Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Cinta Pada Pandangan Pertama

Bab 7 Cinta Pada Pandangan Pertama

Dokter Salwa dalam arahan pagi di hari yang pertama bertugas, menekankan akan pentingnya disiplin waktu kerja. Untuk bisa menegakkan apa yang telah ia sampaikan, selama dua minggu penuh Salwa selalu berdiri di halaman Puskesmas. Terutama saat pagi hari, sehingga ritual menunggu idola desa lewat itu mulai hilang perlahan-lahan. Para staf menjadi sungkan untuk tetap duduk atau berdiri ngobrol di depan karena ada Salwa.

Salwa bisa merasa sedikit lega karena mulai ada perubahan perilaku pada stafnya. Memasuki minggu ke tiga, ia tidak harus menjadi satpam di pagi hari karena semua orang mulai bisa mengendalikan diri.

Hingga pada suatu siang di hari Sabtu, Puskesmas menjadi ricuh karena sebagian besar staf wanita yang harusnya sudah pulang, masih tetap bertahan. Mereka masih ada sampai jam tiga sore bersama pegawai yang memang piket malam karena ada beberapa pasien yang menginap.

Ternyata, hanya karena satu pasien yang baru dibawa siang tadi yang bernama Ibu Nining.

Salwa akhirnya harus membubarkan semua pegawainya setelah ia tahu alasan sesungguhnya mereka belum pulang.

Ibu Nining itu Ibunda Pak Guru Yusuf sang idola desa. Mereka tetap semangat menunggu kedatangan guru itu kembali, setelah tadinya mampir sebentar untuk mengantar ibunya. Ia meminta agar ibunya bisa rawat inap saja. Ia keluar sebentar dan akan kembali lagi. Para petugas dengan sigap melayani Ibu Nining yang datang dengan keluhan sesak nafas.

Salwa sendiri karena tinggal di dekat Puskesmas, maka ia menawarkan diri untuk tetap menyediakan waktu 24 jam selain dokter jaga sesuai jadwal piket. Ia bisa dipanggil di malam hari seandainya ada pasien yang membutuhkan penanganan serius atau kritis.

Salwa meninggalkan ruangannya pada pukul lima sore setelah tugasnya beres.

Besoknya, pelayanan administrasi di Puskesmas tutup di hari Minggu terkecuali untuk para pasien rawat inap dan pasien yang gawat darurat saja. Itu pun kalau tidak bisa langsung ditangani oleh pihak mereka, maka akan langsung dirujuk ke Rumah Sakit di tingkat Kabupaten yang letaknya sekitar satu setengah jam perjalanan dengan kendaraan beroda empat.

Dokter Salwa baru selesai makan malam dan sedang berbicara dengan ibunya di telepon saat pintu rumahnya diketuk.

“Maaf Bu Dokter. Kami butuh bantuan untuk memeriksa salah satu pasien yang masih tetap tidak bisa tidur lelap sejak semalam walau pun sudah kami berikan tindakan sesuai prosedur standar dan obat yang sudah diresepkan oleh dokter jaga.”

“Lalu dokter yang piket ke mana?”

“Ijin keluar makan malam sebentar. Tapi keluarga pasien sudah gelisah dan ingin segera bertemu dengan dokter karena ia ingin ibunya bisa segera tidur.”

“Saya menyusul nanti.”

“Terima kasih Dok!” sambut si perawat lalu kembali ke Puskesmas terlebih dahulu.

Tiga menit kemudian Salwa sudah ada di dalam kamar pasien. Salwa memeriksa keadaan pasien sebentar lalu ia melihat resep yang sudah diberikan oleh rekan sejawatnya.

Ia meminta untuk berjumpa dengan keluarga pasien dan berbicara di ruangannya.

“Selamat malam Dok,” suara bariton yang membuat Salwa harus menoleh dan menyambut tamunya.

“Malam Pak. Mari silakan duduk.”

“Bagaimana keadaan ibu saya, Dok.”

“Apakah Ibu Nining punya riwayat asma?” tanya Salwa.

“Ibu saya dari semalam tidak bisa tidur. Dia terus batuk dan saya memaksanya untuk bisa rawat inap di sini karena belum bisa tidur. Dia memang mengonsumsi obat asma selama ini apabila ada serangan dan tiba-tiba serangannya begitu hebat, padahal sudah lama tidak pernah kambuh.”

“Saya ingin menambahkan satu jenis obat sehingga bisa membuatnya cepat tertidur. Namun, jenis obat ini tidak bisa masuk dalam tagihan asuransi kesehatan, sehingga saya butuh persetujuan dari Bapak sebelum saya resepkan.”

“Nama saya Yusuf, Bu Dokter. Silakan diresepkan. Apakah saya harus membeli di apotik luar?” balas pria di depan Salwa yang merasa ganjil dengan sapaan Bapak yang Dokter Salwa terus ucapkan berulang kali.

“Baik Pak Yusuf. Stok kami masih ada, sehingga nanti kami gabungkan dengan tagihan sebelum keluar dari sini.”

“Terima kasih banyak Dok.”

Salwa lalu menuliskan resep untuk dibawa oleh Yusuf.

Sambil menunggu, Yusuf mencuri pandang pada makhluk memikat yang ada di hadapannya. Dari sekian wanita yang ia temui selama ini, barulah dokter ini yang membuat dadanya bergemuruh. Ada rasa tertarik yang besar saat mereka beradu tatapan. Apakah ini yang dikatakan cinta pada pandangan pertama? Bukan hanya karena dokter ini cantik, ada yang lain dari sikapnya, empati yang besar namun ia juga sangat berwibawa. Yusuf tidak berani memandang terlalu lama, karena ia tidak mau memberikan kesan tidak sopan pada lawan bicaranya.

Yusuf akhirnya meninggalkan ruang kerja Salwa dengan tanda tanya besar akan sosok yang baru ditemuinya. Sebaliknya, Salwa tidak begitu konsentrasi dengan kehadiran dari keluarga pasien tadi. Ia merapikan meja kerja dan hendak kembali ke rumahnya, namun tertunda karena dering telepon. Salwa yang sudah berdiri akhirnya duduk kembali di kursi kerjanya sambil terus menanggapi percakapan di telepon.

Rupanya dokter jaga yang tadi ijin keluar untuk makan malam yang menelepon. Ia mendapat kabar kalau ayahnya mendapat serangan jantung sehingga ia harus pulang ke kota, meminta izin pada Salwa agar tugasnya bisa diwakilkan.

Tanpa banyak bertanya, Salwa menyanggupi pergantian tugas tersebut dengan pikiran positif. Jika ia mengalami kejadian yang sama, maka bisa ada sikap timbal balik. Akhirnya, malam itu Salwa ikut menginap di Puskesmas menggantikan dokter piket.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh. Salwa melihat dua orang perawat yang bertugas sudah mulai kelelahan. Ia mengijinkan mereka untuk menutup mata sejenak di ruang perawat. Ia minta mereka memasang alarm selama dua jam dan mereka akan gantian nanti.

Salwa sendirian di ruang jaga sambil ditemani oleh televisi yang menyala dengan suara sangat pelan. Ada lima orang pasien rawat inap. Empat di antaranya ditemani oleh keluarga dan hanya satu orang yang tanpa pendamping. Hanya satu lansia yang berusia di atas lima puluh tahun yaitu Ibu Nining yang lainnya masih muda termasuk satu orang anak-anak.

“Permisi, boleh saya ikut menonton berita?” suara Yusuf membuyarkan hening sedari tadi. Salwa tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya. Suasana tenang dan tidak ada seorang pun yang berbicara hanya suara reporter yang terdengar.

“Terima kasih Dok. Resepnya manjur. Ibu saya akhirnya bisa tidur dengan nyenyak.”

“Syukurlah kalau memang obatnya cocok.”

“Saya hanya penasaran mengapa resep yang pertama tidak menyertakan obat tersebut?” lanjut Yusuf.

“Memang butuh melihat reaksi pasien terlebih dahulu kurang lebih selama dua jam. Apalagi kami tidak memiliki catatan riwayat penyakit pasien sebelumnya.”

“Kami memang baru pindah ke sini dan ini pertama kalinya ibu dirawat inap. Sebelumnya langsung saya bawa periksa di dokter praktik.”

“Makanya kami belum punya catatan tentang pasien.”

“Boleh tahu Dokter tinggal di mana?” tanya Yusuf tanpa ragu.

“Untuk apa?” balas Salwa agak heran dengan pertanyaan dari lawan bicaranya.

“Biar saya bisa bertamu.”

Salwa menelengkan kepalanya ke kiri begitu pula Yusuf juga melakukan hal yang sama sehingga mata mereka berdua sempat beradu beberapa jenak.

Sejak tadi berbicara, mereka sama-sama memandang ke layar televisi.

Salwa baru menangkap raut dari pria yang duduk tiga bangku jauhnya dari tempatnya, dengan saksama.

Wajah panjang dengan alis mata yang tebal menaungi matanya yang cenderung sipit. Tulang hidungnya tinggi sehingga terlihat mancung. Rahangnya persegi dengan sedikit cambang yang mungkin tidak sempat dibersihkan karena sudah menemani ibunya dua hari di Puskesmas.

“Saya baru pindah ke sini dan menempati mes dokter di sebelah.”

“Saya guru SD di sini. Baru mengabdi dua tahun belakangan. Nama saya Yusuf Ghifari.”

“Saya Salwa Azzahra. Baru selesai program PTT dan sedang menunggu pengangkatan.”

Hening kembali tercipta di antara mereka. Tidak ada kesan khusus bagi Salwa. Ia hanya menjawab pertanyaan yang masih wajar untuk ditanggapi. Kalau pun ia akan menyembunyikan tempat tinggalnya terkesan sangat kekanak-kanakan karena semua orang juga tahu letak rumahnya. Lain halnya dengan Yusuf yang puas karena bisa mendapatkan sedikit informasi. Ia sudah memiliki niat tersembunyi yang pasti akan ia wujudkan cepat atau lambat.

(Bersambung)

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel