BAB 5_BERITA
"Saya mewakili kedua teman saya, silahkan ikuti saya ke ruangan," perintah salah satu dokter yang terlihat paling tua. Sepertinya dia adalah senior. Kedua rekannya mengangguk, mempersilakannya untuk berjalan lebih dulu. Ayu Ruminang mengikuti mereka.
Wanita seksi itu mencoba menutupi dadanya dengan syal hitam yang bertengger di lehernya. Ia terlalu sungkan untuk berhadapan dengan ketiga dokter itu dengan pakaiannya yang sekarang.
"Saya harap, dia tetap hidup, Dok," ucap Ayu Ruminang memulai percakapan.
"Kami memiliki dua berita sekaligus. Berita gembira dan berita buruk. Anda ingin mendengar yang mana lebih dulu?"
"Berita buruk," ucapnya. Setidaknya dia memiliki harapan berita baik. Wanita sensual itu tegang.
"Pasien mengalami luka bakar tingkat 3, dalam arti, ini sangat parah merusak jaringan lebih dalam sampai ke otot dan tulang. Beberapa bagian tubuhnya sudah dalam kondisi gosong. Kaki, tangan terutama bagian pipi, rahang. Bisa dipastikan akan butuh lama untuk pasien bisa stabil kembali seperti semula. Tapi tidak pada kulit yang terbakar. Kami tidak bisa langsung mengembalikan kondisi kulitnya menjadi seperti semula."
Sejenak suasana menjadi hening.
"Pasien mengalami komplikasi hipovolemia, yaitu kondisi ketika tubuh kekurangan cairan termasuk darah secara mendadak," lanjut dokter senior itu.
Ayu Ruminang melirik papan nama di mejanya. Adipura.
"Lalu seberapa persen dia akan tetap hidup?"
"Berita baiknya, pasien sudah melewati masa kritisnya. Saya salut dengan ketahanan tumbuhnya dalam menerima rasa sakit. Meskipun luka bakar itu masih merupakan ancaman, setidaknya sekarang, kondisi jantung dan paru-parunya bekerja dengan baik. Kami akan tetap pantau. Kita berdoa, semoga dia segera siuman. Saat ini, korban masih tak sadarkan diri," jawab dokter Adi.
Tatapan mata Ayu Ruminang kabur. Ada cairan berkumpul di matanya. Segera ia mengusap wajahnya.
"Lakukan yang terbaik untuknya, dokter. Saya siap membayar berapapun biayanya!"
"Siap, Bu," ujar dokter Adi yang disambut anggukan kedua rekannya.
"Tapi saya mohon, jangan bocorkan identitas kami. Itu sangat penting," lirih Ayu Ruminang dengan mata sayu.
"Kami menjaga data pasien dan penyakitnya jika diperlukan. "
"Terimakasih banyak, Dok," jawab Ayu Ruminang tegas.
"Oh ya, berdasarkan hasil laboratorium, kami menemukan zat yang berada di dalam obat bius. Mungkin Anda bisa sedikit menjelaskan pada kami," ujar salah satu dokter di samping dokter Adi.
Ayu Ruminang menggeleng.
"Ditemukan adanya zat bius Gamma Hydroxybutyrate (C4H8O3) atau GHB yang menyerang sistem saraf pusat. Pasien dikhawatirkan mengalami depresi pernapasan berat, halusinasi bahkan terancam akan amnesia meskipun sementara," lanjut dokter muda itu membaca lembaran kertas di tangannya.
Membelalak kedua bola mata Ayu Ruminang. Ia menelan salivanya tegang.
"Baiklah. Itu saja, Bu. Semoga pasien bisa siuman besok pagi," ujar dokter Adi kembali.
Ayu Ruminang mengangguk dan menopang tubuhnya untuk berdiri. Baru kali ini, ia merasa kikuk untuk berlenggak lenggok dengan kemolekan tubuhnya. Kharisma ketiga dokter itu menundukkan rasa percaya dirinya sebagai wanita penakluk.
"Whats going on dear?"
Gavin mendekatinya. Bau alkohol dan rokok dari mulut pemuda bertindik itu menyeruak di hidung Ayu Ruminang.
"Bersihkan dirimu dulu baru kamu datang lagi ke sini. Sudah seperti bangkai saja," ketus wanita sensual itu.
Gavin hanya tersenyum kecil dan melangkah mengikuti Ayu Ruminang memasuki kamar perawatan Luna.
"Aku serius. Jangan bawa aroma busuk ini masuk ke dalam. Dia wanita muslim."
Tatapan Ayu Ruminang tajam.
"Jangan abaikan aku sayang. Biar bagaimana pun, aku juga punya andil pada wanita itu. 1 kantong darahku, ada dalam tubuhnya."
"Hargailah dia, Gavin. Dia biasa berhijab. Sepertinya saat ini dia bahkan tak berpakaian sehelaipun."
Gavin memanyunkan mulutnya.
"Aaasssh ... Its oke dear. See you. Kiss me please," ujar Gavin.
Sedikit terpaksa, Ayu Ruminang mendaratkan kecupannya.
"Good night," ucap wanita itu. Gavin tersenyum lalu membalikkan badannya pergi.
Perlahan wanita itu membuka pintu. Tampak seluruh tubuh Luna ditutupi seperti keranda berbalut kain hijau di atasnya. Sedangkan wajah Luna diperban. Ada selang oksigen di hidungnya dan alat pantau jantung di sampingnya.
Jelas, Ayu Ruminang melihat ada tetesan bening di sudut kelopak mata Luna dengan netra yang masih tertutup.
"Kau harus tetap hidup Angel agar kau bisa membalas dendam atas apa yang mereka lakukan padamu. Secepatnya, selagi aku masih kuat. Aku akan membantumu," desis Ayu Ruminang menatap lekat-lekat tubuh kaku itu.
##
Sedang di sisi lain, Aleksei yang mendengar berita kematian Luna mengamuk. Bahkan ketika istri dan bayi kecil mereka, Jupiter menangis, sama sekali tak dihiraukannya.
"Kamu keterlaluan Ratna! Bagaimana kau menyembunyikan berita kematian Angel selama kita berada di luar negeri?!" Tangan Aleksei bersiap menampar pipi istrinya.
"Dan kamu akan menghancurkan liburan impianku, Mas?! Begitu maksudmu?!"
"Kamu egois! Sama sekali tak punya empati! Kamu tak ingat jasa Angel pada kita!"
"Memangnya kalau kamu tahu tentang berita ini saat kita liburan, dia bisa kembali hidup, Mas?!"
"Istri tak tahu diuntung!"
Plaaak!
Sempurna. Tamparan itu akhirnya mendarat di pipi ranum, Ratna Astuningtyas. Wanita itu memerah menatap suaminya.
"Kamu selalu menjadi iblis jika berkaitan dengan Mbak Luna, Mas. Kamu akan selalu begitu. Jadi bagaimana kalau aku suka atas sebuah berita duka?"
"Kamu sudah gila! Minggir!"
"Mau kemana kamu, Mas?!" pekik Ratna mengejar suaminya dan meninggalkan Jupiter.
"Ke rumah Angel. Seperti biasa, di akhir pekan ini, aku akan menikmati secangkir jus buah kesukaanku sambil melihat Babon. Dan seperti biasa juga, Sayudha pasti sudah pulang kantor lebih cepat. Aku akan pulang larut, kami akan banyak mengobrol," ujar Aleksei mengambil tas ranselnya dan kunci motornya.
"Lebih baik kamu ke kuburan saja, Mas. Di sana, wanita yang kamu kagumi itu berada!"
"Aku tak akan pernah percaya, Angel sudah mati!"
"Tapi jelas dia sekarang punya kuburan, Mas!"
Aleksei mendekati Ratna dengan tatapan nanar. Jarak mereka sangat dekat. Aleksei menaikan telunjuk kanannya tepat di depan hidung istrinya.
"Cukup, Ratna. Cukup."
Dengan cepat, Aleksei berbalik.
"Mas! Tunggu! Kamu harus menerima kenyataan ini Mas! "
Aleksei seolah tak mendengar.
"Mas! Aku ikut!"
Aleksei menghidupkan motornya dan memacu kendaraan itu dengan sangat kencang. Setelah suaminya yang hilang dari pandangannya, Ratna menangis histeris memukul dadanya.
"Mas, aku takut kamu tak mampu mengendalikan dirimu saat menerima kenyataan ini. Jangan sampai kamu celaka, Mas!"
Mendengar tangisan Jupiter, Ratna segera bangkit dan mengusap air matanya. Ia masih menatap ke arah gerbang yang barusan dilalui suaminya.
"Mbak Luna ... apa aku salah jika terlalu cemburu padamu?! Apa aku salah kalau kematianmu justru membuat sebagian sisi di hatiku senang. Apakah aku sudah menjadi jahat Mbak?" lirihnya sesegukan.