Part 8.Dia Itu Janda
"When you know, you know
When you know, you know
It kinda makes me laugh, runnin' down that path
When you're good as gold.... "
Rama turut bersenandung sambil menatap lampu kuno yang menggantung di langit-langit ruang tamunya. Berbaring nyaman di atas sofa ditemani musik yang mengalun dari ponsel.
Lampu itu jauh dari kesan indah di matanya, meski terbuat dari rangka besi dan dihiasi ornamen wajah seperti wajah wanita. Pada sisi kanan dan kiri terjuntai ornamen daun yang jika dilihat-lihat juga tampak seperti sayap. Kata Mas Agus, lampu itu tidak pernah diturunkan yang berarti benda antik itu sudah ada sejak dulu kala.
Sejujurnya, Rama selalu menghindari menatap lama-lama lampu gantung yang terkesan mistis itu. Akan tetapi, bukan lampu itu yang ia lihat meski sedari tadi matanya mengarah ke sana.
Sebenarnya sejak tadi ia memanggil wajah lain yang membuatnya tanpa sadar larut menatap ukiran wajah pada lampu. Bukan wajah nyaris sempurna dengan tulang pipi yang tinggi. Melainkan wajah bulat, yang akhir-akhir ini terlihat semakin lucu jika tersenyum.
Kalau dilihat-lihat.....
Rama kembali memanggil setiap detail pada wajah yang akhir-akhir ini selalu membuntutinya ke mana pun. Ia tidak bisa bersembunyi dari wajah itu. Sejak ia membuka mata di pagi hari, wajah itu sudah muncul dan mengisi benaknya.
Wajah itu juga membuatnya malas melakukan hal lain. Sore tadi ia tidak ingin mengunjungi gym seperti biasanya dan memilih pulang demi mencari ketenangan di rumah dinasnya yang sunyi. Padahal tidak ada yang dilakukan selain rebahan sambil mendengarkan lagu-lagu berirama lambat.
Sedari tadi ia hanya begini saja, tidak melakukan apa pun sambil bersenandung kecil mengikuti musik yang menjadi menjadi pengusir sunyi. Rama menambahkan lagu yang baru saja ia dengar ke dalam playlist barunya yang ia beri judul Jember.
Rama sengaja memberi nama demikian agar tidak tertukar dengan playlist lagu-lagu mellow-nya yang lain. Rencananya, playlist ini yang akan menemani perjalanannya dengan Shinta .
Bagaimana bisa Shinta membuat hatinya berakhir tak karuan seperti saat ini? Sampai sekarang, Rama belum menemukan jawabannya. Shinta ternyata bisa menyeret perhatiannya, hingga melewati batas yang seharusnya.
Apa istimewanya dia? Rama berusaha mencari kehebatan Shinta .
"Apanya apanya apanya dong, apanya dong, dang ding dong!" Rama bersenandung lagu yang bahkan tidak ada di dalam playlist-nya. Otaknya bagai melintasi dunia lain, di mana hanya ada wajah Shinta di sana.
Lalu apa istimewanya Shinta ?
Rama kembali mencari jawaban, mengingat selama ini perempuan yang sempat masuk ke dalam list-nya hanyalah perempuan-perempuan dengan penampilan nyaris sempurna. Akan tetapi, Shinta hanyalah Shinta . Justru karena Shinta hanyalah Shinta , sekretarisnya itu kini tampak berbeda di matanya.
Entah mengapa, ia menyimpan cemas saat diam-diam menghitung kotak bekal Shinta yang terlihat dari layar CCTV. Kenapa cuma dua?
Setahunya Shinta suka makan. Saat Shinta makan, Shinta seperti memiliki seluruh kebahagiaannya sendiri. Ia sering mendapati Shinta mengerjakan sesuatu sambil ngemil. Saat keluar dari ruangannya, ia sering melihat di meja Shinta ada sedikit keripik di atas tisu.
Apa Shinta diet? Pertanyaan itu sempat terlintas di kepalanya. Mendadak, Rama berharap pipi chubby Shinta tidak kempes. Menurutnya, Shinta sudah cukup seperti itu saja. Justru karena chubby, Shinta jadi terlihat segar dan lucu.
Selain itu, Shinta juga terlihat cuek dan tidak mengejar validasi siapa pun. Bahkan saat sudah berpenampilan lebih baik, Shinta tidak juga memposting fotonya yang paling baru. Padahal wanita-wanita cantik yang pernah ia kenal, tampak masih membutuhkan validasi meski sudah terlihat nyaris sempurna. Salah satunya Kirana. Ada saja bagian yang menurut Kirana masih kurang sehingga mengejar treatment berjuta-juta. Tapi Shinta .....
Shinta bahkan percaya diri mengunggah foto dengan daster motif taplak meja. Ia yang seganteng ini saja tidak pernah percaya diri memposting foto hanya dalam baju rumahan. Tapi Shinta ...
Keren. Senyuman Rama mengembang tipis. Sungguh sifat seperti itu tidak ada dalam dirinya yang selalu jaga image. Meskipun kata teman-temannya, "Lo ganteng lo aman," Rama tidak pernah bisa slengekan dan bersikap seenaknya. Apa yang ia tampilkan di hadapan orang lain, harus selalu terlihat pantas.
"Saya tahu itu pasti Bapak. Selalu Bapak orangnya."
Kalimat Shinta tadi kembali terngiang-ngiang.
Ya Allah! Tanpa sadar Rama menenggelamkan wajahnya pada bantal di sofa. Rama tahu mungkin ia berlebihan. Tapi sudah lama ia kehilangan makna sebagai seseorang yang dianggap menjadi selalu itu. Saat mendengar pernyataan Shinta , ia merasa bagai ditemukan.
Rama sudah lupa kapan terakhir kali merasa ditemukan oleh seseorang. Selama ini ia menggenggam sendiri harapannya, berharap dimiliki sepenuhnya oleh Kirana.
Apa kurangnya aku? Pertanyaan itu selalu muncul ketika ia sudah melakukan segalanya, tetapi Kirana masih mencari lelaki lainnya.
Lihat aku. Ia selalu berbicara melalui matanya yang memohon kasih. Tapi Kirana hanya memberikan kebahagiaan semu yang sewaktu-waktu bisa pergi dan ia hanya mengulang semua masa-masa indah itu di dalam kepalanya. Setelah itu, semuanya tidak pernah sama lagi. Kadar kebahagiaannya terus menurun dan ia memaksa dirinya tinggal di dalam ekspektasinya sendiri. Selama ini harapannya sendiri yang membuatnya tetap bertahan meski kenyataan tidak pernah berubah.
Ia sudah tidak lagi merasa ditemukan, meski Kirana selalu mengakuinya sebagai rumah. Ia hanya menjadi tempat kembali yang nyaman, tapi tidak pernah merasa aman. Semua itu hanya siklus berulang yang membuatnya merasa tidak pernah benar-benar berarti. Ia merasa sendiri saat terlibat di dalam hubungan. Ia sering bertanya-tanya, apakah ia menjadi satu-satunya pihak yang tenggelam emosional?
Akan tetapi wanita lain yang tidak ia sangka-sangka menyanjung hatinya. Terbaca begitu lugu, jujur, jauh dari kesan bermain-main. Apa yang akan ia lakukan, ketika selalu mejadi orang itu?
Tunggu, apa berarti orang itu aku? Rama kembali mengingat kecurigaannya terhadap staf lain yang menjadi penyebab Shinta berdandan lebih berani. Apa jangan-jangan juga dirinya yang menjadi penyebab Shinta berubah menjadi lebih enak dilihat?
Kenapa nggak? Bisa jadi kan? Rama bagai menyadari sesuatu.
Ia tampan dan menarik, dengan karir yang mentereng. Kenapa Shinta tidak melirik pria sepertinya? Dan ke mana saja ia selama ini sehingga baru menyadarinya?
Dasar bajingan! Senyuman Rama lepas saat mengutuk dirinya sendiri. Kenapa ia harus berpikir bahwa laki-laki itu Sammy atau pria-pria lainnya? Kenapa laki-laki itu bukan dirinya? Bukankah Shinta sudah mengatakannya secara jelas?
"Selalu Bapak orangnya."
HA HA HA HA! Rama bajingan! Rama menggeleng sendirian dengan cengiran di wajah meski seumur-umur merasa terlalu cupu jika menganggap diri bajingan. Bagaimana bisa ia tidak menyadarinya? Tentu saja ia yang keren dan hebat ini menjadi penyebab Shinta jungkir balik merubah penampilan. Dari riasan yang gagal total hingga bertransformasi menjadi mamah-mamah muda yang lebih enak dilihat.
Jadi semua itu buat aku? Rama tersipu sendirian, ketika aliran aneh merambat dari dada ke wajahnya sehingga membuat pipinya menjadi sedikit panas.
Selalu aku. Selalu aku orangnya!
Nada dering yang menginterupsi membuat Rama segera menatap layar. Ia melihat MAMA sedang memanggil. Dengan sisa senyuman di wajah Rama segera duduk tegak dan menggeser layar.
"Halo?" Tidak lama kemudian Ia melihat wajah ibunya.
"Res, di rumah?"
"Iya. Kenapa Ma?"
"Yang kemarin itu kan keputus.... "
"Yang kemarin?"
"Iya, yang Mama tanya ke kamu kan belum kamu jawab. Dari tiga cewek yang Mama kenalin, yang mana yang mau kamu jadiin istri?"
Oh..... iya. Rama nyaris lupa.
"Ooooh.... i... itu ya Ma?"
"Iya, jadi yang mana Res?" tanya ibunya dengan tatap antusias.
"Hmmmm...." Rama menggumam kecil sambil menepuk-nepuk bibirnya dengan jari telunjuk. Sejenak ia memanggil kembali ingatan akan wajah Edrea, yang hendak ia pilih sebagai calon istri. Tapi ia tidak begitu ingat meski sempat melihat foto terbaru Edrea di Instagram.
Rama hanya mengingat bagaimana perasaannya yang saat itu begitu tawar. Ia tidak merasakan segala kekacauan di hatinya seperti saat ini. Matanya tidak terjerat dan dadanya tidak berdegup. Tidak ada hal-hal yang membuatnya menanti-nantikan pertemuan selanjutnya.
"Res?"
"Hm?"
"Kok malah bengong? Mama nungguin. Siapa yang mau kamu nikahin?"
Selintas wajah Shinta muncul.
Eh! Rama segera mengerjap saat menyadari bayangan itu terlalu jauh. Tidak, tunggu, terlalu cepat untuk berpikir ke arah sana. Rama hanya ingin menikmati hatinya yang kembali terbawa.
"Res?"
"Hem?"
"Jadi yang mana Res?"
"Yang...... " Rama menahan bibirnya dengan tatap cemas. Ia melihat kedua mata ibunya membulat.
"Yang mana?"
"Ma kayaknya, kayaknya.... aku perlu..... waktu....."
Rama segera menemukan tatap heran ibunya.
"Kata kamu, kamu udah mau nikah? Kamu udah siap?"
"Aku emang udah siap tapi.... aku jadi bingung."
"Bingung kenapa?"
"Aaaa....." Rama membiarkan bibirnya menggantung.
Dia janda, bisikan itu muncul di telinganya.
"Res?"
"Kayaknya kemarin, aku terlalu emosional. Sori Ma aku... aku kayaknya belum siap."
"Apa?" Ibunya menatap kecewa. "Rama kamu jangan labil...."
"Bukan gitu Ma...."
"Res, Mama tahu kamu belum bisa lupain Kirana...."
Tapi ini janda, sanggahan itu hanya sampai di balik bibirnya yang tertutup rapat.
"Tapi mau sampe kapan Res?"
"Ma...."
"Mama sedih liat kamu kayak gini. Udahlah lupain Kirana. Kenapa sih kamu susah banget lupain dia?"
"Ma bukan.... "
"Kamu itu anak laki satu-satunya!" tukas ibunya, "Mama mau liat cucu dari kamu sebelum Mama mati..."
"Ya ampun Ma! Jangan ngomong gitu Ma!" Rama menatap takut.
"Mama ini udah tua Reees, Mama nggak ikut punya umur. Nikah Res, nikah! Mama nggak bisa liat kamu terus-terusan kayak gini! Nikah Res! Nikah! Mau sampe kapan kamu begini? Kamu udah mau empat puluh!"
"Iya." Rama mengangguk demi meredakan kekecewaan ibunya. "Iya, Rama nikah Ma...."
Ibunya tampak mengusap air mata, membuat Rama merasa tidak tega. Tapi bagaimana dengan hatinya? Akan tetapi...
Dia janda, bisikan itu kembali muncul. Membuat Rama semakin frustasi.
"Jadi dari ketiga cewek itu siapa yang mau kamu nikahin?"
Bibir Rama kembali tertahan.
"Sebut namanya, Mama atur pertemuan sama keluarganya. Nggak usah lama-lama, Mama mau liat kamu cepet nikah!"
Rama hendak menyebut nama, tetapi sesuatu menahan dirinya. Kenapa ia harus menikah dengan wanita yang tidak pernah menyeret minatnya? Mungkin ibunya akan bahagia, tapi setelah itu ia akan menjalani seumur hidupnya dengan sandiwara.
"Nanti Rama bawa ke rumah...." Rama tidak tahu sedang bicara apa, tapi ia hanya berusaha menunda sebisanya. Mendadak, ia tidak ingin buru-buru menikah. Belum, jangan sekarang. Hatinya belum siap berkorban sejauh itu, meski demi kebahagiaan ibunya.
"Res....."
"Percaya sama aku, Ma. Kasih aku waktu sedikit lagi.... aku pasti nikah. Aku bakal kasih Mama cucu. Jangan sedih ya Ma?"
***