BAB 6_KARMILA
Aku hanya terus mematung menatap cincin berlian yang diberikan Kokom setelah jenazah itu dikebumikan, tepat di samping makam kakekku.
"Seharusnya kau hadir ketika pemakaman istrimu. Setidaknya kau bisa mengantarkannya ke istirahat terakhirnya."
"Sudah kukatakan, dia bukan istriku, Kom! Dia bukan Luna-ku," tegasku marah.
"Cobalah menerima kenyataan, Sayudha! Kamu membuat malu dirimu sendiri. Sebagai lelaki, kamu sangat lemah," cecar Kokom.
"Kamu belum pernah kehilangan orang yang kamu cintai, makanya kamu seenaknya saja berucap."
"Jangan lupakan, ibuku sudah meninggal sejak kita masih kuliah. Apa ada kehilangan yang sesakit ditinggalkan seorang ibu?"
Tatapan wanita gendut itu mengintimidasiku.
"Aku tahu kamu sedang berduka tapi kamu harus ingat, kamu adalah pemimpin sebuah perusahaan besar. Kamu harus kuat, Sayudha! Di pundakmu, banyak bergantung nasib istri-istri karyawanmu yang selalu berharap gaji tepat waktu. Please ... thats the point!" lanjut Kokom menasehatiku.
"Mumpung masih basah tanah kuburan istrimu, baiknya kamu pergi meminta maaf sebab kau tak mengantarnya."
"Sampai kapanpun aku takkan pernah percaya, wanita itu istriku. Oh ... aku baru sadar, kamu tak pernah melihat wajah istriku secara langsung, Kom. Makanya kamu tak percaya, dia bukan Luna-ku!"
Kokom hanya diam. Ia hanya terus menatapku tajam.
"Sini! Kemarilah!" Aku memberi isyarat agar dia mendekat. Aku mengusap air mata yang masih menempel di wajahku. Dengan cepat kubuka ponselku.
"Lihatlah. Ini. Ini fotoku bersama Luna. Momen saat kami makan malam di dapur rumah pribadiku."
Kokom hanya terus diam, meskipun wajahnya tak bisa berbohong dia terkesima dengan kecantikan istriku.
"Ini lagi. Foto ini saat kami sedang di kamar hotel bintang 5 di Bali. Lihatlah betapa mulus kulit istriku. Betapa indah lekuk rahangnya, bibirnya! Bagaimana kau bisa menyamakan kecantikan Luna-ku dengan mayat itu. Tidak, Kom! Dia bukan istriku!"
"Gunakan kewarasanmu Sayudha! Istrimu terjebak dalam mobil yang terbakar setelah jatuh dari jurang!"
Kokom menepiskan ponselku.
"Kau adalah pemimpin perusahaan. Jika kau terus menggila seperti ini, bagaimana bisa perusahaan bisa maju. Syukur-syukur kalau perusahaan tetap bertahan tanpa kehadiran pemimpinnya," lanjutnya lagi.
"Aku tak peduli. Berhentilah ikut campur dalam masalahku, Kom! Kau hanya karyawanku," ketusku.
"Kalau begitu berhenti pula memanggilku dengan sebutan itu! Namaku Karmila! Kar-mila! Sebagai manager di perusahaanmu, aku berkewajiban membawamu kembali bekerja!" pekiknya.
"Karmila Mawarni. Aku tak akan pernah lupa nama aslimu. Seperti aku selalu mengingat nama istriku, Diandra Safaluna."
Wanita gendut itu mengusap wajahnya. Ponselnya berdering.
"Baik. Kami akan segera ke sana. Pastikan berkas yang dibutuhkan sudah siap."
Setelah menutup panggilan, Karmila menarik tanganku. Aku menepisnya.
"Kau wakili saja. Aku akan mencari istriku di jurang itu. Dia pasti sedang menungguku. Luna-ku tak mungkin mati dalam kecelakaan itu. Pastilah dia sedang bersembunyi di suatu tempat," ujarku mencoba merapikan pakaianku, mencari kunci mobil.
Karmila kembali meraih tanganku.
"Jangan buat aku muak, Sayudha! Rapat ini sangat penting! Jangan sampai sikap gilamu ini menghancurkan perusahaan! Tidak ada yang akan percaya pada perusahaan yang nyaris tumbang! Jangan biarkan apa yang telah kau bangun bertahun-tahun hancur!" ancamnya dengan mata sipitnya yang melotot.
Aku menarik tanganku dengan kasar.
"Biarkan saja hancur. Aku memang sudah hancur. Biarkan saja! Kau carilah perusahaan yang lebih baik dari perusahaanku. Atur sendiri uang pesangonmu. Jika yang lain juga mau resign. Silahkan."
Plaaaak!
Karmila menamparku untuk pertama kali sepanjang aku mengenalnya sejak masa SMP.
"Kau Pecundang!" umpatnya lalu meraih tasnya. Ia akan pergi dan aku tidak peduli. Tiba-tiba pandanganku serasa gelap. Aku merasa sangat haus. Kulangkahkan kakiku menuju dispenser di ujung sana.
Bruuuugh!
Rasanya seluruh tubuhku sangat lemah. Aku sudah duduk di lantai. Tak mampu kuingat lagi, kapan terakhir aku makan sejak kehilangan Luna.
"Sayudha!!!" pekik Karmila berlari lalu memapah tubuhku ke sofa.
Aku tercenung. Air mataku kembali mengalir.
"Kom... Di mana istriku. Ketika aku sakit, dia tak pernah lepas dari pandanganku. Katakan pada Luna-ku, suaminya sekarang sedang sakit," rintihku dengan nafas yang melemah.
Aku merasakan tangan Karmila bergetar ketika mencoba menegakkan leherku. Dia tak bicara apa-apa hingga kudengar ada seseorang sedang menggedor pintu dengan kasar.
Aku membeliak kaget. Itu pasti Luna. Istriku itu kan bar-bar! Aku langsung bangkit. Karmila heran melihatku yang semula lemah menjadi begitu bertenaga.
"Yudha! Hati-hati!" teriak Karmila mengejarku yang baru saja tak sengaja menabrak meja di depan sofa.
Meski sempoyongan, aku terus berjalan cepat bahkan berlari menuju pintu.
"Luna. Luna!" seruku membuka pintu.
Kelopak mataku terkulai. Ternyata seseorang yang tak kuharapkan namun dia sosok yang tak bisa lepas dari istriku. Mereka bagai dua sisi logam, saling bertautan dalam hubungan yang murni, persahabatan. Laki-laki yang aku cemburui sekaligus kukagumi, Aleksei Moriz.
"Yudha!"
Aleksei kaget ketika tubuhku kembali luruh di dadanya. Aku menangis tersedu-sedu. Dia memelukku. Sejak pertempuran dahsyat itu, aku begitu sangat mengaguminya dan mempercayainya banyak hal.
"Luna ... bawa Luna kembali Aleksei! Meskipun aku harus melawan Eville atau Abere sekalipun," isakku dengan dada yang terus naik turun sesak.
Aleksei menegakkan tubuhku.
Buuughh!
Aleksei meninju perutku. Meski tidak benar-benar keras, aku meringis.
"Bodoh! Mengapa kamu tak menghubungiku?! Hampir dua minggu sudah berlalu. Mengapa kamu tak memberitahuku berita ini!"
"Karena dia sudah tak waras!" seru Karmila yang sedari tadi berdiri di belakangku.
"Siapa kamu? " tanya Aleksei.
"Aku Karmila, brand manager di perusahaannya. Sebagai karyawan, aku di sini untuk menyeretnya kembali mempimpin rapat. Perusahaan bisa hancur jika dia terus-terusan menggila seperti sekarang," ujarnya wanita gendut itu seperti meluapkan kemarahan. Ia menoleh ke arahku yang terpekur dengan sorot mata penuh amarah.
"Dia belum bisa menerima jika istrinya sudah dimakamkan," tambah Karmila.
"Diam! Kamu tak punya hak untuk mengatakan itu! Meskipun aku tak melihat mayat yang kalian kuburkan, aku begitu yakin, dia bukan Angel! Kalian tak ada yang mengenalnya lebih dari aku. Dia tak semudah itu untuk hancur dalam kecelakaan konyol!" pekik Aleksei memukul dinding dan melototkan mata elangnya ke arah Karmila.
"Ini!"
Telapak tangan Aleksei diraih kasar oleh Karmila.
"Ini adalah cincin yang terselip di jari jenazah wanita itu. Suaminya sendiri yang mengakui itu milik istrinya. Terserah. Aku sudah lelah dengan semua ini. Aku turut berduka atas musibah yang menimpa big boss-ku tapi aku tak bisa lemah sebab kelangsungan dua ribu lebih karyawan di perusahaan ini sedang dipertaruhkan. Aku pamit. Ada rapat penting."
Karmila melangkah melewatiku tanpa sedikitpun menoleh padaku. Wanita gendut itu berubah menjadi sangat tegar sejak jiwa dan ragaku lemah. Dia memasang badan selalu menjadi terdepan untuk menepis segala masalah yang menimpa perusahaanku. Aku tahu, dia tak akan meninggalkanku dan pekerjaannya. Meski sejujurnya, ayahnya memiliki perusahaan sendiri dan dia adalah pewaris tunggal. Karmila Mawarni mendedikasikan dirinya selama ini tanpa pamrih padaku. Semua itu hanya untuk sebuah rasa yang selalu ia semai indah tanpa harap balas. Cinta.