Part 2. Dia Jendes lhoooooo
‘Ini temen-temen risk ngapain aja ya sampe ini lolos?’
Rama menatap tegang layar laptopnya yang masih terbuka. Sore ini di grup chat para kepala departemen, Marlo Sasmita sedang menanyakan apakah stock opname di tiap-tiap outlet prioritas berjalan sesuai prosedur dikarenakan temuan OJK di salah satu area di wilayah lain. Tentu saja nada pertanyaan Marlo terdengar sebagai peringatan keras bagi mereka semua.
‘All dept head pantau dong lini di bawahnya. Masa kesalahan kayak gini masih ada aja sih? Langsung OJK nih yang nemuin. Masa saya harus ngomel dulu di grup? Harusnya kesalahan-kesalahan operasional kayak gini nggak usah sampai depan mata saya. Kalo masih sampai depan mata saya, berarti semua jajaran manajer di bawah saya TIDUR semua dong?’
Rama otomatis merasa tersindir mengingat ia selalu terserang kantuk menjelang jam dua siang. Sempat terpikir olehnya, jangan-jangan manajer di bawah aku juga tidur?
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan tidur. Rama menganggap waktu tidur itu adalah jam istirahatnya di kantor. Hanya saja para bos-bos di atas sana, sangat suka menggunakan istilah tidur sebagai bahasa lain teledor.
Tidak sampai semenit, ia melihat tanggapan dari rekan-rekannya sesama departmen head.
Angga Respati – DH Bandung Soetta
Baik Bapak akan menjadi perhatian kami
Brahma Laksana – DH Jakarta 3
Baik Bapak, akan kami reminder kembali
Tantiana Malya – DH Jakarta 5
Baik Bapak, akan menjadi perhatian kami
Rama tentu saja turut memberikan tanggapan yang isinya kurang lebih sama.
‘Baik Bapak terima kasih reminder-nya, akan menjadi perhatian kami.’
Berikutnya ia segera mengetik pesan kepada Shinta .
‘Shinta , tolong buatin jadwal stock opname ke seluruh cabang buat besok. Serentak seluruh area, wajib dilakukan oleh kepala cabang dan dipantau oleh tim audit. Besok jam sembilan pagi atur meeting online sama all risk manager, minta tolong Pak Sodiq bikinin materi risiko operasional cabang.’
Rama mengirim pesannya kepada Shinta dan segera berbalas, ‘Siap Bapak.’
Tidak lama kemudian ponselnya berdering. Rama melihat panggilan masuk dari ibunya.
“Halo?” Ia segera menerima panggilan.
“Di mana Res?”
“Kantor Ma. Kenapa?”
“Sibuk?”
“Nggak terlalu.” Rama menyandarksn punggungnya. “Kenapa Ma?”
“Enggak, ya Mama mau tanya aja. Habis dari Jogja kok nggak ada cerita-cerita? Gimana? Dari tiga cewek itu ada yang kamu suka?”
Rama membisu sambil menggaruk kecil keningnya. Jawaban apa yang harus ia berikan?
Saat pulang ke Jakarta kemarin, ia mengobrol banyak dengan ibunya. Ibunya berharap ia segera menikah dan memberikan cucu. Ibunya bahkan sudah menentukan gerai batik mana saja yang akan diurus oleh istrinya kelak. Tentu ibunya sempat menanyakan kesannya terhadap Fayre, yang kebetulan juga berada di Jakarta. Saat itu Rama hanya menjawab, lumayan demi menghindari kekecewaan ibunya.
“Res...? Gimana? Ada yang kamu suka?”
Rama membuang napas berat sambil menatap hampa pintu ruangannya. “Nggak ada Ma,” jawabnya dengan hati berat.
“Ya Allah....” Terdengar nada kecewa ibunya.
“Tapi aku mau nikah Ma...” Rama segera meralat jawabannya.
“Maksud kamu?”
“Nggak pa-pa Ma. Aku tetep nikah...” Rama menunduk dan menatap sedih tuts laptopnya.
“Ya Allah Nak.... kamu sanggup begitu?”
“Mau gimana lagi? Kalau nunggu suka, kayaknya aku nggak bakal suka siapa-siapa....”
“Kamu udah terlanjur habis-habisan sama orang yang salah.”
Rama tidak menyangkal lagi.
“Kamu beneran mau nikah? Udah siap?”
“Insya Allah Ma. Apalagi yang mau aku cari? Secara finansial aku udah siap banget....” Rama menatap lesu layar laptopnya. Ia tahu jika terus menunggu, mungkin ia tidak akan pernah sampai pada pelaminan. Rama merasa dalam hal ini ia memang harus memaksa dirinya sendiri.
“Alhamdulillah kalau kamu udah ngerasa siap. Insya Allah, cinta itu tumbuh seiring jalannya waktu Res. Mama yakin kamu pasti bisa cinta juga sayang sama istri kamu.”
“Amin,” sahut Rama dengan ragu.
“Terus antara Fayre, Edrea, sama Medina, mana yang menurut kamu paling cocok dijadiin istri?”
Rama menahan gerak bibirnya sejenak. Dari ketiga kandidat, ia merasa Edrea yang paling memenuhi kualifikasi. Fayre sudah jelas tidak memenuhi kualifikasi. Sementara Medina, wanita itu sebenarnya juga lumayan. Akan tetapi, Medina sudah susah payah membangun karirnya menjadi dosen. Medina juga sudah nyaman menetap di Jogja. Sepertinya akan sulit bagi Medina untuk memilih antara dirinya dan karir.
Setelah bertemu dan mengobrol langsung dengan ketiganya, Rama merasa Edrea lebih fleksibel. Sepertinya Edrea tidak keberatan menjadi full time wife sambil mengurus gerai batik ibunya.
“Siapa Res?” tanya ibunya lagi.
Tepat sebelum Rama menyebut nama, pintu ruangan diketuk dan ia melihat Shinta yang tampak serba salah saat menemukannya sedang menerima panggilan telepon. Rama reflek menurunkan ponselnya dan bertanya melalui isyarat mata, tetapi Shinta langsung membungkuk kikuk sebagai isyarat minta maaf.
“Ke....” Kalimat Rama tertahan saat Shinta tergesa menutup pintu. Padahal ia bermaksud bertanya, kenapa?
Bibir Rama masih tertahan saat menatap pintu ruangannya yang sudah tertutup kembali. Kedua matanya langsung melirik layar CCTV dan ia melihat Shinta sepertinya sudah bersiap-siap pulang. Shinta tampak memasukkan sekotak Bakpia ke dalam tas-nya.
“Nanti aku telpon lagi Ma,” ucapnya sebelum mengakhiri panggilan.
“Iya Res.”
Rama mengakhiri panggilan dan memperhatikan Shinta yang tampak membagikan sisa oleh-oleh di kardus kepada para staf. Sodiq terlihat girang saat menambah satu kotak bakpia lagi. Billy dan Brili sepertinya berebut kotak Bakpia yang sama, mungkin memperebutkan varian rasa yang sama. Tidak lama kemudian Rama melihat Brili membuntuti Shinta dan melihat Shinta menukarkan kotak Bakpia yang sudah dimasukkan ke dalam tas. Brili terlihat girang dan suara gadis itu menembus dinding ruangannya.
“Makasih Bundaaa... Bunda baiiik deeeh, ibu peri!”
Seketika Rama mengernyitkan dahi. Shinta , kenapa kamu baik banget? Kenapa kamu harus ngalah buat dia?
Tidak lama kemudian ia melihat Sammy mendekat dan menukar kembali kotak Bakpia Shinta . Seketika alisnya terangkat.
“Bunda, katanya Shakila suka yang cokelat? Ini tuker sama punyaku aja.” Suara Sammy menembus dinding ruangannya.
“Aduh Sammy kamu baik bangeeeeet.” Rama mendengar suara Shinta yang di dalam layar CCTV memiringkan kepala saat menatap Sammy. “Makasih lhoo ya...”
“Anything for you Buuuund!”
Senyuman heran Rama tertahan saat menatap protes layar CCTV. Sungguh lucu sekali. Anything for you? Eh, itu gue yang beli! Sungguh si Sammy ini mokondo yang sangat lihai mengambil kesempatan.
Tunggu, kenapa aku jadi sensi? Mendadak Rama merasa heran dengan dirinya sendiri. Rama tenggelam dalam hening saat berusaha mengenali perasaan macam apa yang sedang berkecamuk di hatinya saat ini. Ada semacam perasaan tidak rela jika laki-laki lain menjadi pahlawan bagi Shinta .
Dengan sedikit bingung Rama berusaha menetralisir perasaannya. Kenapa harus ada perasaan semacam ini?
Dia janda dia janda dia janda dia janda dia janda. Rama kembali mengingatkan dirinya sendiri. Suara ketukan di pintu memecah hening. Rama melihat Shinta kembali muncul di hadapannya.
“Bapak, saya duluan ya Pak?” Sambil menyungging senyum Shinta izin pulang seperti biasanya.
“Temen-temen sudah ambil Bakpia-nya?” Rama pura-pura tidak tahu hanya untuk menahan wajah itu sedikit lebih lama di hadapannya.
“Sudah Pak.” Shinta berjalan lebih mendekat pada meja Rama .
“Kamu sudah.... ambil?” Rama mengunci wajah Shinta dengan tatapannya sambil bertanya-tanya dalam hati, kenapa gebrakannya ada aja? Kemarin softlens abu-abu, sekarang kacamata baru. Tapi semuanya keliatan pantes.
“Sudah Pak, makasih Pak.” Shinta kembali tersenyum, tetapi Rama hanya diam menatapnya.
“Kacamata kamu.... beli di mana?” Rama sengaja menahan Shinta di hadapannya.
“Di optik Pak.”
“Ya masa di pom bensin... “
“Oh maksud saya.... “ Shinta tersenyum geli saat menyadari jawaban konyolnya. “Di optik deket rumah Pak.”
“Hmm.... bagus. Maksud aku, daripada yang kemarin... yang ini modelnya.... “ Rama berusaha menata kata demi mata saat Shinta menatap lurus wajahnya. Gelisah yang digelayuti rasa malu kembali muncul. “Itu berapa?” Rama sudah tidak tahu harus bicara apa dan pertanyaan itu tercetus begitu saja.
“Oh ini....” Cengiran Shinta mengembang malu. “Delapan ratus ribu Pak. Kan limit asuransi buat kacamata kalo buat staf kayak saya Cuma 800.000...”
“Oooo.... “ Rama manggut-manggut. Ia tidak tahu apalagi yang harus dikatakan.
“Kalo gitu saya... pamit Pak.”
“Iya Shinta . Hati-hati ya.”
“Makasih Pak. Mari Pak.” Shinta membungkuk sopan sebelum undur diri dari hadapan Rama .
Rama menatap pintu ruangannya yang tertutup sebelum pandangan matanya bergeser pada layar CCTV. Kedua matanya memperhatikan Shinta yang tampak mengenakan tas punggung.
Tas gunung kamu ganti? Jaket dealer kamu mana?
Rama menahan matanya hingga Shinta lenyap dari layar CCTV. Rama beralih menatap layar laptopnya ketika menyadari perasaan aneh itu muncul lagi.
Kenapa perasaan ini harus ada? Rama mengusap wajahnya sebelum melirik jam dinding. Segera teringat ia belum menunaikan salat Ashar. Rama rasa ia harus segera mengambil air wudhu demi mendinginkan gejolak pada hatinya.
Lagian aku udah mau nikah, sama cewek lain. Rama kembali mengingatkan dirinya sendiri. Aku mau nikah sama cewek yang belum punya anak. Namun dahinya berkerut saat membayangkan kembali sosok Edrea. Yang ia ingat hanya rambut panjang kecoklatan, sisanya ia tidak ingat. Senyuman Edrea kayak gimana? Rama berusaha mengingat tapi yang muncul malah senyuman sekretarisnya.
Haduhh! Dengan putus asa Rama menenggelamkan wajahnya ke atas meja. Akan tetapi Rama sadar, ia sudah melangkah maju.