Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 Idola Desa

Bab 6 Idola Desa

Dokter Salwa melewati sisa tujuh bulan masa pengabdiannya di daerah NTT dengan sungguh-sungguh. Semakin mendekati waktu berpisahnya dengan masyarakat, semakin gencar ia menyampaikan pentingnya pola hidup sehat dan peningkatan status gizi bagi ibu hamil dan anak terutama bayi dan balita.

Ia juga sadar kalau variasi makanan untuk pilihan gizi penting bagi penduduk termasuk anak-anak sangat terbatas. Namun Salwa selalu menitipkan pesan kalau jauh lebih aman untuk mengonsumsi pangan lokal yang ada di pekarangan sendiri, daripada produk buatan pabrik seperti mi instan atau pun aneka minuman berwarna atau makanan kering yang murah dan tersedia dengan berbagai ragam dan rasa.

Seminggu menjelang kepergiannya, Kepala Desa dan masyarakat mengadakan acara pelepasan dengan penyerahan kain adat untuk Dokter Salwa. Acara tersebut diselenggarakan dengan mengundang perwakilan pemerintah daerah seperti Bupati dan juga Camat sebagai bentuk penghormatan dan rasa terima kasih atas pengabdiannya yang tanpa pamrih.

Salwa tidak sekali pun meninggalkan desa selama 23 bulan mengabdi di sana. Anak-anak dan para pasiennya begitu mencintainya. Salwa harus menolak banyaknya kain yang ingin diserahkan padanya dengan alasan kelebihan bagasi. Ia begitu terharu dengan semua ketulusan yang ditunjukkan penduduk untuk dirinya, dan berusaha tegar sekuat tenaga tidak menitikkan air mata saat semua staf Puskesmas memeluknya sebagai tanda perjumpaan yang terakhir kalinya.

Mobil Dinas Kesehatan dari kabupaten yang mengantar Salwa kembali ke ibu kota provinsi, meninggalkan jejak-jejak kebaikan yang sudah Salwa torehkan selama berbaur menjadi duta kesehatan demi kesejahteraan dan masa depan anak negeri.

Satu hal yang Salwa pelajari dari pengabdiannya adalah definisi kemiskinan seringkali disamarkan dengan berbagai indikator pembangunan yang semu. Miskin dari sudut pandang masyarakat kota berbeda jauh dari pemikiran penduduk di pedalaman. Biar pun beberapa penduduk masih tinggal di rumah tanpa ubin, tetapi memberikan dukungan agar mereka punya tekad kuat untuk merubah pola pikir dan mau belajar untuk hidup sehat dengan memberikan prioritas yang tepat, tidak kalah pentingnya dari sekedar memastikan setiap rumah harus berubin.

Masalah kesehatan termasuk kurang gizi dipengaruhi banyak faktor. Masyakarat di pedalaman butuh banyak contoh praktis untuk bisa membangun kebiasaan pola hidup sehat demi perubahan bagi generasi berikutnya.

Salwa tidak tahu data terakhir kabupaten terkait status gizi dari masyarakatnya, apakah pengabdiannya memberikan kontribusi untuk perbaikan data yang ada. Tetapi Salwa yakin bahwa pengabdiannya tidak pernah dilupakan oleh masyarakat di kabupaten TTU, yang pernah bertemu dan berinteraksi dengannya. Siapa pun yang akan meneruskan tugasnya di daerah yang ia tinggalkan perlu waktu untuk menyesuaikan diri dan memenuhi harapan masyarakat di sana karena Dokter Salwa telah meninggalkan standar yang tinggi untuk dikenang oleh penduduk yang ia layani.

Salwa akhirnya dipindahkan ke pulau lainnya, ke sebuah desa terpencil di Jawa Tengah. Di daerah yang berpenduduk sekitar 700 kepala keluarga, jauh lebih padat dari tempat terakhir ia mengabdi di pulau Timor. Ia sempat pulang ke Jakarta seminggu untuk menengok ibunya yang sebatang kara. Syukurlah ibunya dalam keadaan sehat sehingga Salwa bisa bertolak ke tempat tugas yang baru dengan lega hati.

Salwa tiba di tempat yang baru yaitu desa Suka Makmur, namun melayani dua belas desa lainnya karena di kecamatan tersebut meliputi tiga belas desa secara keseluruhan. Seperti halnya di NTT, penduduk di desa yang baru juga menyambutnya dengan penuh semangat. Dokter masuk desa selalu menjadi kebanggaan bagi pemerintah desa dan jajarannya.

Salwa beruntung karena topografi wilayah yang padat penduduk dan daerah dataran membuatnya bisa menempati mes bagi petugas kesehatan tanpa khawatir walau pun ia sendirian.

Ia sempat berpikir untuk mengajak ibunya untuk tinggal bersamanya, tetapi ia mengurungkan niatnya untuk melihat situasi dan kondisi yang ada di tempat yang baru.

Udara pagi yang cerah menyambut kedatangan dokter Salwa saat ia menjejakkan kakinya di halaman Puskesmas, di hari pertama ia memulai tugasnya. Saat ia datang, Puskesmas masih sepi kecuali seorang penjaga yang sudah ada. Mereka saling berkenalan dan si penjaga membukakan pintu ruangan bagi Salwa sebagai Kepala Puskesmas yang baru.

Waktu baru menunjukkan pukul setengah delapan waktu itu dan kebanyakan para petugas baru hadir pukul delapan pagi. Kalau sebelumnya Salwa hanya menangani delapan belas staf maka kali ini ada sekitar dua puluh lima orang pegawai yang akan menjadi mitranya dalam membantu masyarakat di kecamatan yang baru. Delapan belas staf perempuan dan tujuh orang laki-laki.

Lima menit setelah pukul delapan, dokter Salwa keluar dari ruangannya untuk bisa mengumpulkan semua pegawainya. Ia melihat beberapa meja masih kosong tetapi ia yakin semua staf harusnya sudah tiba. Salwa melihat keluar halaman dan sebagian besar staf perempuan sedang bergerombol di dekat tiang bendera dan pagar seperti orang yang sedang menonton sepakbola.

Salwa penasaran membuatnya ikut keluar dari pintu untuk menyaksikan apa yang sedang dilakukan oleh staf Puskesmas itu.

“Pak Tatang, boleh tahu ada apa sehingga para pegawai masih bergerombol dan belum pada masuk?” tanya Salwa saat penjaga puskesmas melewatinya dengan membawa sapu lidi.

“Anu, itu mereka selalu menunggu Pak Guru Yusuf lewat dengan motornya,” jawab Pak Tatang dengan polosnya lalu meminta permisi untuk melanjutkan pekerjaannya.

“Pak Guru Yusuf?” gumam Salwa agak bingung. Dia memutar tubuhnya dan melihat salah satu staf masuk berjalan ke arahnya.

“Pagi Bu Dokter. Iya Bu, Pak Guru Yusuf yang selalu menjadi idola dari penduduk desa ini termasuk para staf Puskesmas karena keramahan dan ketampanannya,” jawab staf tersebut.

“Hah? Astagfirullah,” spontan reaksi Salwa menatap pria yang baru saja berbicara dan sudah berdiri di sampingnya.

“Selamat pagi Pak. Saya Dokter Salwa,” sahut Salwa segera menguasai dirinya kembali.

“Imam, Kepala Bagian Tata Usaha di sini. Saya tidak bermaksud mengagetkan Dokter.”

“Allhamdullilah. Akhirnya saya bertemu dengan orang yang saya cari dari tadi.”

“Maaf saya agak telat karena masih ada halangan di jalan tadi sebelum ke sini.”

“Apakah Pak Imam bisa membantu saya untuk mengumpulkan semua pegawai untuk kita mulai dengan perkenalan dan arahan pagi.”

“Siap. Kita gunakan aula pertemuan saja. Nanti saya kabari Dokter kalau semua pegawai sudah hadir.”

“Terima kasih banyak Pak Imam.”

“Apa Dokter tidak ingin melihat dulu Pak Guru Yusuf yang menjadi idola untuk kampung ini?” goda Imam karena menurut prediksinya, Kepala Puskesmas mereka yang baru datang ini sepertinya masih melajang.

“Saya yakin waktunya akan tiba, tapi bukan pagi ini!” Salwa mengangkat jempolnya dengan wajah datar lalu kembali ke dalam ruangannya.

“Hari pertama yang luar biasa. Seorang nabi berwujud manusia ternyata sudah lama tinggal di kecamatan ini. Pak Guru Yusuf. Sosoknya jauh lebih menarik daripada kedatanganku sebagai atasan mereka. Terima kasih TTU, karena telah memberikan begitu banyak kasih sayang dan ketulusan untukku,” batin Salwa sambil mengusap wajahnya.

Ia menatap cermin kecil di dalam ruangannya yang bertuliskan ‘Sudah rapikah Anda?’ lalu memperbaiki jilbabnya.

Salwa sadar bahwa setiap tempat selalu memberikan ciri khas tersendiri dan bentuk penerimaan yang berbeda. Namun, Salwa tidak bisa terima jika perhatian stafnya harus terbagi pada hal-hal tak penting seperti yang ia dapati pagi ini. Disiplin waktu merupakan hal sederhana yang vital pengaruhnya pada disiplin kerja. Salwa tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika pribadi bernama nabi yang turun ke bumi itu, sempat datang berobat ke Puskesmas mereka. Apa mungkin semua staf wanita akan mengabaikan pasien yang lainnya dan berlomba-lomba menyembuhkan Pak Guru Yusuf?

(Bersambung)

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel