BAB 7_ALEKSEI DATANG
Aleksei memapahku masuk. Laki-laki kekar itu menuju dapur. Hari dimana jenazah wanita berhijab itu dibawa pulang, hari itu juga aku meninggalkan rumah mewah peninggalan kakekku. Aku tak ingin melihat jenazah itu meskipun semua orang memaksaku untuk mengakuinya.
Tak lama, Aleksei membawa sepotong roti panggang dengan daging di dalamnya. Segelas susu hangat tersaji siap untuk aku santap. Aku pun lahap. Rasa lapar di perutku memaksaku terus untuk mengunyah.
"Jadi benar, cincin ini ada di jari Angel?" tanya Aleksei setelah memberiku segelas air.
Aku menganguk.
"Sejak pertama kupasangkan saat pernikahan kami, dia selalu memakainya," jawabku pelan dengan dada yang terasa penuh.
Pemuda kekar itu terlihat menghirup udara dengan sangat kuat. Terlihat urat-urat di wajahnya menegang.
"Bagaimana bisa Angel menyupir sendirian?"
"Dia bersama Mama dan Nindi. Mereka dalam perjalanan ke rumah sakit untuk medical cek up."
"Damn!" umpatnya tiba-tiba dengan wajah sangar. Aku terkejut melihat ekspresi menakutkannya itu.
"Pastilah ibu dan adikmu yang menjebak Angel! Bisa jadi mobil itu dirusak dan mereka membiarkan Angel menyupir sendirian!"
"Hati-hati bicaramu, Aleksei! Mereka juga sedang meregang nyawa di rumah sakit!" teriakku.
Aleksei mengernyitkan dahinya.
"Tapi mengapa Ratna tak membicarakan ini?" tanya Aleksei seperti keheranan.
Aku diam. Bahkan aku tak berani mengatakan kepada Aleksei bahwa aku sendiri dan tak pernah melihat kondisi ibu dan adikku secara langsung. Tapi melihat bibi Carla yang begitu histeris, aku yakin ibuku dan Nindi sedang berjuang untuk terus hidup.
"Itu karena pihak rumah sakit tak memperbolehkan siapapun masuk selain petugas rumah sakit dan polisi."
Nampak laki-laki itu memperhatikan cincin itu dengan mata lekat. Ada rasa yang susah untuk diuraikan dari gambaran wajahnya.
"Aku pergi," ujarnya pelan bangkit dari sofa.
"Kemana?!"
"Ke rumah sakit," ujarnya setelah meneguk segelas air putih.
"Untuk apa?!" Aku bertanya seperti kebingungan. Aleksei menatapku diam.
Mengapa aku harus bingung? Tentu saja, Aleksei ingin menjenguk mertua dan iparnya. Sepertinya benar, sedikit demi sedikit, akalku menyusut.
"Aku ikut!" seruku lagi.
Aleksei tak bicara apa-apa bahkan sampai mobilku terparkir di halaman rumah sakit, laki-laki itu tak berkata apapun. Lagi dan lagi, sikap dingin dengan sorot mata mengancam itu kembali muncul. Itu juga yang selalu Luna tunjukkan jika dalam menghadapi masalah serius. Aku meremas tanganku sangat was-was. Apa yang akan terjadi?
Di depan ruangan mama dan Nindi, seperti biasa, tetap dijaga oleh dua laki-laki berseragam polisi dengan perawakan tinggi besar. Melihat kedatangan kami, keduanya berdiri tegap. Apakah setelah 2 minggu, mereka tetap menghalangiku lagi?
"Aku ingin melihat kondisi ibu dan adikku, Pak," ujarku mendekati mereka.
"Mohon maaf, korban masih butuh perawatan dan istirahat," jawab salah satu polisi yang namanya tertulis di bahu, Yanto.
"Kami takkan menggangu, hanya ingin melihat kondisi mereka secara langsung saja. Masa anak dan suadara kandung gak boleh masuk, Pak?! Ini tak wajar!" ujarku bersikeras.
"Maaf, tidak bisa!" tegas Yanto kembali.
"Di dalam sana, ibu dan adik kandungku, Pak!" tegasku mengulangi.
"Kami belum menerima perintah. Silahkan pergi!"
"Perintah siapa yang kamu maksud?" tanya Aleksei maju.
"Ada apa ini? Kenapa terlihat tegang?" sapa seorang yang tak asing di telingaku. Serentak aku dan Aleksei menoleh dengan cepat. Om Demian dan tante Carla.
"Om!"
Aku mendekatinya. Dia menyambutku hangat. Sedangkan tante Carla hanya tersenyum kecut dan melenggang masuk ke dalam ruang perawatan. Kenapa kedua polisi ini tidak menghalanginya?
"Kenapa Yudha? Kamu sudah sehat?"
"Kami ingin ketemu Mama sama Nindi. Tapi mereka menghalangi," aduku menoleh ke arah kedua polisi itu.
"Iya, karena ibu dan adikmu harus rehat total. Sebentar, tantemu akan mempersiapkan pertemuan kalian," ujarnya santai.
Apa yang harus dipersiapkan? Melihat kedua mata om Demian, aku sama sekali tak bisa berkata-kata. Aku seperti dihipnotis untuk tidak memberontak. Bahkan ketika aku tahu, hari dimana jenazah itu makamkan, om Demian dan tante Carla membawa koper dan asisten pribadi mereka. Dan aku tak bisa mengatakan apapun meski hatiku rasanya menolak.
"Sekarang kalian boleh masuk!" seru tante Carla membuka pintu.
Aku dan Aleksei melangkah. Tampak kedua tubuh terbujur dengan perban membungkus tangan dan wajah mereka. Infus dan selang oksigen terpasang di mulut keduanya. Mata mereka tertutup dengan kelopak yang menghitam seperti lebam.
"Ini ibumu dan ini Nindi," ucap tante Carla mengusap air matanya.
Tak terasa air mataku juga menetes. Separah inikah kondisi mereka? Tiba-tiba aku teringat jenazah itu. Luna? Aku memegang dadaku yang terasa sesak.
"Apa kata dokter?" tanya Aleksei.
"Hampir seluruh kulit mereka terbakar. Mereka akan menjalani operasi. Syukur mereka masih bisa diselamatkan. Hampir saja mereka kehabisan darah. Tapi sayang, sedangkan menantu kami harus meninggalkan kami selamanya sebab tak bisa tertolong. Dia pasti sudah berjuang untuk tetap hidup."
Tante Carla menyenderkan kepalanya pada dada om Demian. Wanita itu tampak awet muda meski usianya menjelang kepala empat. Meski ia menangis, wajahnya terlihat tetap stabil. Sesekali ia mengelap air matanya dengan tisu. Ia selalu anggun.
"Sabarlah Carla. Semua sudah menjadi takdir Tuhan," ujar om Demian.
"Berarti, meskipun mereka dioperasi, kulit tubuh mereka akan cacat seumur hidup," ucap Aleksei.
Seketika mataku membeliak menatapnya. Oh Tuhan ... apa yang dikatakan Aleksei itu benar. Aku semakin nelangsa. Tak bisa kubayangkan jika ibuku dan Nindi cacat seumur hidupnya. Apalagi ibuku tipekal sempurna dalam merawat diri sedangkan Nindi, bahkan gadis itu belum menikah. Bagaimana ia bisa menemukan jodohnya dengan kondisi kulit bekas terbakar?
"Aku akan menggelontorkan banyak dana agar tubuh ibu dan adikmu kembali seperti semula," timpal om Demian terlihat sangat yakin.
"Percayalah!" tambahnya lagi.
"Apa mereka bisa mendengarkanku, Om?" tanyaku mendekati ibuku. Kedua bola matanya tertutup. Selang di tangannya terpasang pada infus.
Om Demian mengangguk.
"Ma, cepat bangun. Maafkan aku sudah banyak salah. Aku tak berniat mau menyakiti Mama. Aku sudah kehilangan Luna. Jangan lagi kalian," lirihku mengusap air mataku.
"Sudah. Nanti kalau lukanya sudah membaik, aku pasti menghubungimu. Kau fokus saja menata hidupmu kembali. Perusahaanmu pasti membutuhkanmu. Kamu jangan khawatir. Biarkan mereka istirahat. Mari kita keluar!" ajak om Demian.
Aku mengangguk. Aleksei menatap sekeliling. Dia sama sekali tak mendekati mertua dan kakak iparnya.
"Kamu tak ingin berkata apapun?" tanyaku.
"Semoga lekas membaik," jawabnya datar.
Aku keluar dengan perasaan semakin hancur. Hancur sehancur-hancurnya. Seharusnya aku percaya, jenazah itu adalah benar Luna. Benar kata Karmila, setidaknya aku mengantarkannya sampai ke peristirahatannya terakhir. Bagaimana kubiarkan Luna menuju istana barunya tanpa aku mengantarnya? Aku sangat egois dan tak dewasa menerima takdir Allah. Bukankah setiap yang bernyawa akan merasakan kematian? Ada pertemuan ada pula perpisahan. Tapi, hatiku tetap tak menerima, mengapa secepat ini?
Memikirkannya dadaku semakin sesak.
"Tolong antarkan aku ke makam Luna," ujarku pada Aleksei ketika kami sudah di dalam mobil.
Laki-laki itu menatapku serius.
"Aku sudah bersalah telah mengabaikan dia. Aku tak ingin mengulangi kesalahanku lagi," lanjutku.
"Jadi kau percaya, itu Angel?"
Aku mengangguk. Aku harus percaya. Meskipun jauh di sudut hatiku, bercokol keraguan itu. Namun kuyakinkan hatiku, aku hanya belum bisa menerima takdir Allah. Aku hanya perlu menguatkan diriku dengan naskah hidupku yang telah tertulis jauh sebelum aku dilahirkan.
'Istriku, aku datang ....' bisik hatiku.