BAB 6
HAPPY READING
***
Dario menutup pintu kamar menggunakan tendangan kakinya dengan terburu-buru. Sedangkan Erin melepaskan semua kancing kemejanya. Ia juga membantu Erin melepaskan blazernya lalu dibiarkan di lantai begitu saja dilantai.
Dario menggendong tubuh Erin, otomatis kaki jenjang Erin melingkar di sisi pinggang Dario. Bibir mereka saling berpangutan satu sama lain, keduanya sudah terbakar gairah. Kemarin belum selesai mereka tuntaskan, ia melihat Rubi dibalik pintu.
Kini wajah Rubi tidak lepas dari ingatannya, bagaimana dia berbicara, pergerakannya dan pakaian yang dikenakan. Entah kenapa ia merasa bahwa wanita itu selalu ada dalam pikirannya. Dario terus membalas ciuman Erin itu dengan penuh bernafsu agar menghilangkan semua apa yang ada di dalam pikirannya saat ini.
Lingkaran kaki Erin terlepas dari tubuh Dario. Dario menidurkan tubuh Erin ke ranjang. Dario merangkak naik ke ranjang, dan Dario melepaskan celananya sendiri. Menunjukan brief boxer hitamnya yang sudah tampak menonjol.
Erin menelan ludah, seraya mengerjap lemah. Dario melihat tubuh polos Erin, ia tahu bahwa mereka sama-sama sudah terbakar gairah yang membara. Dario mulai menyusuri setiap lekuk Erin. Erin mendesah ketika Dario mulai mendaratkan ciumannya di paha Erin. Kedua tangan Dario mengusap kakinya dengan lembut. Membuat tubuh Erin melengkung menahan ledakan gairah.
Dario mulai mencium bagian intim lalu menarik celana dalam dengan satu pergerakan cepat, melepaskan kain berwarna merah itu. Dario menyentuh milik Erin yang sudah basah dan memerah.
Dario menindih Erin, dan mencium leher wanita itu, sementara tangannya mengusap muara kenikmatan.
“Aku sepertinya mau keluar,” ucap Dario yang sudah tidak tahan.
“Tahan dulu Dar, aku masih belum puas,” desah Erin, ia tidak mau Dario keluar dulu.
Dario melepaskan miliknya dan mengeluarkan cairan putih di atas perut Erin. Sementara Erin belum puas atas permainan Dario. Dia langsung mendorong tubuh Dario yang sudah terlentang ke samping.
Dario mengatur napasnya yang sulit diatur, “Kamu marah?” Tanya Dario melihat wajah cemberut Erin di sana. Jujur semenjak ia berkenalan dengan Rubi kemarin, fokusnya hanya pada wanita itu, entah kenapa ia juga tidak menikmati permainan ini.
Dario menatap Erin, ia menghela napas dan berdiri masuk ke kamar mandi membersihkan tubuhnya. Air hangat memijat tubuhnya, sial! Kenapa ia terbayang wajah Rubi. Wanita itu bahkan tidak lepas dari ingatannya, padahal ia bersama Erin. Apa karena obrolan mereka kemarin super menyenangkan hingga membuatnya seperti ini. Bahwa ia merasa cocok dengan Rubi dibanding dengan Erin.
Dario keluar dari kamar mandi, ia menatap Erin di ranjang. Wanita itu melebarkan kakinya di ranjang, wanita itu memainkan jari telunjuknya dibagian sensitifnya dengan satu tangan. Sementara tangan satu lagi bermain di bagain dada. Mata Erin mulai terpejam, karena kenikmatan yang dirasakannya. Setelah cukup lama memainkan bagaian luar. Dua jemari itu mulai masuk ke dalam liang kenikmatan. Wanita itu mulai mendesah.
“Ah,” desah Erin.
Wanita itu terus memasukan jari ke dalam sana. Pergerakan jemarinya semakin cepat, terlihat terasa lebih nikmat. Dario mulai mengenakan pakaian dan celananya lagi, ia mendengar suara desahan tidak beraturan dari mulut Erin.
Dario melihat Erin semakin mempercepat permainannya, sesuatu seperti akan keluar. Dia terus mempercepat jarinya, memasukan dan mengeluarkan jari lentiknya. Hingga detik berikutnya, cairan keluar dari sana. Erin akhirnya melakukan pelepasannya sendiri. Kini gairahnya mulai menurun.
“Ah, ini baru nikmat,” ucap Erin, karena sudah keluar.
Dario menyungging senyum ia sudah berpakaian rapi, “Okay, main sendiri saja sepertinya lebih nikmat.”
“Maksud kamu, Dar?”
Dario menarik napas, jujur ketika ia menjalin hubungan bersama dengan wanita. Ia memang cenderung ingin tidur bersama, sabagai bentuk kepercayaan kepada pasangan. Baginya kecocokan segsual itu penting bagi dirinya untuk mengekspresikan rasa cinta.
Dario melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 19.10 menit, “Saya pulang ya. Kamu istirahat.”
Dario keluar dari apartemen Erin. Ia menutup wajahnya dengan tangan. Entah kenapa ia merasa bahwa hubungan dirinya dan Erin terasa hambar. Dario masuk ke dalam mobilnya, ia memanuver sambil memperhatikan jarak mobil dan motor di hadapannya.
Dario menarik napas beberapa detik ia mulai berpikir bagaimana caranya bersama Rubi lagi. Entah kenapa rasa penasarannya cukup besar kepada wanita itu. Wanita itu berhutang cerita tentang anak perempuannya. Dario membuka dasbor mobilnya, ia melihat ada cutter di sana. Ia mengambil cutter itu dan ia keluarkan dari tempatnya. Ia tahu bahwa ini akan terdengar gila menyakiti diri demi bertemu wanita itu.
***
Rubi menatap pandangannya ke depan ia fokus memanuver mobil. Ia memperhatikan lalu lintas disekitarnya. Masalahnya ia menggunakan mobil SUV nya dengan body yang cukup besar harus waspada. Sepanjang perjalanan ia mendengarkan radio di tengah kemacetan. Pikirannya lalu teringat tentang Dario, pria itu seperti tidak lepas dari kepalanya.
Secara visual, cara dia berbicara, merayu, pasti banyak wanita yang jatuh hati kepadanya. Pria itu sudah punya kekasih bernama Erin, tapi masih saja bisa merayu dirinya. Dia memang playboy sejati, sudah berapa banyak wanita yang dia pacari? Sudah berapa banyak wanita yang dia tiduri? Walau ia bekerja di rumah itu, ia berusaha menjaga jarak. Ia tidak akan menceritakan apapun tentang masa lalunya, agar mereka ada barrier.
Tidak berapa lama kemudian Rubi sudah tiba di rumah Peter. Ia memarkir mobilnya di plataran rumah bersama mobil lainnya. Kedatangannya ke sini tentunya memeriksa kondisi pak Peter dan sekaligus melihat Dario. Tadi salah satu staff memberitahunya bahwa pak Peter sedang perlu pengobatan darinya.
Rubi tidak habis pikir, kondisi seperti apa hingga Dario memerlukan pengobatan. Rubi melangkahkan kakinya menuju pintu utama, ia melihat ART membuka pintu untuk untuknya. Rubi tersenyum kepada wanita itu.
“Selamat pagi dok.”
“Selamat pagi juga bi,” ucap Rubi.
“Pak Peter di mana?”
“Ada di teras dekat kolam.”
Rubi masuk ke dalam ia melihat pak Peter sedang duduk di kursi di dekat kolam sambil menikmati secangkir teh tanpa gula. Sambil membaca buku, ia tidak tahu buku apa yang dibaca pria itu, pada cover nya bergambar kota London.
“Pagi dokter Rubi,” sapa pak Peter.
“Pagi juga pak.”
“Bagaimana keadaan pak Peter?” Tanya Rubi, ia duduk di samping pak Peter.
“Baik dok.”
“Saya tiba-tiba ingin ke Edinburgh. Apa saya bisa berpergian ke sana?” tanya pak Peter.
Alis Rubi terangkat, “Kapan pak Peter mau pergi?”
“Secepatnya, saya kangen menghirup udara kota Edinburgh.”
“Baik pak. Saya perlu diskusiin ini dengan dokter Rikas terlebih dahulu. Kalau dokter Rikas menyetujui itu berarti saya juga oke, maka kita akan segera membuat surat perjalanan untuk bapak bahwa kondisi bapak bisa berpergian jauh. Karena bapak baru pulih dari serangan jantung.”
Rubi merogoh ponsel dari saku jas nya, ia mencari nomor dokter Rikas yang sejak awal menangani kondisi pak Peter. Rikas ini adalah adiknya dokte Steven yang katanya sahabatnya Alexander. Dia termasuk dokter muda yang hebat, dia lulusan spesialis bedah jantung di UK. Pria itu tahu pasti bagaimana keadaan di UK. Ia hanya takut kondisi penyakit jantung, jika berada di atas permukaan laut, semakin sedikit oksigen di udara, dan menyebabkan sesak napas ekstrem.
Beberapa detik kemudian ponselpun terangkat, “Halo, dokter Rubi,” ucap seorang pria di balik speaker ponselnya.
“Halo dok.”
“Ada apa dengan pak Peter?” Tanya Rikas dibalik speaker ponselnya, ia tahu kalau dokter Rubi merupakan tim nya menangani pak Peter.
Rubi menarik napas beberapa detik, “Begini dok. Pak Peter ingin pergi ke Edinburgh. Apakah diperbolehkan untuk berpergian jauh?” Tanya Rubi.
Rikas terdiam beberapa detik, “Pak Peter mau ke Edinburgh?”
“Iya dok.”
Rikas tahu bagaimana kondisi pak Peter dan ia juga tahu bagaimana kondisi cuaca di Edinburgh. Jika kondisi jantung stabil, mungkin ini merupakan cara untuk beristirahat dan bersantai. Ia tahu cuaca Edinburgh seperti apa, ini sudah masuk bulan November memasukin musim dingin. Di tambah dengan perjalanan yang memakan waktu 18 jam lamanya di udara. Tingkat oksigen di atas udara yang rendah.
Rikas juga tahu pak Peter itu siapa, permintaanya harus dipenuhi. Ia perlu memastikan bahwa pak Peter siap menghadapi kemungkinan terjadi, dan berapa banyak obat yang harus diminum, dan ia memastikan perlindungan selama perjalanan. Ia tidak ingin menimbulkan banyak masalah jika terjadi diperjalanan.
“Nanti sore saya periksa lagi kondiri pak Peter, karena siang ini saya ada jadwal operasi. Pastikan lagi kondisi pak Peter stabil. Jangan ambil keputusan sebelum saya mengambil perintah.”
“Baik dok.”
Sambungan telpon terputus, Rubi menatap pak Peter ia lalu tersenyum, “Pak Peter akan ke sini menemui bapak. Kita menunggu keputusan dokter Rikas ya pak.”
“Iya, dok.”
“Kenapa pak Peter ingin ke Edinburgh?” Tanya Rubi penasaran.
Pak Peter tersenyum kepada Rubi, “Dulu setiap liburan ke Eropa, saya dan istri saya selalu ke Edinburgh. Saya ingin duduk menikmati bangunan tua di sana.”
“Semoga dokter Rikas memperbolehkan bapak perjalanan jauh.”
“Saya harap begitu dok.”
***
Setelah ngobrol banyak dengan pak Peter, Rubi undur diri karena ia akan memeriksa kondisi Dario. Jujur saat ini jantungnya sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja, rasanya gelisah menghantui dirinya. Di mana kamarnya? Apa di ruangan kemarin?
“Apa bibi tau, ruangan pak Dario di mana?” Tanya Rubi ke salah satu ART.
“Dokter Rubi mau periksa kondiri pak Dario?”
“Iya.”
“Mari bu, saya antar ke ruangan pak Dario.”
“Apa di atas sana?” Tunjuk Rubi ke arah tangga yang dilewatinya dulu.
“Bukan bu, itu kamar tamu.”
Rubi mengikuti langkah ART itu, ia tidak menyangka kalau yang digunakan Dario bersama kekasihnya adalah kamar tamu. Sekarang ia menuju ruangan Dario, ia harus menaiki dua tangga, ia tidak menyangka kalau kamar Dario sejauh ini. Ia melihat ruangan tampak lengang, bahkan ART di tidak ada, derap langkahnya terlihat bergema. Art menghentikan langkahnya di depan pintu berwarna putih dan Rubi juga menghentikan langkahnya.
“Bapak ada di dalam, dokter masuk saja. Pintunya nggak dikunci.”
“Oiya, bi.”
“Ada apa dok?”
“Kalau boleh tau pak Dario sakit apa?” Tanya Rubi, masalah ia ragu untuk memeriksa kondisi Dario di kamar berdua.
“Tangan bapak katanya terluka dok, habis kecelakaan.”
Rubi melihat bibi sudah pergi meninggalkannya. Rubi menarik napas beberapa detik untuk menenangkan hatinya. Ia mengetuk pintu sebelum ia menarik hendel. Ia memperlebar daun pintu, pandangannya ke depan, mendapati sosok Dario di sana. Sedetik kemudian mereka saling menatap satu sama lain.
Rubi memperhatikan penampilan Dario. Dia mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga siku dan celana panjang berwarna abu-abu. Rambutnya tersisir rapi seperti hendak pergi kerja. Rubi memperhatikan kondisi tubuh Dario, dia terlihat baik-baik saja.
Rubi mengalihkan pandangannya ke tisu dalam genggaman pria itu, ada darah di sana.
“Morning dokter Rubi,” ucap Dario melihat Rubi, dia mengenakan jas berwarna beige dan rok span navy. Seperti biasa dia selalu mengenakan pakaian yang enak dipandang, bukan pakaian yang ketat seperti Erin yang lebih menonjolkan lekuk tubuhnya. Entah kenapa ia merasa apa yang dikenakan Rubi tampak eksklusive.
“Morning juga pak Dario.”
Dario menyungging senyum, melihat Rubi masuk ke dalam, dia menenteng tas kerjanya.
“Saya dengar bahwa bapak sakit?” Tanya Rubi.
“Sesuai dengan ucapan saya kemarin, kalau saya ingin berobat dengan anda.”
Alis Rubi terangkat, “Kalau boleh tau sakit apa?”
“Tangan saya terluka,” ucap Dario menunjukan telapak tangannya.
Rubi mendekati Dario dan duduk di samping pria itu. Beberapa detik kemudian ia memperhatikan ruangan kamar, kamarnya besar, di dominasi warna putih dengan lantai kayu yang hangat. Tidak terlalu banyak barang di dalam kamar, horden berwarna senada dengan dinding, hingga mencimptakan ruangan yang luas dan bersih. Ia yakin sang pemilik kamar menyukai warna putih. Kamar ini terkesan sangat maskulin menurutnya walau tidak berwarna hitam.
Rubi menatap iris mata tajam itu, “Coba lihat tangan kamu,” ucap Rubi.
Dario memberikan tangannya kepada Rubi, dan Rubi menyingkirkan tisu itu dari telapak tangan. Ia melihat sebuah goresan pada telapak tangan Dario. Ia menyentuh telapak tangan itu, suhu terasa hangat di bawah permukaan tangannya.
“Apa kamu melukainya sendiri?” Tanya Rubi, ia membuka tasnya, mengambil P3K nya.
Dario mengangguk, “Iya, menggunakan cutter.”
“Why?”
“Demi berobat sama kamu.”
Rubi menarik napas, “Tidak baik menyakiti diri sendiri seperti ini.”
“Karena saya tertarik dengan kamu.”
“Tapi saya tidak.”
Bibir Dario terangkat, “Itu sebabnya. Karena kamu cantik, kamu pintar dan kamu mengabaikan saya. Jelas kamu itu tipe saya.”
***