak ada yang menarik minatnya. Rama merasa perkara hati dan jodoh ini, sungguh berbanding terbalik dengan kehidupan karirnya yang berjalan lancar. Rama akui ia payah soal asmara. Kadang Rama berpikir, andai saja mata dan hatinya bisa sedikit berkompromi. Tetapi nyatanya tidak bisa.
Masa iya aku udah ngga bisa cinta sama perempuan lain? Dengan sedih Rama menyeruput mi instannya. Sungguh perjalanan cinta yang payah. Sepuluh tahun berjuang hanya untuk melihat Kirana menggandeng laki-laki lain. Kini hatinya bagai kehilangan arah. Entah mau ke mana dan mau bagaimana. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat untuk melupakan begitu saja.
Sepertinya memang ia ditakdirkan kurang beruntung soal asmara. Selama ini sisi kehidupannya yang lain berjalan baik-baik saja nyaris tanpa hambatan. Memang benar, tidak ada kehidupan yang sempurna.
Sejak kecil, ia sudah hidup enak dan tidak pernah susah. Ia lahir di tengah keluarga harmonis yang serba berlebih. Ayahnya juga bekerja di bank dan terakhir kali menjabat sebagai direktur bank swasta. Sementara ibunya lebih tertarik menggeluti bisnis. Kebetulan, ayah dan ibunya sama-sama datang dari keluarga yang lumayan berada. Saudara-saudara dari ayahnya rata-rata berprofesi sebagai bankir atau profesional. Sementara saudara-saudara dari ibunya kebanyakan memiliki bisnis sendiri.
Kedua kakaknya memilih mengikuti jejak ibunya dan ia memilih mengikuti jejak ayahnya. Rama tidak pernah memusingkan soal finansial, karena sebelum bekerja pun ia sudah punya simpanan yang lumayan banyak di rekeningnya. Tentu saja bersumber dari ayah dan ibunya, yang rutin mengirimkan sejumlah uang untuk tabungannya.
Selain bekerja dan berbisnis, ayah dan ibunya juga memiliki beberapa aset tidak bergerak seperti tanah, rumah, juga logam mulia. Ayahnya selalu berkata, jangan lupa investasi untuk jangka panjang. Meski sama-sama datang dari keluarga berada, Rama melihat ayah dan ibunya tetap kompak mengumpulkan kekayaan demi kekayaan.
“Itu rumah di Potlot buat kamu,” ucap ayahnya suatu ketika.
“Kegedean Pa,” cetus Rama saat itu. Memang rumah itu besar dengan lapangan tenis di dalamnya. Dulu saat masih menjabat sebagai direktur utama, ayahnya sering mengajak rekan-rekannya bermain tenis di rumah. Ayahnya memang penggemar tenis dan olahraga yang satu itu sudah ia kuasai dengan baik. Dulu setiap ada waktu, ayahnya akan melatihnya bermain tenis.
“Nggak pa-pa, biar kamu termotivasi beranak pinak. Kalo kamu punya anak kan rumahnya jadi rame.”
Saat itu Rama hanya tertawa mendengar pernyataan ayahnya.
“Papa mama dulu nunggu kamu lama lho. Dulu setelah Fika lahir, mama nggak hamil-hamil lagi. Mama kamu sempet hamil tapi keguguran karena faktor usia juga. Tapi waktu itu Papa pingin banget anak laki-laki. Papa pingin tahu gimana ya rasanya punya anak laki-laki? Tapi liat mama kamu keguguran, rasanya nggak tega. Tapi mama juga pingin punya anak laki-laki.”
Rama tentu masih mengingat kisah itu, tentang bagaimana penantian kedua orang tuanya yang sangat menginginkan anak laki-laki.
“Alhamdulillah mama kamu hamil lagi. Kamu bener-bener kita jagain sejak di kandungan. Papa larang mama kamu kecapekan, pokoknya Cuma boleh makan sama rebahan. Tiap hari Papa bacain surah Yusuf biar kamu ganteng.”
Rama ingat ia mendengarkan dengan sepenuh rasa haru.
“Kita bahagia banget pas kamu lahir. Alhamdulillah, akhirnya keturutan punya anak laki. Beneran kamu lahir itu ganteng banget. Dipuji-puji sama dokter, sama suster. Hati Papa hari itu tuh bahagiaaa banget. Setiap Papa gendong kamu, ajak kamu jalan-jalan keliling kompleks, semua orang pasti ngeliatin kamu. Mereka selalu bilang, “Anak juragannya ganteng ya Pak.”
Senyuman Rama lepas meski ia sudah mendengar kisah itu berkali-kali. Memang di lingkungan tempat tinggalnya yang lama mereka tidak saling mengenal tetangga satu sama lain. Rata-rata rumah di tempat tinggalnya berpagar tinggi, bahkan beberapa rumah dilengkapi pos security. Sebelas tahun yang lalu, rumah itu dijual oleh ayahnya dengan harga fantastis dan mereka pindah ke kawasan lain. Setelah ayahnya meninggal, hasil penjualan rumah tersebut sudah dibagikan kepada ahli waris masing-masing.
“Alhamdulillah kamu tumbuh jadi anak baik, Papa liat kamu juga nggak aneh-aneh padahal pergaulan udah makin nggak karuan. Kamu juga punya kerjaan yang bagus. Papa bangga sama kamu. Sekarang, Papa pingin liat kamu menikah, punya anak. Papa pingin timang cucu dari kamu.”
Rama hanya bisa mengenang wajah ayahnya yang sudah tiada. Ia tidak pernah bisa mewujudkan impian ayahnya untuk melihatnya menikah dan memiliki anak. Kini ia hanya punya ibunya. Rama tahu, ibunya takut jika tidak bisa menyaksikan dirinya menikah. Rama tahu, harapan terbesar ibunya saat ini adalah melihatnya menikah dan membangun rumah tangga. Tapi kenapa jalan menuju ke sana terasa sangat sulit?
***