Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 3. Semakin Aneh Saja

Sebenarnya apa maksud Rama ?

Pertanyaan itu masih awet tertinggal di kepalanya, apalagi sejak akhir-akhir ini sikap Rama semakin aneh saja. Malam itu sambil menyantap makan malamnya, Shinta memikirkan sikap Rama .

Tentu saja Shinta sudah tahu, siapa yang meletakkan pelindung tumit anti lecet di atas mejanya. Jumat sore sebelum pulang, ia menemukan benda itu di dekat komputernya. Senin pagi saat Rama sedang cuti, Shinta berinisiatif mengecek melalui rekaman CCTV. Siapa yang meletakkan benda itu di mejanya? Shinta sudah tidak bisa terkejut lagi saat melihat di Jumat sore, Rama yang meletakkan benda itu di mejanya.

Kenapa Rama harus sepeduli itu kepadanya? Kenapa Rama bisa tahu jika tumitnya sakit? Shinta terlambat menyadari jika Rama bisa saja memperhatikannya melalui kamera CCTV. Ia nyaris melupakan hal tersebut dan melihat bahwa dari layar CCTV Rama bisa memantau pergerakan para staf. Dan yang paling jelas terlihat dari layar di meja Rama , adalah mejanya yang berada di depan ruangan Rama .

Pertanyaan lain menyusul. Lantas mengapa Rama menaruh perhatian kepadanya?

"Dia itu selalu berantakan. Nggak rapi, terus jilbabnya menceng-menceng, sama sering kusut. Pokoknya nggak enak dilihat. Pernah bibirnya pecah-pecah, itu dibiarin aja. Gue tuh kan nggak bisa liat yang kayak gitu, ya udah gue beliin vitamin C sama lip balm. Terus jilbab dia selalu kusut, nggak tahu itu bahannya atau dia yang kurang rapi pas setrika, nggak tahu deh. Ya udah gue beliin lah jilbab yang bagusan. Maksud gue, gue tuh mau ngasih tahu secara halus kalau penampilan dia itu nggak rapi. Eh lo tahu? Jilbab dari gue malah disimpen terus dia tetep nongol aja pake jilbab yang biasanya."

Shinta masih mengingat dengan jelas, pembicaraan Rama yang tanpa sengaja ia dengar. Sampai sekarang, ia masih malu sekaligus sakit hati jika mengingatnya. Suara Rama di hari itu selalu menggema lantang di telinganya.

"Mungkin ada laki yang lagi dia suka..."

"Dandanan dia tuh failed..."

"Nggak enak banget diliat..."

"Mata gue sakit liat mukanya...."

Kalimat demi kalimat menyakitkan itu muncul silih berganti di telinganya.

"Mata gue sakit liat mukanya.... mata gue sakit liat mukanya.... mata gue sakit liat mukanya.... mata gue sakit liat mukanya.... mata gue sakit liat mukanya.... mata gue sakit liat mukanya.... "

Kalimat itu bagai ujung pisau, yang menambah-nambahi luka baru di hatinya. Seumur hidup, baru kali ini ia mendengar penghinaan sekeras itu dari laki-laki. Selama ini ia sudah pernah mendapatkan hinaan keras melalui status-status Yuni. Shinta kembali mengingat status-status Instagram Yuni, yang seolah memang ditujukan kepadanya.

'Makanya badan dijaga, senam dulu yuk buat nyenengin mata suami.'

'Hempas lemak biar suami royal.'

'Enaknya dinafkahin. Situ nggak bisa kan?'

'Makanya jadi istri harus cantik. Mata laki nggak bisa bohong, jangan lupa jaga badan biar suami setia... jangan malah nyalahin cewek lain yang effort tampil menarik. NGACA! Suami nggak setia? Introspeksi!'

Saat pertama kali memergoki mereka, ia memang marah dan sempat mengatai Yuni seperti, "Mbak tega kamu jalan sama suami orang! Murahan kamu! Pelacur!"

Shinta rasa wajar karena ia sangat berhak marah. Tapi setelahnya ia tidak pernah merasa perlu berurusan dengan Yuni dan hanya berkonfrontasi dengan Galih. Tapi entah mengapa Yuni tidak selesai-selesai menyindir dirinya, bahkan setelah berhasil mendapatkan Galih.

Padahal, ia sudah merelakan Galih yang selama menikah dengannya tidak pernah memberi masukan pada penampilannya. Boro-boro memberi masukan, ia membeli lipstik baru saja Galih sudah menginvestigasi berapa harganya dan mengingatkan agar ia tidak boros menggunakan gajinya karena keperluan mereka masih banyak. Ia sampai harus mengejar harga diskon lipstik yang sudah murah demi menghindari perasaan bersalah karena menggunakan gajinya untuk kepentingannya sendiri.

Siapa sangka, ia harus mendengar kembali hinaan seperti itu dari mulut Rama . Meski Rama tidak mengatakannya secara terang-terangan, tetap saja ia sakit hati. Demi menyelamatkan harga dirinya di mata Rama , ia bertekad berpenampilan lebih baik seperti saat ini.

Tapi tumitnya?

Bukankah tumitnya tersembunyi dari mata Rama ? Lantas untuk apa Rama memperhatikannya hingga ke tumit kaki?

Demi menghindari canggung, Shinta memutuskan diam saja. Barang pemberian Rama itu hanya ia simpan di lacinya, dan ia memilih membeli sendiri pelindung tumit serupa. Sekarang ia sudah tidak bisa memandang kebaikan Rama dengan cara yang sama. Lagi pula, Rama juga tidak mengatakan apa pun. Ketika Rama kembali dari cuti, ia tidak membahas hal itu dan Rama tampaknya juga tidak berniat membahas perkara tumitnya. Tapi yang membuat bingung, sikap Rama yang terlihat berbeda.

Shinta menilai gelagat Rama itu semakin aneh saja. Sedikit ragu Shinta merasa, ada yang berbeda dari cara Rama menatapnya.

Wajah Rama terlihat seperti menyelami wajahnya dan itu membuat tidak nyaman. Lalu tidak biasanya Rama berbasa-basi soal penampilannya, seperti membahas softlens dan kacamata. Untuk apa Rama menanyakan di mana ia membeli kacamata jika lelaki itu tidak mengenakan kacamata?

Tetapi Shinta sudah tidak ingin geer lagi. Ia memilih beranggapan, mungkin saja mata Rama sedang meneliti penampilannya, apakah sudah rapi atau belum? Apakah membuat sakit mata atau tidak? Shinta sudah tidak ingin ambil pusing, meski belum-belum ia sudah malas membayangkan betapa canggungnya saat harus berdua-berduaan dengan Rama sepulang meeting dari Jember.

Kenapa nggak ngajak Sammy aja sih? Shinta menggigit potongan tahu di atas piringnya. Kan enak kalo ngajak Sammy, biar disetirin Sammy. Aku bisa pulang cepet rebahan di rumah sama anak-anak. Males banget lima jam di jalan sama dia, mana sampe sini pasti udah malem. Anak-anak udah tidur.

"Nggak makan Shinta ?" Murni mendekati meja makan dan melihat Shinta menyantap tahu tanpa nasi.

"Nggak Buk, mau minum susu diet aja."

"Jangan diet ketat-ketat Shinta . Makan aja dikit. Ini anak-anak udah makan." Murni meletakkan piring di dapur. Ia baru saja menyuapi Kenan dan Shakila makan malam. Sekarang kedua anak itu sedang membereskan mainan sebelum belajar dan mengerjakan PR.

"Aku pingin kurusan Buk." Shinta menyahut gelas yang biasa ia gunakan untuk membuat susu diet.

Murni hanya bisa menatap maklum. Saat ini Shinta sedang semangat-semangatnya diet. Yang biasanya membawa lima kotak bekal ke kantor, kini hanya dua kotak yang berisi buah dan menu makan siang. Shinta mengganti sarapannya dengan buah dan susu diet. Menu makan siang pun terlihat seperti makanan kucing, dengan sedikit nasi. Mungkin hanya satu centong nasi. Shinta sering mengaku pusing karena menahan lapar, tetapi memilih mengisi perut dengan buah dan susu.

"Kamu nggak laper Shinta ?" tanyanya kemudian.

"Laper Buk. Tapi kata Mbak Indah, lama kelamaan biasa."

"Biasa kelaperan?"

"Bukan gitu Buk. Kata Mbak Indah, lambung itu membiasakan porsi makanan yang kita konsumsi tiap hari. Kalo biasa ngatur pola makan, kita jadi nggak rakus mau makan ini itu. Jadi kayak lambung ini udah terbiasa sama porsi yang lebih sedikit. Jadi kalo udah makan segitu ya udah... kenyang nggak pingin makan lagi. Nah ini Shinta lagi membiasakan supaya makan seperlunya. Nasi nggak usah banyak-banyak, soalnya nasi itu yang bikin gemuk. Shinta juga udah ngurangi nyemil gorengan. Kalo pingin cuma ambil satu atau dua, udah. Nggak sampe makan lima biji kayak dulu."

Murni manggut-manggut dengan senyuman tertahan. Selain semangat diet, Shinta juga jadi lebih semangat olahraga. Murni melihat kini setiap Sabtu dan Minggu pagi Shinta menyempatkan waktu untuk jogging atau senam di kamarnya. Shinta bahkan sudah membeli matras untuk berolahraga.

Tentu saja Murni mendukung niat Shinta untuk tampil lebih menarik. Sebenarnya ia masih bertanya-tanya, apa gerangan yang membuat Shinta tiba-tiba ingin merubah penampilan sedemikian kerasnya? Shinta pernah berkata jika semua ini bukan soal laki-laki. Murni ingin mempercayainya mengingat selama ini memang tidak ada satu pun laki-laki yang memotivasi Shinta untuk berpenampilan lebih menarik, termasuk Galih sekali pun.

Sejak dulu, Shinta cuek soal penampilan. Shinta tidak terlalu tertarik memoles penampilan dan lebih tertarik menyantap makanan enak. Shinta juga cenderung memilih berpenampilan biasa-biasa saja.

Selain cuek soal penampilan, Shinta juga cuek soal pergaulan. Shinta nyaris tidak pernah tertarik pergi ke luar rumah. Shinta lebih suka berdiam diri di dalam rumah. Kadang-kadang saja Shinta pergi ke luar bersama teman-teman perempuannya.

Tentu saja saat masih gadis dulu Shinta sempat berpacaran meski tidak sering. Seingat Murni, hanya dua kali semasa kuliah sebelum bertemu dengan Galih. Itu pun tidak lama, hanya dalam hitungan bulan karena si pemuda tidak pernah terlihat datang lagi. Mantan-mantan pacar Shinta pun juga biasa-biasa saja seperti Galih.

Murni pernah menanyakan, ke mana pemuda yang biasanya datang ke rumah? Mengapa tidak terlihat lagi? Shinta hanya menjawab, "Nggak tahu. Tiba-tiba nggak ada kabar."

Setelah bekerja, Shinta keluar rumah hanya untuk ke salon atau membeli baju. Biasanya Shinta pulang sambil membawa makanan enak. Seingat Murni, Shinta hampir tidak pernah punya teman cowok selain dua pemuda semasa kuliah yang sudah jadi mantan pacar.

Maka dari itu, Murni luar biasa heran saat Shinta menjadi kelewat bersemangat soal penampilan. Murni sempat berpikir jika semua ini karena laki-laki. Tetapi Shinta berkata sebaliknya. Apa Shinta sudah mulai bosan sendirian dan berencana menebar jaring? Tentu saja pertanyaan itu sempat terlintas di kepalanya meski ia tidak terlalu yakin mengingat Shinta bukan tipe yang suka menebar jaring seperti itu. Setelah menjanda, Shinta malah semakin rapat menutup diri.

"Kalau sudah cantik, sudah langsing, masa tetep sendirian Shinta ?" goda Murni sambil mengamati Shinta yang sedang mengaduk susunya.

"Maksud Ibuk Shinta harus gimana?" Shinta melirik malas. Lagi-lagi ibunya membahas soal ini.

"Yaa.... kalau kamu sudah nggak trauma sama laki-laki, bolehlah berteman sama laki-laki yang baik."

"Buk, aku udah trauma sama makhluk yang namanya laki-laki. Kalau hidup sendiri udah bahagia, ngapain cari masalah?"

"Nggak semua laki-laki itu bawa masalah Shinta ..."

"Selama ini cuma dua laki-laki yang aku kenal paling baik."

"Siapa?" Kedua mata Murni melebar.

"Ayah sama Pak Andika." Shinta tersenyum singkat. "Ayah laki-laki yang tanggung jawab. Walau hidup pas-pasan tapi ayah setia dan nggak pernah jahat sama kita. Kalau Pak Andika, Ibuk udah tahu lah gimana dia. Kalau waktu itu nggak ada Pak Andika yang mau dengerin masalah aku, yang mau support aku di tempat kerja, mungkin aku udah lebih hancur lagi Buk. Pak Andika yang cariin posisi nyaman buat aku, yang beban kerjanya nggak seberat di consumer card, yang nggak bikin aku ke-trigger gara-gara ngeliatin utang-utang kartu kredit nasabah. Dia care di saat nggak ada yang peduli. Aku anggap Pak Andika udah kayak Bapak di kantor. Aku respek sama dia. Beneran Pak Andika itu baik banget."

Yah, kirain Pak Rama . Murni menelan kecewanya.

"Masa di kantor kamu, nggak ada yang baik sih? Selain Pak Andika?"

"Yang aku beneran kenal deket kan Pak Andika. Yang lain, mana mau care?"

"Yang baik masa nggak ada?"

"Ada sih, Pak Sodiq. Orangnya alim, diem, cekatan, kalo adzan langsung ambil wudhu. Rajin Dhuha juga. Tapi udah nikah," ungkap Shinta dengan tampang acuh. Ia sudah tahu ke arah mana pembicaraan ibunya.

"Pak Rama itu nggak baik?" Murni tidak tahan mengeluarkan pendapatnya. "Dia kan care juga sama kamu? Dia beliin kamu vitamin C sama yang buat bibir itu. Dia juga beliin anak-anak pizza. Jilbab yang dikasih dia aja bagus banget."

"Buk, Pak Rama nggak sebaik itu. Ibuk nggak kenal aja dia kayak gimana. Bukan berarti karena dia royal, berarti dia baik. Dia cuma nggak pelit aja."

"Maksud kamu?"

"Aku males cerita."

"Dia kenapa Shinta ?" Murni menatap cemas. Padahal hampir setiap hari ia menyebut nama Rama dalam doa-doa setelah salat lima waktu, salat Dhuha, juga salat Tahajud. Bahkan kini Murni puasa Senin-Kamis demi memohon lebih kuat. Siapa tahu jodoh.

"Pokoknya, Pak Rama itu nggak sebaik itu. Ibuk nggak perlu tahu lah, cukup Shinta yang tahu. Tapi sikap dia itu udah nunjukin, kalo dia itu nggak beneran sebaik itu." Shinta sudah tidak ingin mengungkit sikap Rama yang menjadi penyebab sakit hatinya yang paling baru.

"Iya nggak baik kenapa Shinta ? Padahal kayaknya dia baik..."

"Ya pokoknya gitu deh. Kalau Ibuk suka jilbabnya ambil aja, Shinta nggak mau pakek." Shinta membawa gelasnya ke dapur.

Lhah kok jadi gitu? Murni hanya bisa menatap heran.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel