Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 5

HAPPY READING

***

Dario menemani Rubi memeriksa ART yang sakit. Rubi memberinya obat penurun panas, jika beberapa hari demamnya tidak turun maka Rubi akan mengecek darahnya. Kata Rubi penyebab demam itu sendiri merupakan bagian dari proses kekebalan tubuh yang sedang melawan infeksi akibat virus, bakteri dan parasite. Dia terlihat sangat ramah kepada seluruh staff dan bertanggung jawab atas pekerjaanya.

Setelah pemeriksaan, Dario dan Rubi memutuskan untuk pergi dari kamar, karena ART tersebut akan istirahat. Dario melirik Rubi yang berada di sampingnya, mereka melangkah menuju koridor,

“Kamu setiap hari kan datang ke rumah ini?” Tanya Dario.

Rubi mengangguk, “Iya, saya pasti datang, Senin sampai Jumat. Kalau sabtu dan Minggu saya off. Tugas utama saya menjaga pak Peter bersama satu perawat. Tapi saya standby on call jika ada kemungkinan terjadi dengan pak Peter atau yang memerlukan saya.”

“Keadaan ayah saya bagaimana menurut kamu?” Tanya Dario.

Rubi menghela napas, “Ayah kamu ini penyakit jantung coroner. Ada penyumbatan pada pembuluh darah arteri oleh tumpukan plak. Untuk mencegah serangan jantung itu terjadi, tentu menjaga pola makan, istirahat, olahraga, karena mencegah lebih baik daripada mengobati,” jelas Rubi.

“Kamu tahu? Penyakit jantung itu sendiri penyakit degenerative. Cuma bisa memperlambat progresivitasnya tapi tidak dapat disembuhkan, namun bisa diperbaiiki dengan memasang ring atau operasi bypass. Tapi nanti ringnya atau pembuluh darah bypassnya akan kembali tersumbat.”

“Dokter semua tahu kalau jantung itu sendiri semakin hari semakin payah kalau sudah gagal jantung harus dipertahankan dengan beta blockers, Ace Inhibitors, calcium channel blocker, kalau aritma mesti diberi amiodarone. Dokter spesialis bedah jantung lebih paham. Saya hanya tahu seujung kukunya saja,” ucap Rubi menjelaskan.

“Kalau penyakit organ-organ seperti jantung, ginjal dll biasanya tidak bisa disembuhkan kembali seperti asal, kecuali ilmuan berhasil cloning organ baru.”

“Yah, seperti yang kita ketahui kalau penyakit jantung merupakan penyakit kronis dan biasanya keterlibatan penyakit penyerta lain namun tetap bisa dicegah, minimal dimaintenance kondisinya.”

“Semoga kamu melakukan yang terbaik buat ayah saya.”

“Saya dan tim medis lainnya akan melakukan yang terbaik buat pak Peter.”

Rubi menarik napas, tidak terasa mereka berjalan kembali ke ruangan. Rubi melihat ruangan tampak lengang, hanya ada dirinya dan Dario.

“Kamu nggak kerja?” Tanya Rubi memperhatikan Dario.

“Tadi pagi saya ke kantor. Namun papa menghubungi, menyuruh saya datang sebelum jam makan siang, hanya ingin memperkenalkan kamu kepada saya. Mau nggak mau, saya harus datang.”

“Jadi pekerjaa kamu ditunda?” Tanya Rubi.

Dario tertawa, “Sedikit.”

“Kamu kembali ke kantor lagi setelah ini?”

“Tidak, sudah jam tiga juga kan. Besok saja saya ke kantor. Tadi sekretaris saya reschedule meeting ini ke hari jum’at.”

“Saya berada di sini. Demi berkenalan dengan kamu Rubi.”

Rubi tertawa, “Saya seperti orang penting, hingga diperkenalkan secara eksklusive oleh papa.”

Dario ikut tertawa, “Ya pentinglah, soalnya tugas kamu demi jaga ayah saya.”

“Takutnya saya macam-macamin ayah kamu ya,”

“Saya percaya kamu. Kamu dokter yang baik.”

“I know, itu memang tugas kita Dar,” Rubi kembali tertawa.

Diam-diam Dario memperhatikan tawa Rubi, tawanya sangat manis, deretan gigi putihnya terlihat jelas. Ia ingin berlama-lama dengan wanita itu.

“Andai saya pacar kamu, saya pasti bangga punya pacar dokter seperti kamu.”

“Owh ya? Bangganya seperti apa?” Tanya Rubi.

“Punya pacar dokter itu patut dibanggakan menurut saya. Sayangnya kamu bukan pacar saya.”

Rubi lalu tertawa lagi, “Kamu tuh playboy banget ya.”

“Playboy nya di mana?”

“Kata-kata kamu itu kamu seakan merayu saya, yah mirip-mirip playboy gitu,” Rubi terkekeh.

Dario dan Rubi lalu beradu pandang, lalu sama-sama terdiam. Seketika Dario dengan berani memegangi dagu Rubi dengan lembut. Dan mengarahkan wajah cantik itu kepadanya, ia melihat mata bening Rubi yang sedang fokus memandangnya.

“Saya jujur ya sama kamu, kalau playboy itu meletihkan. Saya tidak menceritakan masa lalu saya, tapi apa yang saya alami sekarang ini.”

“Terus.”

“Saya rasa, saya sedang mengidap sesuatu yang disebut pathological flirt. Karena saya kadang tidak sadar apa bahwa perilaku, pemilihan kata-kata, hingga aroma yang keluar justru dianggap orang, saya sedang flirting. Sampai saya membuat clue kalau insting saya mengatakan kalau saya bisa buat wanita ini bisa suka sama saya, dan saya harus menjauh,” jelas Dario.

“Ketika orang lain melihat ‘oh wanita ini cantik ya’ namun yang saya lihat warna lipstick yang dikenakan, bagaimana rambutnya jatuh, mengenakan gelang atau jam tangan, seberapa tinggi hak sepatunya, tasnya ada resleting atau tidak, garis pakaian dalamnya, ke mana matanya secara umum melihat, bagaimana kukunya, kulit leher bagian belakang, angkle kakinya, pemilihan warna pakaian, pemilihan sabunnya, dan banyak factor sehingga saya bisa menarik kesimpulan dia bisa atau tidak bersama saya.”

“Saya tidak tahu apakah ini masuk katagori playboy atau tidak. Jika mengikuti definisi kata playboy dari kamus oxford, sepertinya cukup jelas.”

Rubi menepis tangan Dario yang memegang dagunya, “Mernarik sekali penjabaran kamu. Saya merasa kamu itu memahami dalam kapasitas social atau mengerti subjek observasi gangguan kejiwaan.”

“Saya memang memiliki minat yang sangat tinggi terhadap manusia.”

“Apaan sih, nggak lucu tau, berat banget pembahasannya,” ucap Rubi tertawa melihat Dario yang ikut tertawa.

“Kamu yang mulai duluan.”

“Kamu yang mulai.”

“Kamu, Dar.”

Dario tertawa, “Okay, saya yang mulai.”

Dario memasukan tangan ke saku blazernya, ia memperhatikan Rubi wanita itu menatap ke arah kolam,

“Kamu tinggal sendiri?”

“Iya.”

“Di mana?”

“Males ngasih tau. Nanti yang ada kamu samper saya.”

Dario tertawa, “Ya nggaklah. Pingin tau saja.”

“Kamu masih hutang cerita sama saya, soal anak kamu,” ucap Dario.

Rubi menghembuskan napasnya, “Saya merasa tidak berhutang untuk membeberkan masalah pribadi saya kepada kamu dan saya tidak akan cerita sama kamu, karena itu privasi saya. Silahkan bahas yang lain.”

“Okay tidak apa-apa kalau tidak mau cerita.”

Rubi menarik napas, ia melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 15.20 menit, “Ayah kamu sudah bangun apa belum.”

“Mungkin sebentar lagi.”

Dario memilih duduk di samping Rubi, ia memperhatikan sosok wanita itu. Hari ini ia bahagia sudah bisa ngobrol banyak dengannya.

“Kamu ke sini pakai apa?” Tanya Dario.

“Mobil sendiri.”

Dario memicingkan matanya, “Lagi nggak deket sama pria kan?”

“Saya belum tertarik dengan pria Dar.”

“Really?”

“Kalau saya tertarik, mungkin saya sudah menikah dua tahun lalu.”

“Apa masa lalu kamu belum selesai.”

“Sudah tuntas Dar. Cuma males aja kalau deket sama pria lain. Belum tentu kan bisa terima saya keadaan seperti ini.

Tiba-tiba suara getaran ponsel terderngar, Dario dan Rubi saling menatap satu sama lain. Dario lalu merogoh ponsel dari saku celananya, ia melihat “Erin Calling” ia menggeser tombol hiijau pada layar. Ia letakan di telinganya.

“Saya angkat telpon dulu,” ucap Dario kepada Rubi.

“Iya.”

“Iya, halo,” ucap Dario, ia berdiri dan menjauh dari Rubi.

“Halo sayang,” sapa Erin di balik speaker ponselnya.

“Kamu lagi apa?”

“Lagi di rumah,” ucap Dario memperhatikan Rubi dari kejauhan.

“Enggak balik ke kantor?” Tanya Erin.

“Enggak.”

“Udah kenalan sama dokter pribadi papa kamu?”

“Iya, sudah.”

“Dia bagaimana?”

Dario menarik napas beberapa detik menatap Rubi, “Saya suka kinerjanya, cukup baik menurut saya.”

“Semoga dia betah kerja di keluarga kalian.”

“Semoga saja.”

Erin menarik napas pendek, “Kamu sibuk malam ini?” Tanya Erin.

“Enggak sih, kenapa?”

“Mau ngajak kamu dinner.”

Dario memperhatikan Rubi dari kejauhan, wanita itu masih duduk di sofa. Ia merasa tidak nyaman jika meninggalkan wanita itu sendiri, apalagi sedang mengangkat telpon.

“Kayaknya nggak bisa sekarang. Besok malam aja ya sayang.”

“Yaudah kalau gitu, salam buat papa kamu.”

“Iya.”

“Dah sayang.”

Dario mematikan ponselnya, ia memasukan lagi di saku blazernya. Ia kembali mendekati Rubi, ia duduk kembali ke sofa.

“Pacar kamu?”

Dario mengangguk, “Iya.”

“Semoga hubungan kamu dan dia langgeng.”

“Semoga saja,” ucap Dario, entah kenapa ia tidak suka jika Rubi membicarakannya.

Rubi beranjak dari sofa, “Saya harus memeriksa lagi keadaan ayah kamu.”

“Mau saya temani?”

“Tidak usah Dar. Terima kasih sudah ngobrol banyak sama kamu.”

“Sama-sama.”

“Bi …” ucap Dario sebelum Rubi pergi meninggalkannya.

“Iya, kenapa?”

Dario menarik napas, “Besok saya sakit.”

“Sakit? Jangan ngaco deh.”

“Lihat saja besok. Saya pasti sakit. Saya ingin tahu bagaimana berobat sama kamu.”

“Dasar ya kamu, orang pingin sehat, kamu malah pingin sakit, aneh.”

“Kalau sakitnya diobati sama kamu bisa dikondisikan baik-baik.”

Rubi tertawa, “Mirip ABG yang lagi flirting.”

Rubi lalu pergi meninggalkan Dario, jika lama-lama bersama pria itu tentu bisa membuatnya tidak terkendali karena pesonanya. Dia seolah mengatakan, ‘hey you are single, let have some fun with the girl? Nope, pass’. Bisa dikatakan Dario masuk katagori pria jajaran playboy. Dia bisa percaya dirinya berbicara, kemampuan social dengan baik dan memang berani. Dia memiliki manajemn konflik yang baik

Dario melihat tubuh Rubi pergi meninggalkannya. Ia tersenyum penuh arti, setelah ngobrol banyak dengan Rubi tadi, ia merasa kalau hatinya ada yang menarik perhatiannya dari wanita itu. Banyak hal yang ingin ia ketahui namun belum ia ketahui semua tentang Rubi, entah kenapa membuatnya penasaran dengan sosok balita yang ada pada layar ponsel Rubi. Siapa nama putrinya? Umurnya berapa? Sepertinya ia akan meminta CV Rubi kepada staff nya.

***

Sore harinya,

“Mami pulang, hore mami pulang,” ucap Violet kegirangan melihat Rubi berada di depan pintu rumah.

Rubi tersenyum dan lalu memeluk tubuh Violet bersama babysitternya, “Halo cantik, gimana sekolahnya hari ini?” Tanya Rubi.

“Tadi di sekolah ada yang isengin aku. Violet sebel mami,” ucap Violet.

Rubi masuk ke dalam diikuti oleh Violet, “Siapa yang isengin Vio.”

“Ada mi, namanya Rafa. Vio nggak suka sama dia mami. Bekel Vio suka diminta sama Rafa, sebel kan mami.”

“Emangnya temen Vio yang namanya Rafa itu nggak bawa bekel ke sekolah?”

“Bawa, cuma suka minta sama Vio.”

Rubi tersenyum, ia mengelus kepala Violet, “Nanti mama buat lebih, kamu bisa kasih dia. Berbagi itu baik.”

Rubi menatap putrinya, dia lalu duduk di sofa ruang keluarga. Tidak terasa sudah lima tahun berlalu. Vio sekarang kindergarten di British Internasional School. Vio memang tidak seratus persen bersamanya, dia sekarang lebih banyak bersama Andre dan Feli, karena Violet ia ijinkan tinggal di sana. Semua biaya pendidikan dan keperluan Violet semua ditanggung oleh Andre. Mungkin ia merasa Andre dan Feli lebih bisa menjadi orang tua terbaik untuk Violet. Feli juga sangat menyayangi Vio seperti anak sendiri walau sudah punya anak.

“Tadi les piano?”

“Iya mami.”

“Papa kok lama ya, jemputnya mami.”

“Emang udah nggak kangen sama mami?” Tanya Rubi memeluk Violet.

“Ini udah ketemu mami. Vio mau lihat adek.”

Rubi tersenyum, ia mengecup kening itu, “Adeknya udah bisa apa sekarang?”

“Udah bisa jalan mami.”

“Nice, terus.”

Rubi melihat babysitter Vio melangkah mendekatinya, “Vio udah makan mba?” Tanya Rubi.

“Iya sudah bu.”

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel