BAB 8_MAS
Kliiik ....
Suara pintu tertutup spontan membuat Ratih dan Nindi membuka mata. Penampilan mereka sudah seperti mumi yang bangkit.
"Carla! Cepat!" seru Ratih bergerak-gerak tak nyaman.
"Jangan lama-lama Tante!" Nindi memanyunkan mulutnya.
Carla yang baru saja menutup pintu setelah melepas kepergian Yudha dan Aleksei mencucut kesal dengan sikap kakak dan keponakannya itu.
"Kalian jangan heboh! Kalau Yudha sama Aleksei itu sadar, bisa mampus kita!" omelnya memanggil asistennya yang sedari tadi bersembunyi di dalam kamar mandi.
"Cepat, bantu aku membuka perban mereka!" perintahnya sembari melepas helaian demi helaian di tubuh kakaknya.
"Hampir saja aku kehilangan kesabaran. Dililit begini benar-benar membuat badanku kaku semua," gerutu Ratih melepaskan perban di wajahnya.
"Tante, pastikan mereka tak datang lagi!" tambah Nindi meracau.
"Sudah, kalian berdua ribut sekali! Syukur, kami datang tepat waktu jadi Yudha tak curiga," ujar Carla meneguk air putih karena kelelahan. Wanita itu tegang sebab takut rencananya terbongkar.
"Kamu yakin kan, Yudha dan Aleksei tak curiga?" tanya Ratih kembali memakai bajunya.
Belum sempat Carla menjawab, Tiba-tiba ....
Kleeek ....
Ketiga wanita itu serentak kaget. Demian muncul.
"Huuft .... Copot jantungku, Mas," keluh Carla mengelus dadanya.
"Kalian paranoid," senyum Demian langsung duduk di sofa meraih ponselnya.
"Ya. Baguslah. Tak perlu. Cukup aku tahu saja."
Demian menutup panggilan.
"Siapa?" tanya Ratih.
"Suruhanku. Mereka mengatakan, Yudha dan Aleksei berkendara menuju lokasi pemakaman. Berarti Yudha sudah mulai percaya bahwa yang dikubur itu istrinya," kekeh Demian senang.
"Dari dulu dia memang bodoh," ketus Nindi sembari memainkan ponselnya sedangkan asisten Carla melepas perban dikakinya.
"Husss! Dia juga kakakmu! Harusnya kita kasihan sebab dia jadi korban perasaan di sini. Tapi mau gimana lagi, istrinya itu membawa sial," ujar Ratih memakai make up kembali.
"Sampai kapan kita di sini, Om?" tanya Nindi.
"Hmmm ... sebulan lagi lah. Aku sudah bicara dengan pihak rumah sakit. Yang penting uang lancar, semua bisa diatur," kekehnya bangga.
Nindi memanyunkan bibirnya. Sudah dua minggu dia terkurung di kamar itu tapi tetap saja dia bosan, meskipun kamar kelas VIP. Apalagi sebulan kemudian. Nindi mengembus nafas kasar.
"Jadi bagaimana? Pengalihan harta sudah kamu aturkan? Segera bagilah! Aku tak mau bagianku, kau habiskan di meja judi!" lanjut Ratih menatap adiknya.
Demian tertawa.
"Kamu ingin Sayudha curiga? Belum 100 hari istrinya, kita sudah bagi harta. Biarkan saja semua aset itu berjalan sebagaimana mestinya. Hasilnya kita bisa bagi tiga. Hahahaha!"
Ratih dan Carla mengangguk.
"Aku dapat apa?" tanya Nindi.
"Dapat jodoh," jawab Carla yang disambut tawa ibu dan pamannya. Nindi cemberut.
'Jika wanita bercadar itu benar-benar mati, itu sudah cukup jadi hadiah terbesarku' bisik hatinya penuh kebencian.
"Kalian yakin kan, Yudha dan Aleksei tak curiga?" Ratih mengulang pertanyaannya.
"Aku yakin Yudha tak curiga sebab emosinya sedang terguncang. Tapi kita harus waspada pada Aleksei. Aku merasa, menantumu itu bukan orang sembarangan. Maksudku, dia lebih dari yang kita tahu," ujar Demian mengusap janggut tipisnya.
"Aku juga merasakan ada aura tersembunyi yang siap menerkam siapapun yang membuatnya terusik," ujar Carla serius.
Ratih mengingat sesuatu, saat peristiwa yang membuat harga dirinya sebagai mertua terpelanting begitu saja. Tak bernilai.
"Yah, berhati-hatilah padanya sebab dia dan wanita setan itu tak jauh beda," ujar Ratih menarik nafasnya kuat-kuat.
"Ayah memang keterlaluan. Memasukkan tikus got menjadi anggota keluarga kita. Merugikan kita semua. Setelah kematiannya, kita menjadi terlantar begini. Sudah tak bisa bersenang-senang lagi. Aku takkan membiarkan itu terjadi. Sebagai anak laki-laki satu-satunya di keturunan Aderald Ibrahim, kuhancurkan apapun yang menghalangi kita!"
Demian berapi-api. Kedua saudara perempuannya tersenyum lebar.
##
Sedang di sisi lain, Luna masih tak sadarkan diri. Tiap hari Ayu Ruminang menjaga dan menunggunya siuman.
"Gavin, jaga dia sampai aku kembali. Aku harus bekerja. Jika tidak, aku takkan bisa membayar biaya perawatannya," ujar wanita seksi itu.
"Honey, kenapa sih kau begitu sangat peduli padanya? Aku tak pernah melihatmu melakukan sesuatu seserius ini. Bukannya kau berjanji takkan menggadaikan diri lagi setelah vonis itu," ucap Gavin dengan tatapan sendu.
Ayu Ruminang tersenyum tulus. Senyum yang selalu membuat pemuda bule itu terenyuh dan semakin cinta.
"Aku hanya ingin dia tetap hidup. Aku tak punya alasan. Bantulah aku. Jagalah dia sampai aku kembali."
Ayu Ruminang menyemprotkan parfum khasnya ke leher dan pergelangan tangannya. Aromanya lembut namun langsung melekat di setiap hidung yang menghirupnya.
"Satu lagi, percayalah aku tak menjual diriku lagi. Aku sedang menjadi istri simpanan seorang pejabat tinggi di negeri ini. Itu sudah cukup terhormat untukku," jawabnya.
"Lalu aku? Sampai kapan kita begini?"
"Tenang saja. Biasanya laki-laki seperti suamiku saat ini suka bosanan. Jadi kau hanya perlu bersabar menunggunya untuk menceraikanku. Apalagi jika dia sudah tahu kondisiku sebenarnya, pastilah dia akan membuangku," ujarnya datar.
"Honey ... Please. Jangan katakan lagi. Kamu sangat berharga. I love you."
Gavin mencium pucuk hidung Ayu Ruminang. Wanita itu tersenyum.
"Berjanjilah, kamu akan menjaganya dengan baik. Jika terjadi apa-apa padanya, segera telpon aku."
Gavin mengangguk.
Setelah kepergian Ayu Ruminang, laki-laki berkulit putih khas western dengan hidung yang tinggi mancung itu duduk termenung di depan tubuh Luna yang masih dibalut perban. Rambutnya cepak blonde dengan hiasan pupil mata yang berwarna biru.
Gavin memperhatikan punggung tangan Luna yang tak terbalut perban. Putih, bersih dan lentik. Bulu mata Luna juga masih terlihat lentik tebal dengan kelopak mata lebar yang tertutup.
"Pastilah sebelumnya you are so beautifull," gumamnya sendirian.
Tiba-tiba dua orang perawat datang menghampirinya.
"Pak, kami akan mengganti perban pasien," ujar salah satu perawat itu.
Gavin tersenyum lalu beranjak akan pergi. Tiba-tiba ....
"Mmmmmmmmmaaaasss ...."
Gavin berhenti. Telinganya seperti melebar ketika tubuhnya berbalik.
Meski kelopak mata indah itu tertutup, tapi suara itu begitu menyentuh hati Gavin. Tubuhnya kaku melihat wanita yang berbalut perban itu mencoba untuk sadar diri komanya. Kedua perawat yang sedang mempersiapkan perban baru, berbinar senang.
"Syukurlah, pasien sudah mulai sadar. Panggil dokter Adi, Sus!" perintah salah satu perawat itu pada rekannya. Dia terlihat sibuk mengecek alat pernafasan Luna dan memantau detak jantungnya.
"Mmmmaaaaasss ...."
"Anda orang terdekat pasien? Mungkin bisa dibantu ajak pasien berbicara!" seru perawat itu mencoba mengecek suhu tubuh Luna.
Gavin terhenyak. Ia tak mengenal wanita itu tapi hatinya terenyuh ketika suara wanita itu memanggil. Meskipun dia tahu, panggilan itu bukan untuknya.
"Mmm-mmmaaaass ...."
Ada bulir bening di ujung mata Luna. Wanita itu menangis. Gavin mendekat ke telinga Luna.
"Yaaaa ...," lirihnya bergetar. Jantungnya juga bertalu-talu.
"Mmmmaaaaass ...."
"Ya. Im here. Aku di sini, baby," jawab Gavin mencoba menyentuh pelan perban yang menutup dahi Luna.