Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 4

HAPPY READING

***

Dario tertawa melihat ekspresi terkejut Rubi. Ia menatap asisten rumah tangga membawa nampan berisi jus jeruk dan kudapan di atas piring.

“Nama panjang kamu siapa?” Tanya Dario.

“Hanya, Rubi.”

“Nama yang indah.”

“Umur?”

“30 tahun.”

Alis Dario terangkat, ia menyungging senyum, “Saya tiga puluh empat, hanya beda beberapa tahun saja dengan saya.”

“Pernah menikah?” Tanya Dario penasaran.

“Apa saya terlihat seperti seorang janda?”

“Tidak, kamu masih seperti gadis, kalau janda it’s okay, dua-duanya saya suka.”

“Kalau saya sudah menikah?”

Dario tertawa tatapannya tertuju pada jemari Rubi, wanita itu tidak mengenakan cincin apapun, “Kamu pasti belum menikah.”

“Dari mana kamu tahu?”

“Kamu tidak menggunakan cincin pernikahan.”

“Tidak semua orang yang menikah menggunakan cincinkan?”

“Tapi yang saya lihat, banyak wanita yang memakainya. Jadi saya menyimpulkan kalau kamu memang belum menikah. Kenapa belum menikah?” Tanya Dario.

“Kamu sendiri saja belum menikah. Tanyakan pada diri kamu kenapa kamu belum menikah? Bukan berbalik bertanya kepada saya.”

Dario tersenyum penuh arti, Rubi sangat pintar bersilat lidah, ia pikir Rubi itu gadis yang manis dan penurut, namun yang ia lihat Rubi tidak semanis yang ia pikirkan, dia lebih tegas.

“Kamu tahu? Dalam hidup saya selama berkepala tiga, jikka saya bertemu dengan keluarga atau orang yang saya kenal. Pertanyaan yang dilontarkan selalu ‘kapan menikah?’ Mengapa belum menikah? Mau pilih wanita yang bagaimana lagi? Mau menunggu apa lagi? Bahkan ayah saya sendiri menyuruh saya cepat menikah.”

“Jujur saya bukan pria yang bisa bergaul dengan banyak orang. Saya tipe yang sangat sulit menyesuaikan diri dengan orang baru apalagi itu dengan seorang wanita. Kerjaan saya juga terlampau padat hingga sering pulang malam. Pergaulan saya juga kurang luas. Mungkin kebanyakan teman saya laki-laki yang sudah menikah.”

“Tapi sekarang kamu punya pacar kan?” Timpal Rubi.

Dario mengangguk, “Iya, dia Erin. Dulu kita sempat pacaran waktu London dulu sudah lama. Lalu bertemu lagi di Jakarta, beberapa bulan yang lalu, ya kita memulai hubungan lagi.”

“Kenapa kamu tidak ajak dia menikah saja?” Tanya Rubi.

Dario tertawa, ia melirik Rubi, “Begini, nggak semua yang pacaran lalu saya ajak nikah. Semakin saya tua, saya justru semakin selektif memilih calon pasangan saya. Cari pasangan yang punya value itu sulit, apalagi semakin berumur. Semakin saya berumur, semakin mandiri. Kalau diajak buru-buru menikah saya juga jatohnya seperti cilingy kayak bocah. Kalau tipe seperti saya ini cara mencintai saya dengan kebebasan. Saya sebenarnya tidak suka template tipikal wanita yang sama.”

“Saya tidak suka wanita yang ngeribetin hal-hal yang tidak penting. Dan posisi saya ini, seperti berdiri di lautan yang penuh opsi, untuk menemukan satu saja rasanya sulit.”

“Itu artinya si Erin termasuk si cantik yang berprestasi dan bergelimang harta hingga menjadi pilihan kamu.”

Alis Dario terangkat, “Mmmm, nggak juga.”

“Tapi si Erin itu opsi yang kamu pilih di lautan yang luas itu kan.”

Dario terdiam sejenak menatap Rubi, ia tidak bisa berkelit, “Mungkin nanti ada opsi lainnya, siapa tau saya dapat mutiara di lautan.”

“Aduh, kasihan sekali si Erin hanya menjadi opsi kamu. Hanya dijadikan tempat pembuangan sprma.”

Mata Dario terbelalak kaget, mendengar ucapan Rubi, ucapan Rubi, “Enggak gitu Rubi. Mungkin kamu salah paham.”

“Salah paham gimana? Saya mencerna kata-kata kamu seperti itu, Dar.”

“Apa salahnya mencari yang terbaik?”

“Itu sama saja kan.”

Dario menarik napas, ia menatap Rubi dengan serius, “Begini Rubi. Kalau tentang soal tidur bersama, jelas itu hubungan consent dari dua arah. Jadi tidak ada pihak yang jadi pelampiasan nafsu pihak lainnya. Tidak ada namanya pihak yang ‘memakai’ dan pihak yang ‘dipakai’. Saya dan pasangan saya sama setara hanya cuma beda kelamin saja.”

“Yang ada di dalam pikiran kamu saat ini ada laki-laki mau melampiaskan n4fsu ke pacarnya, padahal belum tentu saya menikahinya. Right? Begitukan maksud kamu.”

“Kembali dengan pemikiran saya, asal kamu tahu hubungan s3x itu kebutuhan kedua belah pihak bukan tentang siapa memakai siapa.”

“In some ceses, ucapan kamu seperti playing victim hanya menguntungkan pihak si pria. Padahal in other cases banyak wanita di luar sana melakukan itu karena memang ingin. Saya juga bukan tipe pria yang mengiming-imingkan janji manis akan menikahinya. Jika dia menggunakan logika, si wanita bisa menolak kok, karena jika dipaksa jatohnya sudah criminal.”

“Mau apapun alasannya begitu memberikan consent maka itu menjadi sebuah keputusan. Setiap keputusan ada harganya, dan sebagai orang yang sudah dewasa seperti saya dan kamu seharusnya tidak boleh beralasan apapun setelahnya.”

“Sama seperti kamu ketika meminjamkan uang tanpa jaminan, tentu pemberi pinjaman sudah paham resiko uang bisa tidak dikembalikan.”

“Point utamanya tidak ada pemaksaan.”

“Kadang sampai tahap mau itu, ada juga si wanita yang mengajak duluan. Kadang ada sesi merajuk, memanipulasi bahkan memaksa. Mengingat wanita itu sudah dewasa dia punya hak untuk menolak tapi tetap mengiyakan.”

“Apapun bentuknya ketika wanita sudah dewasa dan memberikan consent, maka hal itu menjadi tanggung jawab atas segala konsekuensi yang ditimbulkan.”

“Toh, sama-sama orgasm. Kebutuhan berhubungan intim seperti makan dan minum. Kalau sudah lama tidak having s3x, kepala pusing juga.”

“Jika case nya si wanita s3x bebas, berhubungan dengan si mantan di belakang kamu. Sedangkan kamu menawarkan jalan serius ke pernikahan. Apa kamu bisa menerima hal seperti itu?” Tanya Rubi.

Dario menatap Rubi dengan intens, “Kebetulan saya punya harga diri. Jika sudah berhubungan dengan si mantan itu salah satu bentuk penghianatan. Terus memangnya saya mau menikah dengan modelan seperti itu? Jika sampai menikah dengannya, kemudian istri saya hamil, tidak mungkin kan tes DNA dulu untuk menentukan siapa bapak kandungnya.”

“Itu sudah complicated Rubi, kalau sudah rumit seperti itu ya tinggalkan saja. Saya tidak akan merendahkan harga diri saya untuk wanita yang tidak menghargai saya.”

“You desserves better, tentang menikah itu seumur hidup jangan menikah dengan orang yang tidak baik.”

Rubi memandang Dario, sebenarnya ia kagum dengan pemikiran Dario, inginnya standing applause namun ia tahu bahwa Dario akan besar kepala.

“Bagaimana dengan case wanita hamil di luar nikah. Maksud saya ada wanita melahirkan, punya anak tanpa menikah.”

Dario memicingkan mata manatap Rubi dengan intens, “Apa itu kamu?” Tanya Dario to the point.

“Jawab saja, saya ingin tahu bagaimana pandangan kamu,” ucap Rubi, ia mengambil gelas berisi orange jus dan menyesapnya secara perlahan.

“Case nya seperti apa Rubi? Saya ingin tahu latar belakangnya kenapa dia memiliki anak. Si wanita bisa menggunakan bayi tabung, dengan cara memperoleh anak menggunakan donor sprma. Atau dengan si wanita mencari calon yang pas dengan kesepakatan tertentu tanpa menikah.”

“Bukan itu, lebih tepatnya dari hubungan masa lalu. Si wanita tidak meminta pertanggung jawaban. Si pria sudah menikah dengan pasangannya.”

“Kalau soal hukum di Indonesia, memang tidak ada peraturan membenarkan memiliki anak di luar nikah. Tapi apa itu di larang? Jelas tidak dilarang Rubi. Tidak ada peraturan melarang wanita untuk hamil.”

“Jika si wanita tidak mau menikah, itu normal menurut saya. Ada memang orang yang tidak menemukan orang yang tidak cocok dinikahi. Banyak juga orang yang sukses tidak menikah berguna bagi masyarakat seperti Oprah Winfrey. Bisnisnya banyak dan sukses sebagai seorang wanita. Memperkerjakan banyak orang menghidupkan keluarga. Tidak menikah bukan hal yang buruk menurut saya.”

“Jika dibandingkan dengan pria yang punya istri dua dan tiga, itu sudah kelewatan.”

“Kalau kamu punya anak tanpa menikah, sedangkan ayah biologisnya menikah dengan wanita lain. Ya si wanita harus lapang dada. Jika saya jadi si wanita fine fine aja, tidak harus dipusingkan menjadi single mom itu keren menurut saya.”

“Reaksi saya tentu saya akan mendukung kalau kamu membesarkan anak tersebut. Hal nya sama dengan menganggap kalau semua manusia itu sama tidak lepas dari kesalahan. Kamu consent, mengakibatkan hamil di luar nikah adalah suatu bentuk pilihan eksistensial dan tentu kamu harus tanggung jawab. Tidak ada gunanya menghakimi kamu.”

“Do you have a daughter?” Tanya Dario lagi.

Rubi menelan ludah, ia tidak menyangka kalau Dario memiliki feeling yang kuat kalau dirinya memiliki anak.

“Why me?” Tanya Rubi gelagapan.

“My feeling, kamu memiliki anak.”

Rubi membuang wajahnya, mengambil gelas bertangkai tinggi itu dan meneguknya. Seketika bibirnya kelu ketika Dario berargumen kalau dia memiliki anak perempuan. Setepat itu kah feeling Dario? Atau dia pernah belajar mimic wajah seseorang, apa dia mengambil kelas psikologi yang bisa membaca wajah seseorang.

“Dari mana kamu tahu?” Tanya Rubi penasaran.

Dario tersenyum, ia melirik ke arah ponsel Rubi yang tergeletak di meja, ia tadi ketika mengambil minuman tanpa sengaja menyenggol layar sentuh itu, melihat Rubi sedang menggendong seorang balita.

“Saya melihat wallpaper di ponsel kamu.”

Rubi ingin sekali membenturkan kepalanya kedinding, bisa-bisanya ia lupa bahwa ia menaruh ponselnya di meja. Rubi memilih diam seribu bahasa, ia melihat Dario yang masih memperhatikannya. Ia buru-buru memasukan ponsel ke dalam tas. Ia tahu kalau pria itu menunggu jawabannya. Dalam hitungan menit Dario tahu masa lalunya hanya bermodal wallpaper.

“Your daughter is beautiful, she is like you,” ucap Dario.

“I don't want to discuss it. Forget it. Maaf sudah berbicara banyak dengan kamu,” Rubi menghela napas inginnya menghindari Dario sekarang juga. Rubi beranjak dari sofa, namun Dario menghalanginya.

“Kamu sudah terlanjur bercerita sama saya, Rubi.”

“Maaf, saya tidak bisa cerita dengan orang yang baru saya kenal. Saya perlu ke belakang, ada ART yang sakit. Saya perlu memeriksanya ke kamar.”

“Saya antar kamu kalau begitu.”

“Tidak usah.”

“Nanti kamu kesasar lagi seperti tadi.”

“Saya bisa tanya staff yang lain, Dar.”

“Saya tetap antar kamu.”

“Kamu maksa sekali.”

“Saya memang pemaksa sejak dulu.”

“Dasar egois.”

“You're right. I'm selfish.”

Rubi melangkah menjauhi sofa, ia melirik Dario pria itu mengikutinya di samping. Jantung Rubi maraton hebat, ia menghela napas, semoga saja ia tidak terpengaruh dengan laki-laki ini. Sepanjang perjalanan dari koridor menuju kamar Art mereka hanya diam, sibuk dengan pemikiran masing-masing.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel