Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Pertemuan Pertama

Bab 4 Pertemuan Pertama

Salwa sedang sendirian di rumahnya karena para pemudi yang biasa menemaninya baru tiba beberapa jam lagi. Mereka sedang menghadiri acara keluarga di Kota Kefa, satu jam jauhnya dari desa mereka. Kebetulan juga hari itu adalah hari Sabtu yang dianggap sebagai waktu santai atau malam minggu bagi kawula muda.

Dalam kesendiriannya terlintas kenangan seminggu sebelumnya saat Evan dan Diki berkunjung. Akhir pekan yang lalu, mereka sedang bersenda gurau bersama di daerah perbatasan sambil menikmati sejuknya alam perbukitan.

Salwa mengenal Evan ketika mereka menjalani program koas dan internship bagi tenaga dokter di sebuah Puskesmas di pinggiran Kota Jakarta. Karier menjadi dokter membutuhkan proses yang panjang. Tidak hanya pada saat menimba ilmu tetapi juga setelah selesai melahap semua teori yang ada. Salwa dan para calon dokter lain yang ingin menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) lalu akan ikut program PTT sebagai bagian dari jalan untuk menjadi dokter pemerintah.

Semua orang tahu siapa Evan, yang merupakan anak dari salah satu pemilik RS swasta terkenal di ibu kota Jakarta. Gaya Evan yang sok artis kadang membuat Salwa jengah. Cara mengucir rambutnya yang panjang dan tingkahnya yang selalu menggoda lawan jenis di sekelilingnya. Terkadang ia bisa merayu seorang perawat dengan kata-kata yang sangat manis saat mereka tengah sibuk melayani pasien.

Salwa ingat saat mereka sedang panik karena ada seorang ibu hamil yang sudah lemas karena terlambat dirujuk ke Puskesmas, Evan dengan santainya berbisik pada bidan senior, “Ibu yang paling cantik di antara semua bidan di sini. Pasien ini pasti bahagia jika ditolong oleh bidan yang manis.”

Itu yang paling Salwa ingat karena semuanya jadi tidak terlalu tegang lagi menghadapi tekanan pekerjaan mereka, tentu tidak termasuk si Ibu yang hendak melahirkan. Bukan hanya tampang dan gayanya, tingkahnya juga membuat dokter dan perawat muda terpesona. Namun, bertolak belakang dengan Salwa. Seringkali Salwa malah sebal dan muak jika kebetulan menyaksikan perilakunya, apalagi rayuannya.

Evan pun karena tahu jurus rayuannya tidak mempan kepada Salwa, juga bersikap acuh kepada dokter muda itu. Ia tetap dengan tingkah Don Juannya dan menebar pesona di setiap waktu dan kesempatan. Untung saja Evan hanya menebar kata-kata manisnya pada kaum Hawa. Salwa pasti semakin tidak hormat pada pria itu jika ia juga bersikap manis untuk kaum Adam.

Hubungan antara Salwa dan Evan masih belum terlalu cair dalam arti Evan tidak pernah ambil pusing dengan keberadaan Salwa. Sampai suatu ketika, Salwa ingat betul mereka berdua terpaksa harus menangani kasus tabrak lari.

Waktu itu menjelang pukul empat sore dan sebenarnya mereka sudah harus pulang. Tetapi karena Kepala Puskesmas sedang izin dan Evan menjadi dokter piket saat itu, ditambah dua orang perawat lainnya sedang sakit, otomatis mereka kekurangan tenaga hari itu.

Akhirnya Salwa pun masih ada di puskesmas sampai dengans sore hari. Biasanya selain perawat dan dokter piket, mereka sudah boleh pulang pukul tiga sore.

Pasien yang dibawa sore itu seorang anak SMA laki-laki yang ditabrak oleh sebuah angkutan kota yang sudah melarikan diri. Untunglah korban masih memakai helm sehingga kepalanya tidak mengalami cedera berat kecuali tangan dan kakinya.

Dalam keadaan serius menangani pasien tersebut, karena luka di pahanya terus mengalami perdarahan, ternyata Evan dan Salwa sangat solid dalam kerja tim. Kecerdasan Salwa membuat Evan angkat topi. Hampir semua tindakan yang mereka berikan selalu Salwa awali dengan petunjuk yang jelas dengan pembagian tugas yang merata antara mereka berdua dan dua orang perawat lainnya, sehingga mereka seperti sedang berada di dalam ruang praktik kuliah dengan seorang dosen cantik memberikan instruksi.

Setelah mereka selesai menjahit luka dari pasien dan perawat membersihkan bagian tubuh lainnya sambil menanti kedatangan keluarga pasien, Evan mengajak Salwa untuk minum sore di sebuah warung yang letaknya persis di samping Puskesmas.

“Apa kita alumni dari universitas yang sama?” tanya Evan begitu mereka sudah duduk berhadapan.

“Aku hanya tamatan salah satu Universitas swasta Jakarta,” sahut Salwa.

“Oh, pantas aku tidak pernah melihat kamu. Aku tamatan Universitas Indonesia,” ujar Evan tanpa merendah, salah satu sifatnya sehari-hari.

“Aku beruntung masih bisa menyelesaikan kuliahku. Apa pun alumninya tetapi aku bangga akhirnya bisa menjadi calon dokter seperti sekarang ini.”

“Apa yang memotivasimu menjadi seorang dokter?”

“Kamu sendiri apa alasanmu? Setelah itu baru aku jawab,” balas Salwa yang tidak mau diinterogasi oleh Evan.

Percakapan mereka terpotong karena pelayan datang dengan kopi yang telah dipesan.

“Aku hanya mengikuti permintaan orang tua karena semua saudaraku tidak ada yang ingin mengikuti jejak papaku. Semuanya dimudahkan karena jaringan dari Papa.” Lagi-lagi Evan mengucapkan kejujuran, hal yang terlalu jarang disampaikannya di depan seorang gadis.

“Aku juga sama untuk memenuhi keinginan ayahku. Tetapi aku tidak seberuntung dirimu dan aku harus belajar dan bekerja keras untuk bisa meraih nilai di atas rata-rata, agar bisa bertahan di kampus dengan biaya pendidikan yang minim. Bukan gratis tetapi aku bisa masuk dalam kategori biaya terendah dengan beberapa biaya praktik gratis karena sistem subsidi silang selama semua nilaiku bagus.”

“Apa yang akan kamu lakukan setelah menyandang gelar dokter?” tanya Evan penasaran.

“Melayani masyarakat. Aku selalu ingin membuktikan kalau aku bisa berguna untuk orang lain. Aku membayangkan tinggal di sebuah daerah dengan kasus kesehatan yang kompleks dan aku hadir untuk memberikan solusi bagi mereka. Itulah kepuasan terbesarku jika bisa mengabdi untuk mengamalkan semua ilmuku.”

Salwa ingat percakapan mereka tersebut karena setelah kejadian hari itu, sikap Evan pada Salwa mulai berubah. Kalau sebelumnya Evan acuh tak acuh maka ia mulai menunjukkan perhatiannya pada Salwa. Jangan bilang kalau sikapnya yang gombal itu menghilang, tentu saja tidak.

Tetapi perbedaan yang menyolok di setiap ujung gombalannya adalah ia akan selalu menyebut nama Salwa. Evan memberikan kesan kalau Salwa tidak boleh diganggu karena sedang ia incar. Setelah merayu seorang bidan muda atau bidan senior Evan akan menutup dengan perkataan kalau semua wanita membuatnya merasa bahagia, namun hanya Salwa yang mampu membuatnya patah hati.

Salwa akan menerima itu sebagai candaan semata dan tidak menanggapinya. Beberapa bidan muda yang jatuh hati pada Evan kadang iri dengan semua sikap Evan pada Salwa. Sedangkan Salwa sendiri tetap bertingkah biasa, walau ia tahu betul siapa saja yang memiliki rasa iri padanya. Ada juga yang berpikiran kalau Salwa sangat sombong karena tidak pernah menganggap serius perkataan Evan.

Tetapi itulah Salwa, seorang dokter muda yang ingin mendedikasikan hidupnya untuk menyembuhkan pasiennya. Ia tidak pernah berpikir untuk dirinya sendiri apalagi berpacaran dan menikah muda. Bagi Salwa, dokter muda Evan seperti seorang pujangga yang terlalu percaya diri dan menebar kailnya ke semua orang yang mungkin tertarik untuk menangkap umpannya. Salwa tidak mengerti motivasi laki-laki seperti itu, dan tidak mau terpancing.

Lain halnya dengan Evan yang semakin hari terpikat dengan segala sesuatu tentang Salwa. Dokter muda itu mulai tertarik dengan kesederhanaan Salwa padahal ia sudah punya pacar. Evan diam-diam mulai mencari tahu lebih banyak tentang Salwa, meski tidak langsung pada yang bersangkutan, melainkan melalui orang-orang yang dekat dengan Salwa. Sementara Salwa sendiri mulai sibuk untuk mengurus berkas untuk program PTT dan ia sudah memilih lokasi incarannya yang jauh dari Ibu Kota.

(Bersambung)

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel