Bab 5 Penolakan
Bab 5 Penolakan
Salwa dan Evan sudah saling mengenal hampir tiga tahun lamanya. Tahun pertama mereka bertemu saat mengabdi di Puskesmas yang sama, Evan mulai mengetahui latar belakang keluarga Salwa.
Terkadang Evan agak sulit untuk sekedar berbasa basi dengan Salwa karena dokter muda yang satu itu merupakan pribadi yang serius. Ia akan sangat menghargai waktu kerja dan jarang menghabiskan waktu untuk sekedar mengobrol. Alhasil, Evan mengorek keterangan melalui beberapa orang yang terlihat sering bersama dengan Salwa.
Kenyataan yang ia dapat membuat Evan semakin tertarik dengan pribadi yang sederhana itu. Ternyata, Salwa adalah seorang anak yatim. Bapaknya meninggal ketika dia masih kuliah di semester empat. Bapaknya seorang pegawai pemerintah biasa tetapi tekun dan didampingi seorang istri yang pandai mengelola keuangan.
Salwa sangat mengagumi orang tuanya terutama ayahnya. Laki-laki itu berusaha mati-matian agar Salwa yang sejak kecil sudah nampak kecerdasannya, bisa melanjutkan pendidikan tinggi di fakultas kedokteran. Kalau ditanya motivasi sebenarnya dari almarhum, karena ayah Salwa sendiri pernah bercita-cita menjadi dokter, namun tidak kesampaian. Untuk itulah ia mewujudkan impiannya itu melalui anak-anaknya, dalam hal ini Salwa.
Salwa bukanlah anak tunggal melainnya bungsu dari dua bersaudara. Sayangnya, kakaknya Nisa meninggal ketika masih berumur 13 tahun karena pengidap sakit kanker darah. Sedangkan ayah mereka juga mengalami nasib yang sama yaitu harus pergi menghadap Sang Pencipta oleh jenis penyakit yang sama yaitu kanker.
Salwa selalu merasa sedih setiap kali bertemu dengan pasien yang mengalami gejala usus buntu dalam pengabdiannya karena akan selalu mengingatkannya pada nasib ayahnya. Almarhum dan keluarga terlambat mengetahui penyebab utama sakitnya karena ia sempat didiagnosis mengalami usus buntu. Ketika mereka melihat keadaan almarhum yang semakin parah maka semuanya sudah terlambat karena sel kanker sudah menguasai organ usus yang berakhir pada kematian.
Itulah hasil dari upaya Evan mengumpulkan data untuk menelusuri tentang siapa sebenarnya Salwa, demi untuk memuaskan rasa ingin tahunya. Lambat laun Salwa akhirnya begitu menarik perhatian Evan. Dan hal ini ia sampaikan hanya pada sepupunya Dika saat mereka sedang bersama di rumah Evan.
“Tumben kamu di rumah saja hari ini. Tidak ingin pergi dengan Amelia?” tanya Dika begitu sudah masuk ke dalam kamar yang luas dengan interior yang bergaya sangat maskulin.
“Aku sedang tertarik dengan seseorang,” balas Evan acuh tidak sesuai dengan pertanyaan sepupunya.
“Kurang puas dengan Amelia di samping kamu?” sahut Dika merebahkan tubuhnya di samping Evan.
“Amelia terlalu glamor dan manja. Aku kadang lelah meladeni semua tuntutannya.”
“Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau menyukai gadis manja sehingga bisa selalu menjadi pahlawan baginya?”
“Awalnya, tapi sekarang aku mulai tertarik dengan wanita yang mandiri dan cerdas.”
“Siapa pula perempuan yang membuatmu jadi mengabaikan Amelia seperti ini?”
“Dokter Salwa.”
“Jangan bilang kalau dia adalah perempuan yang begitu acuh pada dirimu saat kita berpapasan dengannya beberapa hari yang lalu di supermarket.”
“Benar sekali, itulah orangnya.”
“Dia itu sangat dingin dan serius. Bahkan ia tidak tersenyum sedikit pun padaku saat itu,” timpal Dika.
“Padaku yang setiap hari bertemu di Puskesmas saja ia jarang senyum, mana mungkin ia senyum pada pria asing seperti dirimu.”
“Tapi aku artis Van, publik figur. Wanita mana di Jakarta ini yang tidak mengenalku, Dika artis termuda yang lagi hits,” sela Dika memuji diri sendiri.
“Nyatanya Dokter Salwa tidak mengenalmu,” sanggah Evan sarkas.
“Lalu Amelia bagaimana?”
“Aku pikirkan nanti. Intinya, aku ingin mendekati Dokter Salwa.”
“Kalau kamu ditolak?”
“Kamu perlu diterima terlebih dahulu sebelum bisa ditolak.”
“Semoga kamu beruntung karena menurut pengamatanku, teman dokter kamu itu tidak tertarik denganmu,” balas Dika tanpa perasaan.
“Sok tahu kamu!” balas Evan kesal yang menimpuk sepupunya dengan bantal lalu bangkit dari rebahannya serta meninggalkan kamar. Dika hanya nyengir dan turun dari ranjang mengekori sepupunya.
Niat Evan untuk mendekati Salwa terus bercokol di kepalanya dan kalau ia belum mendapatkan apa yang ia inginkan, maka dokter muda playboy itu tidak akan bisa tenang. Sementara Salwa sendiri tidak menyadari sikap Evan yang terlihat intens mengamatinya beberapa minggu terakhir.
Saat mereka sedang bersama di tempat kerja, beberapa staf Puskesmas pernah membisikkan pada Salwa kalau Dokter Evan selalu memandanginya tanpa berkedip, namun gadis itu mengabaikan.
Salwa sedang mempersiapkan diri untuk mempersiapkan diri dengan riset tentang Provinsi NTT karena ia sudah memilih tempat itu untuk tujuan program PTT-nya. Ia memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk bekerja demi ibunya dan masyarakat yang ia layani sehingga tidak begitu peduli dengan hal lain yang ada di sekelilingnya.
Hingga pada suatu sore, Salwa sedang menanti taksi karena motornya sedang di bengkel. Evan menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Salwa akhirnya setuju dan Evan meminta ijin berbicara dengannya sebentar saja.
Salwa setuju sebagai bentuk terima kasih atas kebaikan Evan. Alhasil mereka mampir di sebuah café di perbatasan kota tempat mereka mengabdi.
“Aku dengar dari para perawat kalau kamu sudah menentukan tempat praktikmu selanjutnya,” kata Evan begitu mereka sudah menyicipi pesanan pisang cokelat keju dan minuman panas yang terkenal di kafe tersebut.
“Kamu itu kerja atau mencari tahu tentang aku?” balas Salwa spontan membuat Evan hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal karena perkataan Salwa.
Namun dasar Evan si perayu ulung, ia tidak pernah kehabisan akal untuk melancarkan aksinya.
“Keduanya, karena segala sesuatu tentang kamu itu menarik untuk ditelusuri.”
Salwa hanya tersenyum tipis mendengar gombalan dari Evan.
“Aku tertarik untuk ke Indonesia Timur. Aku memilih NTT sebagai daerah yang akan kutuju.”
“Dokter Salwa, apakah daerah itu masih ada di peta Indonesia? Aku tidak pernah mendengar tentang nama tempat itu sampai kamu sebutkan.”
“Kamu terlalu sibuk dengan dirimu sendiri karena itu lupakan saja,” balas Salwa menggelengkan kepalanya.
“Kamu benar. Aku memang sekarang sedang sibuk memikirkan dirimu. Dua minggu terakhir ini tepatnya.”
“Stop! Tidak perlu kamu lanjutkan lagi. Aku sudah tahu yang ingin kamu sampaikan. Aku tidak ingin mendengarnya,” ucap Salwa memotong pembicaraan Evan.
“Berarti kamu juga tidak bekerja dan hanya memperhatikan gerak gerikku. Buktinya kamu sudah tahu isi hatiku sebelum aku utarakan,” sanggah Evan masih belum mau menyerah.
“Dokter Evan, kamu itu selalu menyolok. Tanpa aku pikirkan pun, semua orang di sekelilingku sudah membantuku mengetahui semua gerakanmu. Sayangnya, aku tidak bisa memenuhi apa yang kamu harapkan.”
“Kamu seperti cenayang. Memangnya kamu tahu apa yang aku inginkan?” timpal Evan.
“Aku bukan seperti gadis kebanyakan. Aku tidak punya waktu untuk menyenangkan diri sendiri. Aku punya tanggung jawab besar untuk ibuku dan juga profesiku.”
“Aku bisa menemanimu. Aku menyukaimu Dokter Salwa.”
“Terima kasih. Aku sangat tersanjung. Sayangnya, kamu itu terlalu jauh untuk dijangkau. Lagipula, aku tidak butuh teman saat ini. Aku puas hanya dengan diriku sendiri. Maafkan aku.”
Evan diam dan terperangah. Apa yang disampaikan Dika ternyata benar. Perasaannya ditolak mentah-mentah oleh Salwa.
Sebaliknya, apa yang Salwa khawatirkan ternyata benar. Evan ingin mengutarakan perasaannya. Namun Salwa sudah bertindak tepat dengan memberikan batasan. Mereka melewati sisa waktu dengan dengan sedikit canggung. Namun, Salwa berusaha memberikan pengertian pada Evan kalau masalahnya bukan pada Evan sebagai pribadi, tetapi dirinya sendiri yang masih belum mau menyibukkan diri dengan cinta.
Itulah kenangan yang Salwa lalui bersama Evan dan Dika. Khayalannya membuat ia lupa kalau hari sudah malam dan ia masih belum menyalakan pelita. Dua pemudi yang biasa menemaninya juga tidak kunjung tiba. Salwa mencari pemantik dan botol pelita untuk menerangi rumah yang ia tempati.
Cahaya dari pelita itu membuat Salwa percaya kalau setelah ia meninggalkan TTU, secuil ilmu dan kebiasaan memupuk pola hidup sehat yang sudah ia tunjukkan bisa menjadi penerang bagi desa dan kecamatan di mana ia mengabdi. Waktunya tidak akan lama lagi. Ia sudah harus memasuki fase berikutnya dalam jenjang kariernya sebagai seorang dokter.
(Bersambung)